Rabu, 20 Juni 2007

Fenomena Pendidikan

Menilik Lebih Dalam Transparansi Sekolah

Pendidikan merupakan tahapan terpenting dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Dengan adanya pendidikan yang berorientasi kepada penyeimbangan mutu Sumber Daya Manusia masyarakat kita secara Intelektual, Emosional, maupun Spiritual maka masyarakat kita akan berpikir lebih maju, kritis, serta dapat mengeluarkan bangsa dari krisis yang berkepanjangan ini. Akan tetapi jika sistem pendidikan kita salah, maka masyarakat Indonesia yang beradab dan memiliki peradaban tak akan pernah dapat tercapai. Mengapa demikian? Karena pendidikan yang benar akan mampu mengubah pola pikir masyarakat yang terlanjur pragmatis, materialistis, dan Money-Oriented.

Dalam pandangan Neil Postman, pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu menyinergikan pendekatan teori dan praktik. Atau, dengan kata lain mampu membuat peserta didik mengimplementasikan konsep yang telah mereka terima dalam pendidikan. Pendidikan juga seyogianya dilakukan secara komprehensif dengan menanamkan aspek intelektual dan moral secara integralistik, sehingga pendidikan dapat menyentuh akar permasalahan bangsa saat ini.Sebagai upaya dalam membangun pendidikan yang benar, maka pemerintah memerkenalkan sistem pendidikan yang diharapkan mampu menyeimbangkan aspek Iptek dan Imtaq. Dalam perkembangannya, pemerintah telah beberapa kali merevisi sistem pendidikan guna mendapatkan kualitas Sumber Daya Manusia masyarakat Indonesia yang baik dan berdaya saing tinggi.

Dengan sistem yang telah beberapa kali direvisi tersebut, seyogyanya pemerintah mampu menghasilkan output pendidikan yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, serta mampu mengeluarkan Indonesia dari krisis berkepanjangan ini. Namun apa hasil yang dapat kita lihat sekarang? Indonesia masih belum dapat keluar dari jeratan krisis. Bahkan, merebak berbagai korupsi yang semakin memerlemah kondisi bangsa ini. Hal ini merupakan sebuah penghambat dalam upaya pembangunan karakter bangsa.

Transparansi Sekolah Dipertanyakan
Sistem pendidikan kita memang terus menjadi polemik dalam beberapa dekade terakhir ini. Akan tetapi terlepas dari permasalahan tersebut, ada permasalahan yang patut kita cermati berkaitan dengan pendidikan ini, yaitu manajemen lembaga pendidikan. Sekolah Negeri sebagai lembaga pendidikan pemerintah seyogyanya mampu memberikan manajemen yang terstruktur, solid, dan transparan. Namun apa yang dapat kita lihat di negara kita? Sekolah –terutama Sekolah Menengah Atas— tidak memiliki manajemen yang teruji akuntabilitasnya. Banyak sekolah-sekolah yang tidak transparan mengenai keuangan dan pendanaan, bahkan kepada siswa-siswinya sendiri. Hal ini mengindikasikan kurangnya transparansi sekolah kepada siswa sehingga mengakibatkan kekecewaan yang mendalam dan akhirnya berujung pada aksi mobilisasi massa. Tentunya hal ini adalah suatu keanehan, mengingat para siswa telah banyak memberikan kontribusi kepada sekolah, namun sekolah sendiri tidak pernah menjelaskan bagaimana keuangan mereka. Bahkan beberapa sekolah seringkali meminta dana kepada siswa untuk menyelenggarakan suatu proyek yang sama sekali tidak melibatkan siswa.

Memang merupakan hal baik jika diadakan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi jika proyek itu ternyata hanya memberatkan siswa, maka proyek tersebut seyogyanya jangan dijadikan prioritas. Apalagi jika pendanaan itu hanya akan memangkas dana OSIS atau keperluan siswa yang lain. Seharusnya dana tersebut digunakan untuk keperluan siswa dan untuk menunjang kegiatan pembelajaran, baik secara formal (KBM) maupun secara non-formal (organisasi).

