Senin, 19 Mei 2008

Indonesia and Primitive Democacy

Demokrasi di Indonesia Masih Primitif

“A great democracy cannot be called great or to be called as a democracy if it is not progressive.”

(Theodore Roosevelt, 1910)

Apakah demokrasi di Indonesia salah kaprah? Pertanyaan tersebut kadangkala terlontar dari kalangan yang kecewa melihat realitas objektif yang mencerminkan kesalahan dalam menafsirkan demokrasi. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia selain membingungkan, kadang-kadang juga membawa efek domino yang mengganggu stabilitas

Sebut saja kasus suap yang melibatkan anggota DPR, usul pembubaran KPK oleh seorang anggota DPR, kecurangan dalam Ujian Nasional, anjloknya harga gabah di pasar akibat aksi borong para spekulan, munculnya kelompok-kelompok sempalan yang berlindung di balik nama besar sebuah agama, korupsi di berbagai daerah, sampai muktamar “ganda” yang dilakukan oleh sebuah partai politik.

Kebingungan ini semakin menjadi-jadi ketika beredar kabar bahwa harga BBM akan naik 30%. Sungguh aneh, dengan harga Premium Rp 4.500 seperti sekarang saja sudah cukup membuat rakyat miskin awut-awutan. Produksi di sektor rakyat pun ambruk akibat kenaikan biaya produksi. Lha sekarang, dengan dalih “penyelamatan APBN” ada yang ingin menaikkan harga BBM.

Inilah yang disebut demokrasi: Semua boleh berbicara tanpa peduli bahwa yang dibicarakannya adalah kebohongan publik, provokasi, atau fitnah. Cukup membingungkan, memang. Apakah demokrasi sejatinya penuh kontroversi? Tentu kita tak dapat menggeneralisasi pernyataan ini hanya dalam konteks Indonesia yang notabene masih belum terlalu lama berdemokrasi.

Pertanyaannya, benarkah demokrasi selalu membawa dampak negatif? Kita perlu menelaah pernyataan Theodore Roosevelt (1910). Kata beliau, demokrasi yang diterapkan di suatu negara tidak dapat dikatakan baik jika tidak progresif Maksudnya, demokrasi tersebut harus membawa kemajuan. Sehingga, demokratisasi tidak cukup hanya di bidang politik dan pemerintahan, tetapi juga di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Dengan fakta yang telah saya beberkan di atas, kita tidak dapat menyalahkan sebuah asumsi yang menyatakan bahwa Indonesia masih belum dewasa dalam berdemokrasi. Indonesia masih saja terlena dengan demokrasi primitif, demokrasi yang justru membawa masalah baru. Demokrasi di negeri ini dimainkan secara formalistik belaka tanpa mengindahkan substansi moral yang terkandung di dalamnya. Akhirnya, berkembanglah mental-mental korup yang menjadikan reformasi untuk kepentingan pribadinya. Inilah demokrasi primitif.

Ada beberapa karakteristik dari demokrasi primitif.

Pertama, demokrasi yang dijalankan penuh dengan kultus individu atau figure-based. Di Indonesia, banyak perilaku politik yang penuh dengan karakteristik ini. Perilaku politik dengan karakteristik ini adalah munculnya sikap sami’na wa atho’na pada ucapan seseorang yang berada pada strata politik tertinggi. Apapun yang diperintahkan oleh tokoh ini, anggota mesti mematuhinya. Jika tidak, anggota akan dipecat dan diblacklist dari keorganisasian.

Kedua, kentalnya budaya patron-client dalam kehidupan politik. Seorang politisi, ketika memiliki kedekatan dengan politisi lainnya, bersedia melindungi politisi lainnya ketika bermasalah. Bahkan ketika aparat ingin menggeledah kantornya pun mesti dilindungi. Yang lebih parah, ada yang berpendapat aparat penegak keadilan harus dibubarkan.

Ketiga, berkembangnya paradigma lassez-faire dalam politik: Keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya tanpa memedulikan orang lain. Biasanya, politisi memainkan jurus permainan anggaran untuk hal ini. Boro-boro menaikkan anggaran pendidikan, para legislator malah meminta laptop padahal di masing-masing ruangan telah tersedia komputer! Apakah gaji anggota dewan yang mencapai puluhan juta itu tidak cukup untuk keperluan pribadi?

Keempat, muncul persaingan tidak sehat dalam politik yang ditandai dengan sikap tak mau kalah. Suatu ketika di suatu forum ada yang berkata, ”Saudara Ketua, anda harus mundur dengan alasan bla..bla..bla..!” Lantas apa jawab sang Ketua? ”Saya tidak akan mundur karena bla..bla..bla..!”. Kedua belah pihak tak mau mengalah dan membawa masalah ke meja hijau. Hasilnya, organisasi ini hancur karena ditinggalkan pendukungnya!

Kelima, dipeliharanya sikap sekuler dengan memisahkan hidup dengan agama. Bagi mereka, hidup ya hidup, agama ya agama. Akhrinya ketika memasuki dunia politik, mereka terjebak pada kepentingan golongan yang serba pragmatis. Implikasi yang paling berbahaya ialah jika seseorang mulai berorientasi pada uang. Muncullah perilaku korupsi dan suap.

Lima karakteristik dari demokrasi primitif ini mungkin hanya segelintir dari perilaku menyimpang yang melanda negeri kita. Tradisi demokrasi primitif ini harus dihilangkan, jika bangsa ini ingin maju. Maka, pembenahan pun harus dilakukan secara komprehensif. Tak salah kiranya jika saya katakan bahwa tak ada jalan lain selain Reformasi total!



Note:
Apresiasi untuk Muktamar Luar Biasa PKB Versi Muhaimin Iskandar dan Abdurrahman Wahid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar