Berdasarkan
penelitian Lemlita IAIN Antasari di tahun 2009, Muhammadiyah di
Kalimantan Selatan berdiri di mulai dari Alabio pada tahun 1925
yang dipelopori H. M. Japeri dan H. Usman Amin. Baru setelah itu
menyebar ke Rantau (1937), Kandangan (1931), Martapura dan
Banjarmasin (1932), Haruai (1934), dan Marabahan (1939).
Berawal dari Alabio
Courtesy of Wikipedia |
Mungkin
agak sulit membayangkan bahwa Muhammadiyah, sebuah organisasi
keagamaan yang disebut-sebut "modernis" -jika tipologi ini bisa
dipakai- bermula perkembangannya di Bumi Kalimantan Selatan pada
sebuah 'desa' yang letaknya hampir 5 jam dari Kota Banjarmasin dan
terletak di hulu Sungai bagian utara: Alabio.
Pekan
lalu, saya berkesempatan mengunjungi 'tanah kelahiran' dari
Muhammadiyah di Kalimantan Selatan ini. Saya ke Alabio dalam rangka
memberi pelatihan kepenulisan dan jurnalistik kepada kawan-kawan
mahasiswa dan pelajar di Amuntai, ibukota HSU yang berjarak 8 km dari
Alabio (memenuhi undangan KAMMI dan FOSPEL Amuntai).
Secara
kebetulan, saya juga punya 'darah' Alabio. Kakek dari ibu saya, Guru
Nasri, adalah seorang guru di Alabio yang juga terlibat dalam
persyarikatan hingga akhir hayatnya. Sehingga, dari Amuntai, saya
langsung menyempatkan untuk 'singgah' di Alabio, sekadar makan itik dan
shalat zuhur.
Berbicara Muhammadiyah di Banjar
takkan terlepas dari Alabio. Meskipun berkembang pesat dan bermarkas di
Banjarmasin, Muhammadiyah terlebih dulu maju dan berkembang dari desa
ini. Sampai-sampai, pada tahun 2010 silam calon Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah seakan-akan 'dipilih' pada latar primordial ini. Begitu
penting dalam latar sejarah persyarikatan di Banua.
Alabio
berjarak sekitar 5 jam perjalanan dari Banjarmasin. Wilayah ini
sekarang masuk teritorial Hulu Sungai Utara. Warganya beternak itik (bebek) yang menjadi ciri khas daerah ini. Begitu masuk ke Jembatan Alabio saja kita sudah disambut dengan patung itik.
Namun, selain beternak itik, jiwa dagang Urang Alabio juga
kuat. Daerah ini juga dikenal dengan kelakar humornya, "mahalabio",
sebagai bukti kepandaian 'urang banjar' dalam bersilat lidah.
Posisinya 'terkepung' di antara wilayah basis kaum Nahdhiyyin, seperti,
misalnya, Amuntai (yang terkenal dengan KH Idham Chalid, mantan Ketua
Umum PBNU), Pemangkih (Tuan Guru H Muhammad Ramli, pondok pesantren
Ibnul Amin), atau Danau Panggang (Tuan Guru KH Asmuni/Guru Danau).
Namun, dari daerah inilah bersemi benih 'modernisme' Muhammadiyah yang
bergumul dengan tradisi 'kaum tuha' di Hulu Sungai.
Telaah Sosiologis
Sebagaimana
jamak kita pahami, modernisme Islam biasanya berakar di
wilayah-wilayah perkotaan. Di Jawa Tengah, misalnya, Muhammadiyah
tumbuh pesat dari Yogyakarta, kota yang bersemai tradisi keraton yang
cukup kuat. Wilayah lain di mana Muhammadiyah tumbuh pesat adalah
Pekalongan, kota batik yang berada di pesisir utara pulau Jawa.
Di
Jawa Timur, Muhammadiyah terkembang dari Tambak Beras, di mana KH Mas
Mansyur berdialektika dengan KH Wahab Chasbullah tentang modernitas,
menjadikan mereka berpisah menjadi pimpinan dua organisasi Islam yang
saling berhadapan.
Secara sosiologis,
kita dapat memetakan pola konsentris masyarakat di Kalimantan Selatan
menjadi dua bagian besar (lihat, misalnya: Darliansyah Hasdi, 2009).
Pertama, masyarakat
pahuluan yang tinggal di hulu Sungai Barito. Masyarakat Pahuluan ini
tinggal di daerah yang kita kenal sebagai 'banua lima' (Rantau,
Kandangan, Barabai, Amuntai, Tanjung). Ciri khas masyarakat ini adalah,
kebanyakan, tidak bisa menyebut huruf 'e' dan 'o'. (ciri khas urang
pahuluan).
Kedua, masyarakat
Banjar Kuala yang tinggal di muara Sungai Barito, dari Marabahan,
Banjarmasin, Banjarbaru, Martapura, Pelaihari. Entah mengapa, banyak di
antara urang Banjar Kuala ini (termasuk saya) yang tidak bisa menyebut
huruf R. Ini jadi ciri khas tersendiri.
Wilayah
Banjar Pahuluan dulu pernah menjadi ibukota kerajaan Banjar Hindu.
Ibukota kerajaan pernah berpusat di Amuntai (Candi Agung) dan Margasari
Rantau. Namun, masuknya Islam di abad ke-16 dengan berdirinya Kerajaan
Banjar di Kuin mengubah peta konsentrasi penduduk. Wilayah perkotaan
menjadi berpusat di daerah Muara.
Sehingga,
jika kita lihat kategori masyarakatnya secara sosiologis, 'kelas
menengah' akan banyak berada di wilayah Muara Sungai, terutama
Banjarmasin. Mengapa? Sebab posisinya strategis, berada di Muara Sungai
yang berarti membuka hubungan dengan pihak luar. Ini sebabnya dari dulu
Banjarmasin terkenal sebagai kota perdagangan.
Sementara
itu, pada abad ke-18, Kesultanan Banjar memindahkan pusat
pemerintahannya ke Martapura (dulu bernama Kayutangi). Di era inilah
lahir seorang ulama kenamaan, Syekh Arsyad Al-Banjari yang berdakwah
dari Dalam Pagar (tanah yang diberikan oleh Sultan Rahmatillah).
Sehingga, secara sosiologis ini menjelaskan mengapa wilayah Martapura
sangat religius dan sangat fanatik dengan ulamanya.
Pembentukan
'style' faham keagamaan masyarakat Banjar, menurut saya, berakar dari
tipologi ini. Jika kita simpulkan secara linear, seharusnya dengan
interaksinya yang mudah dengan pihak luar, Banjarmasin akan sangat
'modernis'.
Sementara itu, wilayah
Martapura akan sangat fanatik dengan "Tuan Guru"-nya, terutama dengan
'trah' Palampayan (sebagai contoh, ada Mufti KH Jamaluddin dari Surgi
Mufti atau KH Zaini Ghani dari Sekumpul yang merupakan keturunan Syekh
Arsyad Al-Banjari). Ini bisa dilihat dari posisi Guru Sekumpul yang
sangat disegani dan ketika beliau meninggal, masyarakat merasa
kehilangan yang sangat besar.
Adapun
Hulu Sungai, yang masyarakatnya banyak berhuma dan mencari nafkah
dengan menangguk ikan (terutama di wilayah HSU), akan bertipe
tradisional dengan solidaritas organik -meminjam bahasa Durkheim- yang
sangat kuat.
Masyarakatnya hidup
mengelompok, sehingga tidak terkonsentrasi oleh figuritas ulama yang
sangat dominan. Sebagai gantinya, menjamur pesantren sebagai wadah
kaderisasi ulama. Seorang rekan penulis pernah mengatakan bahwa hal ini
membedakan 'tipe' ulama di Hulu Sungai dan Martapura.
Jika
kesimpulan tersebut kita ikuti secara linear, maka Muhammadiyah
seharusnya tumbuh pesat dari wilayah Muara. Hal ini memang benar dan
diafirmasi. Namun, pada faktanya, sebelum tumbuh di Banjarmasin dan
wilayah Muara, Muhammadiyah justru bergeliat dari Alabio. Bagaimana hal
itu bisa terjadi?
Kaum Tuha dan Kaum Muda
Sebagaimana
dinyatakan Hairus Salim HS (2009), identitas suku dan agama di Banjar
memang punya ciri yang sangat khas, yaitu ada 'ketumpang-tindihan' dua
identitas itu. Bagi urang Banjar, ada sebuah adagium 'Banjar adalah
Islam dan Islam adalah Banjar'.
Menurut
Hairus Salim, hal ini berimplikasi pada model keber-Islaman orang
Banjar yang sangat menjunjung tinggi tradisi agama, biarpun itu sudah
bercampur dengan sesuatu yang "di luar" agama (bahasa kaum modernis:
Bid'ah).
Hal ini terjadi di kalangan
'Kaum Tuha' menghadapi kelahiran kaum Muda atau Muhammadiyah ini.
Beragam perdebatan agama terjadi, dan itu akhirnya menjadi sesuatu yang
umum. Di Kandangan, Barabai, bahkan Banjarmasin, perselisihan paham
agama ini terjadi.
Muhammadiyah
bahkan awal mulanya disangka 'keluar dari agama' karena amalannya
bertolak belakang dengan amalan Tuan Guru di pengajian. Misalnya, tidak
pakai qunut subuh atau tidak ber-ushalli dalam Shalat. Tetapi, karena
keteguhan prinsip agama dari para pendahulu, dialektika ini terjadi.
Ada
sebuah istilah yang cukup sering digunakan melihat fragmentasi ini:
'kaum muda' dan 'kaum tuha'. Kaum Muda merujuk pada kalangan
Muhammadiyah dan 'Islam Modernis', sementara Kaum Tuha merujuk pada NU
dan 'Islam Tradisionalis'.
Istilah ini
mengemuka karena yang membawa Muhammadiyah ke Banjar adalah orang-orang
Muda. Nanti akan kita temukan pergumulan pedagang Usman Amin dan H.
Jaferi yang membawa Muhammadiyah ke Alabio.
'Kaum
Tuha' kukuh dengan adat dan tradisinya. Mereka ditopang oleh struktur
pesantren dan jejaring pengajian (majelis Ta'lim) di desa-desa. Tuan
Guru biasa membacakan 'kitab' dan peserta pengajian membacakan.
Relasinya sangat kuat.
Guru menjadi figur yang sangat dihormati karena ke-alim-annya. Dalam wilayah agama, tak ada yang bisa membantah kaum Tuha.
Belakangan,
ada beberapa 'kaum Muda' yang kritis. Terlebih setelah akses informasi
atas kitab terbuka. H. Jaferi yang menuntut ilmu ke berbagai daerah
rupanya kurang puas. Ia berinteraksi dengan H. Usman Amin, seorang
pedagang Alabio di Surabaya yang sudah menerima Muhammadiyah.
Singkat
kata, pergumulan dua orang ini melahirkan Muhammadiyah. Respons kaum
Tuha juga keras. Sebab, keberadaan Muhammadiyah akan merusak tradisi
keagamaan yang berpilar kuat di Kalimantan Selatan. Ini mungkin dampak
dari kultur masyarakat Banjar yang monolitik dalam keagamaan -meminjam
bahasa Hairus Salim.
Dan
pertentangan ini terkadang menjalar juga pada relasi sosial. Kaum Muda
dan Kaum Tuha menjadi sebuah fenomena sosial tatkala faham keagamaan
juga meluber hingga pergaulan di warung-warung, di rumah-rumah, atau
bahkan pada soal sosial lain.
Di
Alabio, rupanya hal ini terjadi. Keluarga saya menuturkan, "sungai"
seakan menjadi pembatas, mana wilayah kaum muda dan mana daerah kaum
Tuha. Yang di seberang sungai terkadang 'kada merawa' dengan kaum muda,
atau perdebatan berakhir agak panas.
Tetapi,
kerukunan tetap terjaga, karena terkadang pula terjadi pernikahan
antara 'kaum muda' dan 'kaum Tuha'. Sesuatu yang bagi saya agak lucu,
mengingat pada tingkat 'mertua' atau 'keluarga' perbedaan pendapat dalam
hal agama terkadang membawa pada kada berawaan atau kada betaguran, walaupun setelah di mesjid berjamaah lagi.
Ini
yang menjelaskan mengapa di keluarga saya, ketika terjadi perbedaan
hari raya (yang hal ini sering terjadi antara Muhammadiyah dan NU),
kakek dan nenek berbeda pendapat di satu rumah adalah hal yang biasa.
Sebab, ada 'percampuran' kaum Muda dan kaum Tuha. Kakek adalah zuriyat Kalampayan yang sangat fanatik dengan tradisi, sementara nenek justru dibesarkan di lingkungan pendiri Muhammadiyah.
Friksi
dan Pergumulan yang lebih bersifat intelektual ini jelas dipengaruhi
oleh soal-soal sosial. Maka, yang jadi pertanyaan, mengapa justru
Muhammadiyah bertumbuh dan berkembang dari sebuah desa yang 'terkepung'
oleh tradisionalisme seperti Alabio?
Sejarah Muhammadiyah
courtesy of Radar Banjarmasin |
Berbicara
tentang Muhammadiyah di Alabio takkan lepas dari dua nama: H. Jaferi
dan H. Usman Amin. Berikut saya kutipkan sejarah singkat Muhammadiyah di
Alabio dari situs PW Muhammadiyah Kalimantan Selatan
(http://kalsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html)
"Di
Surabaya, ketika itu bertempat tinggal seorang berasal dari Alabio,
yaitu alm. H. Usman Amin, seorang pedagang dan terkemuka di kalangan
masyarakat Banjar (Kalimantan) dan penduduk Surabaya di Surabaya,
dengan H. Usman Amin yang menjadi sahabatnya, H. M. Japeri sering
mengadakan hubungan surat menyurat. Dari H. Usman Amin, H. M. Japeri
mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah gerakan Islam di
Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang bermaksud
menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber Alquran dan Sunnah Rasul,
dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah, balai-balai kesehatan,
panti-panti asuhan dan memelihara mesjid-mesjid, gerakan itu ialah
Muhammadiyah.
H. M.
Japeri sejak dari masa mengajinya di Mekkah kemudian dengan hasil
bacaannya dari majalah-majalah, memang sudah selalu mengikuti
perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam, baik di Indonesia sendiri,
terutama di Jawa dan Sumatera, maupun di luar negeri seperti Mesir,
Arabia, India, dan lain-lain.
Semuanya itu menimbulkan rasa serasi dengan apa yang diterangkan oleh H. Usman Amin tentang Muhammadiyah kepadanya.
Sebelum
secara resmi menerima dan menabur benih Muhammadiyah di Alabio, H. M.
Japeri sudah mulai berusaha dengan lebih sungguh-sungguh untuk
memperbaiki dan memajukan umat Islam di Alabio dan sekitarnya, yakni
dengan jalan mengajak persatuan, memberikan pengajaran dan tabligh
sepanjang kemauan ajaran agama Islam, berdasarkan Alquran dan Sunnah.
Bersungguh-sungguh beliau merubah ke arah sikap yang baru. Menggantikan
yang kolot dengan cara yang modern, yang tidak lepas dari rel agama.
Sejak
itu sudah mulai beliau dapati tantangan dan reaksi dari ulama lainnya
dan juga dari masyarakat yang tidak dapat menerima
perubahan-perubahan itu. Sejak itu sudah beliau terima pahit getir dan
kesukaran dalam usahanya mencari keridhaan Allah.
Dalam
bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta. Sengaja pergi
sendiri mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS met de Quran
yang didirikan oleh Muhammadiyah.
Ditemani
oleh H. Usman Amin dari Surabaya. Kunjungan ke Yogyakarta itu
sekaligus untuk melihat dan menyaksikan sendiri amalan-amalan usaha
Muhammadiyah.
Sayang
sekali beliau tidak sempat bersua dengan KH. Ahmad Dahlan, karena
sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923. Yang beliau
tengok ialah makam kubur KH. A. Dahlan di Karangkajen, Yogyakarta.
Sekembalinya
dari Yogyakarta dan setibanya di Alabio dalam bulan April 1923, H. M.
Japeri langsung mengadakan musyawarah dengan teman-teman beliau
sendiri dari ulama, hartawan, dermawan dan budiman, yang berhasil
kemudian secara resmi mendirikan organisasi Muhammadiyah di Alabio.
Teman-teman
beliau yang menjadi orang-orang pertama bersama beliau mendirikan
Muhammadiyah di Alabio, ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H.
Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah, H. Bastami, H. Achmad (penghulu),
H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H. Hasbullah, H. Japeri Hambuku, Abdullah
Maseri, H. Tahir (penghulu), Bastami Jantera dan lain-lain.
H.
M. Japeri menjadi Anggota Muhammadiyah pertama untuk Kalimantan.
Kartu anggota (bewys van Jidmaatschap) Muhammadiyah beliau bernomor
I/12.541. No. 1 menunjukkan angka anggota Muhammadiyah dan No. 12.541
menyatakan jumlah anggota Muhammadiyah seluruh Indonesia dewasa ini. "
Itulah
Muhammadiyah, menyebar dari sebuah desa bernama Alabio. Memang tidak
bisa dikatakan bahwa semua orang Alabio adalah 'kaum muda'. Ada juga
'kaum tuha' di sini, tapi dialektika itu bermula dari sini, dan juga
berjalan dengan harmonis di desa kecil ini.
Di Alabio
pula berdiri salah satu Mesjid Muhammadiyah tertua di Kalimantan
Selatan, Mesjid Al-Amin. Mesjid ini diberi nama dari pendiri
Muhammadiyah, H. Usman Amin. Mesjid ini awalnya bernama mesjid Kajang,
tidak jauh dari Muara Tapus.
Di samping Mesjid, ada
Madrasah Muallimin Alabio yang kini dikembangkan menjadi Pesantren yang
langsung dikelola oleh PW Muhammadiyah Kalsel. Salah satu pesantren
Muhammadiyah di antara pesantren kaum tradisionalis. Amal usaha yang
mula-mula berdiri, selain sekolah, adalah panti asuhan di pertengahan
dekade 1930-an.
Muhammadiyah dengan megah berdiri dari
sebuah desa yang tak begitu besar: Alabio. Itulah sebabnya, beberapa
tokoh Muhammadiyah Kalimantan Selatan adalah Urang Alabio. Sebut saja, misalnya, Syarwani Nunci, Adijani Al-Alabij, Umransyah Alie, Riza Rahman, Khairullah, sampai Abdul Chalik Dahlan.
Sudah berulang kali Ketua Muhammadiyah dijabat Urang Alabio. Mungkin H. Hasan Tjorong atau Gt Abdul Muis jadi pengecualian, berasal dari Banjarmasin dan Martapura. Tapi tetap saja banyak Urang Alabio-nya.
Jika
anda berjalan ke Mesjid Al-Jihad di Cempaka Besar, salah satu Mesjid
Muhammadiyah yang cukup terkenal di Banjarmasin, jangan terkejut jika di
sana banyak Urang Alabio. Dan kebanyakan memang berprofesi sebagai
pedagang atau guru.
Penjelasan Sosioekonomis
Lantas,
mengapa Muhammadiyah berkembang dan kemudian menyebar, bergumul secara
dialektis dengan 'kaum Tuha' justru dari sebuah desa bernama Alabio?
Perihal sosioekonomis mungkin jadi penjelasan. Harus diakui, kebanyakan Urang Alabio yang
menjadi anggota Muhammadiyah adalah pedagang dan guru. Di Banjarmasin,
urang Alabio banyak yang jadi jamaah Mesjid Al-Jihad, dan rata-rata
punya mobilitas sosial ekonomi cukup kuat dengan berdagang. Bahkan
seorang ustadz pun berdagang (Ustadz Riza Rahman). Selebihnya, menjadi
guru atau dosen.
Profesi berdagang, baik
sekadar di pasar maupun di wilayah yang lebih luas, mempengaruhi cara
berpikir Urang Alabio. Bacaan kitab tidak lagi melulu terpaku pada Tuan
Guru karena pergaulan yang luas mengakibatkan bacaan bertambah. Alhasil,
daya kritis meningkat. Apalagi yang berprofesi sebagai guru atau dosen,
jelas akan bergumul dengan yang namanya bacaan.
Hal
ini menyebabkan kritisisme terhadap Tuan Guru dan tatanan Tradisi
menguat. Lahirlah 'pemberontakan kultural', semisal dengan
pendeklarasian Muhammadiyah. Posisi ini semakin kuat dengan masuknya
beberapa ambtenaar di pemerintahan seperti Kyai Hasan Corong ke Muhammadiyah di Banjarmasin. Masyarakat semakin teredukasi.
Dalam
corak berpikir semacam ini, kritisisme terhadap Tuan Guru menjadi ciri
khas pemikiran keagamaan kaum Muda atas kaum Tuha. Dan penjelasan
seperti ini bisa dibaca pada munculnya 'kelas menengah' Urang Alabio di Kalimantan Selatan.
Lemlita
IAIN Antasari pernah merilis penelitian tentang korelasi antara profesi
pedagang Urang Alabio dengan pemikiran keagamaan Muhammadiyah untuk
mengupas hal ini. Tesis Kuntowijoyo bahwa agama dipengaruhi oleh
struktur ekonomi bisa kita baca kebenarannya di sini.
Dan
dengan hal ini, kemunculan Muhammadiyah di Hulu Sungai bisa terbaca
dengan lebih mudah. Alabio, dengan segenap ciri khasnya, menjadi salah
satu khazanah Islam di Kalimantan Selatan.
"Ulama" Mahalabio
"Wahini zaman sudah moderen jadi ulama kada tapakai lagi. Maka pas tekana jalan rusak, sidin sarik amun diaspal " Candaan seorang teman di salah satu blog. "Sekarang sudah moderen, ulama tidak lagi diakui", katanya . Kaum Tuha pasti akan sarik (marah), seandainya ini tidak dibaca dengan gaya 'mahalabio'.
Ya, humor khas Alabio yang menjadikan sesuatu yang serius menjadi candaan -karena diungkapkan dengan ambigu, he he.
Humor khas urang Banjar ini mungkin menjadi salah satu sebab mengapa
pergumulan kaum muda dan kaum tuha tidak berlatar konflik sosial.
Jadi, meski 'kaum muda' dan 'kaum tuha' bergumul secara intelektual, kada berawaan secara sosial, tetap saja bercandaannya sama, alias katuju Mahalabio. Masyarakatnya memang sangat humoris.
Bicara soal mahalabio, saya jadi terkenang dengan Ustadz Darliansyah Hasdi, penceramah Muhammadiyah di Sungai Lulut yang suka mahalabio ketika
ceramah, baik di Al-Jihad sampai Hasanuddin. Kini beliau telah tiada,
rupanya berpulang ke rahmatullah di tahun 2010 silam. Salah satu ustadz
favorit saya ketika mengaji duduk di SMA dulu. Innalillahi wa inna ilaihi raaji'un.
Inilah
yang bisa dipetk dari perjalanan kemaren, walau tak lama berada di
Alabio. Itik panggang dan nasi lakatan di Pasar Alabio cukup menjadi
pemuas kerinduan sebelum ke Yogya lagi. Ah, semoga bisa pulang lagi.
Yogyakarta, 11 Mei 2012.