Kurang transparannya sekolah mengenai permasalahan program dan pendanaan ini ternyata bukan hanya terjadi di satu sekolah. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS). Adakah sekolah yang melibatkan para siswa untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan APBS tersebut? Yang terjadi di lapangan APBS tersebut disusun oleh jajaran petinggi sekolah untuk kemudian diserahkan kepada Komite Sekolah untuk direvisi. Kemudian untuk keperluan siswa seperti dana bantuan ekstrakurikuler langsung ditangani oleh Wakasek. Bukankah ini sesuatu yang rawan terhadap penyelewengan? Ini artinya sama sekali tak ada keterbukaan sekolah terhadap manajemen yang ada di dalamnya. Sehingga implikasinya, ketika sekolah dimintai pertanggungjawabannya oleh siswa yang memang concern dalam hal ini, akhirnya sekolah tak mampu memberikan jawaban.

Manajemen Sekolah Ideal di Persimpangan Jalan
Sekolah yang ideal adalah sekolah yang mampu menghadirkan manajemen yang baik serta dapat mengoptimalkan sistem pembelajaran yang ada sehingga dapat menghasilkan prestasi dan menimbulkan prestise. Tipe sekolah yang seperti ini memang sangat diidam-idamkan oleh semua pihak, namun sayangnya hanya segelintir sekolah yang mampu melakukannya. Banyak sekolah yang memiliki banyak prestasi di level lokal, daerah, nasional, bahkan ada yang mampu mencapai prestasi di level internasional. Namun jika kita lebih melihat ke dalam, maka akan kita dapatkan suatu keadaan yang memrihatinkan.

Sekedar ilustrasi, ada sekolah yang seringkali membuat keputusan sepihak melalui Wakasek-wakaseknya. Disebut sepihak karena dalam yang menetapkan kebijakan hanyalah Kepala Sekolah, Wakasek-wakasek, dan beberapa orang guru, tanpa sama sekali melibatkan partisipasi siswa. Bahkan, dana APBS Sekolah yang juga mencakup dana-dana operasional kegiatan OSIS dan ekstrakurikuler juga sama sekali tidak melibatkan siswa dalam penyusunannya. Padahal yang menikmati fasilitas sekolah adalah siswa, namun anehnya siswa tidak dilibatkan dalam penyusunan anggaran. Bahkan yang lebih aneh lagi, dana-dana siswa yang dianggarkan secara sepihak oleh manajemen sekolah tersebut tidak diperlihatkan kepada siswa, sehingga ketika OSIS ingin meminta dana untuk pelaksanaan suatu kegiatan mereka harus meminta kepada Wakasek Kesiswaan beserta pembantu-pembantunya. Bukankah sistem yang seperti ini dapat menimbulkan penyelewengan dana oleh segelintir oknum yang ingin memerkaya diri mereka sendiri?

Belum lagi jika kita memertanyakan transparansi sekolah, apakah ada pertanggungjawaban dari sekolah mengenai dana APBS yang mencapai ratusan juta rupiah tersebut kepada siswa, maka kita tak akan pernah mendapatkan jawabannya. Maka, berkaca dari permasalahan ini patut kiranya sekolah memberi legitimasi kepada perwakilan siswa –bukan komite sekolah— dalam pengawasan penggunaan dana sekolah. Satu hal yang patut diingat, Komite Sekolah yang beranggotakan Orangtua siswa bukanlah representasi siswa, melainkan hanyalah representasi dari orangtua siswa yang sama sekali tidak berkepentingan dalam penggunaan fasilitas sekolah. Sungguh ironis jika dana komite yang berjumlah milyaran rupiah tersebut tidak jelas penggunaannya, Sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kekecewaaan yang berujung pada aksi unjuk rasa. Ini pun bukan penyelesaian yang baik dalam mengakhiri krisis di Sekolah.

Kesimpulan
Dari apa yang telah dibahas di atas tadi, maka dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa Sekolah haruslah transparan kepada para siswa. Transparansi ini haruslah diwujudkan dengan membuka forum dan dialog kepada para siswa, sehingga tidak muncul suatu gejolak kekecewaan dari para siswa. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap manajemen sekolah.

Kalau tidak kita mulai sekarang, kapan lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar