Kamis, 01 Mei 2008

Supersemar dan Sisi Lain Sejarah

Mencoba untuk Lebih Adil Menilai G30S

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) merupakan sebuah dokumen penting di penghujung era Orde Lama. Asumsi umum yang mengemuka selama ini adalah bahwa Supersemar merupakan sebuah ’mandat’ yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Mayjend Soeharto untuk memberantas Gerakan 30 September yang menculik tujuh perwira tinggi AD. Partai Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadi kelompok yang bertanggungjawab atas terjadinya gerakan ini.

Sejarah Supersemar sendiri, mengacu pada buku teks sejarah, berawal dari kedatangan tiga perwira militer ke kediaman Presiden Soekarno di Istana Bogor, yaitu Basuki Rahmat, M Yusuf, dan Amir Machmud. Ketiga perwira ini menyampaikan pesan dari Mayjend Soeharto selaku Pangkostrad bahwa ia dapat menyelesaikan tugas untuk memberantas G30S dengan mandat dari Presiden. Akhirnya, supersemar pun terbit.

Supersemar kemudian diikuti oleh sebuah peristiwa yang kita kenal dengan Nawaksara, pidato pertanggungjawaban presiden Soekarno yang ditolak oleh MPRS pada tanggal 12 Maret 1967. Sejak saat itu, kedudukan Mayjend Soeharto semakin kuat sampai akhirnya dilantik sebagai Presiden pada tahun 1968.

Mempertanyakan Supersemar
Ada beberapa pertanyaan yang mengganggu penulis dalam persoalan Supersemar. Supersemar yang tadinya dianggap sebagai bukti absolut dari “pengharaman” PKI dan ormas-ormasnya memendam beberapa hal yang patut untuk dianalisis lebih dalam.

Pertama, mengapa sampai sekarang teks asli Supersemar tidak diketahui publik? Hal ini cukup aneh mengingat Supersemar merupakan dokumen peralihan kekuasaan yang sangat penting untuk bukti sejarah. Dokumen-dokumen penting, apalagi yang dihasilkan untuk memberi mandat harus jelas. Contoh, dokumen Sumpah Pemuda, dokumen teks asli Proklamasi (tulisan tangan Soekarno dan ketikan Sayuti Melik), serta dokumen pidato pengunduran diri Soeharto. Nah, bagaimana dengan teks asli Supersemar? Tak ada satupun yang mengetahui secara detail isi dari surat perintah ini.

Kedua, mengapa peran Soeharto jauh lebih besar dari peran Mayjend Pranoto? Supersemar (Atau peraturan yang mengikutinya) tidak hanya memberikan mandat kepada Mayjend Soeharto, tetapi juga kepada Mayjend Pranoto Reksosamudro yang diberi mandat untuk melakukan perbaikan militer secara administratif. Seharusnya, Mayjend Pranoto dengan kedudukan hierarkhis yang sejajar dengan Soeharto juga memiliki wewenang dalam pengambilan kebijakan. Terlebih, sesuai instruksi Presiden Soekarno beliau diposisikan sebagai Men/Pangad walaupun diboikot oleh Soeharto.

Ketiga, ada apa di balik munculnya pasukan tanpa identitas di Istana Bogor pada hari itu? Dalam catatan sejarah, sebelum Supersemar ditandatangani memang ada laporan bahwa banyak pasukan tanpa identitas mengepung Istana Bogor. Kemudian Presiden Soekarno yang tengah memimpin rapat kabinet pulang setelah mendengar laporan tersebut. Selanjutnya, datanglah tiga perwira AD ke Istana Bogor dengan membawa pesan Mayjend Soeharto. Apakah ada keterkaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut?

Keempat, apakah benar ada dokumen yang disebut sebagai ”Supertasmar” atau Surat Perintah Tiga Belas Maret yang berisi pemberian wewenang Supersemar secara tepat oleh Presiden Soekarno? Jika benar ada, maka keberadaan Mayjend Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar secara hukum menjadi tidak jelas. Dokumen ini perlu ditelusuri kembali agar ada pelurusan dan objektivisasi sejarah G30S di ranah publik.

Empat pertanyaan ini perlu kita cermati agar sejarah Supersemar tidak terdistorsi oleh kepentingan politik pemerintah. Perlu adanya analisis mendalam sehingga fakta yang kabur dapat diperjelas. Perspektif yang berbeda pun perlu diketengahkan.

Sisi Lain Sejarah
Kehadiran Supersemar juga memiliki sisi lain dan hal ini juga berkaitan dengan persolan G30S. Prof. Peter Dale Scott, misalnya, menganalisis bahwa ada campur tangan CIA dalam peristiwa ini. Beliau dalam salah satu thesisnya berpendapat bahwa G30S memang sengaja dikondisikan prematur untuk memudahkan pemberantasan. Tesis ini didukung oleh adanya dokumen Gilchrist yang dikeluarkan oleh pihak AS berkaitan dengan adanya G30S dengan istilah yang sangat mencurigakan, ”our local army friend”.

Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, dalam beberapa artikelnya berpendapat bahwa ada sesuatu yang kebablasan dalam pemberantasan PKI. Memang, PKI adalah aktor G30S. Tetapi, apakah logis jika pemerintah melakukan pelanggaran HAM dengan membantai aktivis PKI di Pulau Buru? Tentu kita perlu berpikir jernih dan rasional dalam bertindak.

Kemudian, arah kebijakan Soeharto yang menjauhi Moskow-Beijing dan mendekati Washington juga patut dicermati. Apalagi, penanaman modal asing semakin digalakkan pada era Orde Baru. Apakah ini semacam ”balas jasa” atas apa yang dilakukan pada 1965? Kita tentu tak boleh berprasangka. Tetapi yang jelas, sikap ini adalah sebuah sikap yang patut dicermati karena berpengaruh pada periode selanjutnya di tahun 1998.

Terakhir, penulis ingin memberikan sebuah catatan bahwa Supersemar harus dikaji ulang keabsahannya dan diperiksa kebenarannya. Mungkin Supersemar diterima sebagai basis legitimasi politik oleh Soeharto, tetapi keabsahan sejarahnya masih perlu diperiksa. Terpenting, kita tidak dibodohi atau dibodoh-bodohkan oleh kenyataan. Tetaplah kritis.



*) Artikel ini dimuat di Harian Banjarmasin Post, 11 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar