Menggugat Keterbukaan
Pendidikan yang ideal dalam pandangan Freire (1978) adalah pendidikan yang lebih menekankan penempatan siswa sebagai subjek pendidikan, bukan sebagai objek। Konsep ini pada dasarnya cukup strategis untuk diimplementasikan di Indonesia. Dalam tataran konsep normatif, pendidikan di negara kita memang telah memiliki konsep kurikulum yang telah menempatkan pelajar sebagai subjek pembelajaran. Hanya saja, dalam tataran implementasi banyak terjadi ketidaksesuaian antara Das Sollen (idealitas tujuan kurikulum) dan Das Sein (implementasi sekolah).
Terjadinya ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan tersebut dipengaruhi oleh banyak variabel, salah satunya adalah manajemen sekolah yang kurang transparan। Sekolah Negeri sebagai lembaga pendidikan pemerintah seyogyanya mampu memberikan manajemen yang terstruktur, solid, dan transparan. Akan tetapi apa yang dapat kita lihat di daerah kita? Masih banyak sekolah yang tidak memberikan akses informasi berkaitan dengan keuangan dan pendanaan sekolah. Dengan kata lain, tidak bersikap transparan kepada siswanya.
Apa saja indikatornya? Pertama, ada sekolah yang seringkali meminta dana kepada siswa untuk menyelenggarakan suatu proyek yang sama sekali tidak melibatkan siswa di dalamnya, semisal studi banding guru yang lebih tepat diistilahkan sebagai ajang bejalanan dengan menggunakan uang siswa। Memang merupakan hal baik jika diadakan proyek-proyek yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan. Akan tetapi jika proyek itu ternyata berimplikasi pada pungutan-pungutan, proyek tersebut seharusnya jangan dijadikan prioritas. Apalagi jika pendanaan itu hanya akan memangkas keperluan siswa, semisal untuk biaya siswa yang ingin mengikuti kegiatan di luar sekolah.
Bahkan ada siswa yang mengikuti kegiatan di tingkat nasional ternyata tidak diberi dana oleh sekolah dengan alasan ”tidak ada dana”। Keadaan menjadi semakin janggal dan mencurigakan ketika sang siswa berhasil meraih prestasi di tingkat nasional ke sekolah, tak terbersit sedikitpun di hati petinggi-petinggi sekolah untuk mengganti uang tersebut. Kemana alokasi dana pembinaan prestasi siswa yang telah dianggarkan di APBS? Tentunya permasalahan ini patut menjadi bahan renungan bagi para pejabat sekolah di Kalimantan Selatan.
Kedua, Kurang transparannya sekolah mengenai permasalahan program dan pendanaan ini ternyata bukan juga terjadi dalam penyusunan Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (APBS)। Adakah sekolah yang melibatkan para siswa untuk ikut berpartisipasi dalam penyusunan APBS tersebut? Di beberapa sekolah, fenomena yang terjadi adalah APBS tersebut disusun oleh jajaran petinggi sekolah yang pada akhirnya diserahkan kepada Komite Sekolah untuk direvisi, tanpa sama sekali melibatkan siswa. Ketika ada siswa yang ingin meminta APBS, dengan mudahnya sekolah mengatakan bahwa ”APBS adalah urusan orangtua siswa, bukan urusan siswa”. Kondisi seperti ini sama saja dengan menutup akses informasi kepada siswa yang notabene juga memiliki kepentingan dengan uang di APBS tersebut.
Jika dianalisis, ternyata dana APBS sekolah sangat rawan penyalahgunaan dengan birokrasi yang berlaku di sekolah। Contoh kasus, ada sebuah sekolah (tak usah menyebut nama) yang memotong dana OSIS tersebut sebesar 10% dari total dana. Alasannya, dana tersebut dijadikan dana jaga-jaga (baca: taktis) selama setahun. Alasan lain, dana yang ada tersebut merupakan “dana siswa yang dikelola oleh kesiswaan”, sehingga perlu ada “insentif” dalam pengelolaan dana tersebut. Pemotongan dana tersebut kemudian berimplikasi pada penurunan kuantitas dana operasional OSIS yang digunakan untuk membiayai kegiatan ekstrakurikuler. Dari kasus tersebut, terlihat jelas penyelewengan dana yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Bukankah dana taktis dan ”insentif” harus bisa dipertanggungjawabkan? Hal ini perlu dipertanyakan, apalagi setelah dicek ke APBS anggaran untuk taktis dan kesejahteraan guru telah dianggarkan.
Ketiga, sekolah juga masih terkesan kurang transparan dalam pembuatan kebijakan sekolah। Memang, sekolah memiliki otoritas untuk melakukan penegakan disiplin dalam bentuk pembuatan tata tertib di sekolah sehingga sebagai siswa, kita diharuskan untuk menaatinya. Akan tetapi, ketaatan terhadap peraturan tersebut tidak lantas membuat siswa sami’na wa atho’na atas semua kebijakan. Pada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan siswa, perlu ada kejelasan dari pembuat kebijakan atas keputusan yang diambil. Di sini, perlu adanya dialog atau forum dengan melibatkan siswa, sehingga komunikasi tetap dapat tersampaikan dengan baik.
Hal ini dimaksudkan agar tidak muncul ketidakterbatasan kewenangan (unlimited power) pada sekolah, sehingga adagium ‘Power Tends to Corrupt’ dapat dihindarkan melalui mekanisme pembagian kewenangan yang baik। Di sisi lain, siswa juga dituntut untuk bersikap credible dan accountable dalam hal pengelolaan dana yang diamanahkan pada mereka. Dalam berbagai kepanitiaan, misalnya, harus ada pertanggungjawaban yang jelas dan terbuka mengenai keuangan dan pendanaan mereka. Untuk itu, diperlukan adanya trust dari sekolah kepada siswa dalam pengelolaan kegiatan mereka secara mandiri. Implikasinya, akan muncul hubungan timbal balik dalam pembagian kewenangan antara sekolah dan siswa.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa sekolah harus transparan kepada para siswa। Ini adalah sebuah harga mati yang harus diimplementasikan oleh otoritas sekolah secara konsisten dan konsekuen Transparansi ini haruslah diwujudkan dengan membuka forum dan dialog kepada para siswa, sehingga tidak muncul suatu gejolak kekecewaan. Langkah ini pun hanya akan dapat berjalan optimal jika didukung oleh segenap manajemen sekolah.
Bagaimana menurut sampeyan?
yup seharusnya lebih terbuka...
BalasHapus(lho kok digugat?-judul)
salam kenal aja, kunjungi saya di taufik79.wordpress.com
BalasHapus