Sebuah Alternatif Solusi Menghadapi Era Globalisasi
A. Pengantar
Bangsa ini memang tengah dilanda keterpurukan. Dimulai pada tahun 1997, Inflasi besar-besaran yang disusul oleh melemahnya nilai Rupiah terhadap Dolar mengakibatkan perekonomian Indonesia dilanda kekacauan. Kemiskinan bertambah, harga-harga naik, dan penjarahan di mana-mana. Pada tahun sebelumnya, posisi mata uang Rupiah berada pada kisaran Rp 2.500,00 per 1 Dolar AS. Akan tetapi, pada periode 1997-1998 nilai Rupiah turun drastis, bahkan sampai menyentuh kisaran Rp 15.000,00 per 1 Dolar AS. Krisis tersebut akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya selaku Presiden Republik Indonesia pada tahun 1998.
B. Indonesia dan Krisis Multidimensional
Gejolak krisis ekonomi yang melanda bangsa ini kemudian berimplikasi pada munculnya krisis di berbagai aspek kehidupan. Pada ranah politik, misalnya, muncul kontroversi atas kabinet yang dibentuk oleh Presiden Soeharto karena mencantumkan nama Bob Hasan sebagai Menteri Kehutanan dan Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Sosial. Pencantuman dua nama ini sangat jelas menunjukkan nepotisme keluarga cendana dan semakin memerkuat asumsi publik bahwa Soeharto ingin memertahankan kekuasaannya melalui kabinet yang dibentuk.
Krisis lain yang menimpa bangsa kita ialah krisis moral, yang terjadi karena menurunnya pemahaman bangsa ini akan urgensi moral yang berbasis agama. Generasi muda kita pada saat ini memang tengah ‘diracuni’ oleh fenomena modernisasi dan globalisasi yang ujung-ujungnya mengarah pada degradasi moral, sehingga pancaran sinar akhlak yang seharusnya mewarnai sisi kehidupan pemuda menjadi hilang. Dalam sebuah seminar di FISIP Universitas Airlangga, yang diselenggarakan oleh LPA Jawa Timur, terungkap sebuah fakta yang disampaikan oleh Dr. Khofifah Indar Parawangsa bahwa pada tahun 2000 angka aborsi mencapai 2,3 Juta dengan trend peningkatan tiap tahunnya (Widiyantoro, 2003).
Sebagai upaya dalam merealisasikan hal tersebut, setidaknya harus ada usaha-usaha untuk memerbaiki kehidupan bangsa dan mengeluarkan Indonesia dari krisis berkepanjangan. Perbaikan tersebut sekarang masyhur dengan istilah Reformasi yang dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali peradaban bangsa melalui upaya-upaya strategis. Istilah reformasi ini dalam perspektif Islam lebih dikenal dengan Tajdid, yang kurang lebih berarti pembaharuan.
C. Akar Historis Gerakan Tajdid: Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah
Secara etimologi, Tajdid berasal dari bahasa Arab, yang berarti pembaharuan. Konsep Tajdid dalam sejarahnya pertama kali dibawa oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia. Gerakan Tajdid yang dibawa oleh Syekh Ibnu Abdul Wahab di Dariyah ini pada perkembangannya dikenal dengan Wahabi yang lebih memfokuskan diri pada upaya untuk meluruskan kembali akidah umat Islam yang terpengaruh oleh praktik-praktik Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat. Konsep tajdid tersebut memerlukan penyegaran-penyegaran, agar tidak keluar dari rel yang telah dibakukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Gerakan-gerakan pembaharuan ini memiliki interpretasi pemahaman Islam yang bervariasi, akan tetapi mengakar pada konsep yang sama : Ketauhidan yang benar. Gerakan-gerakan ini pada umumnya berprinsip, pada persoalan akidah semuanya harus bersatu dengan pemahaman yang sama. Akan tetapi, mereka memiliki pola orientasi pergerakan yang berbeda namun tetap berjalan pada koridor yang ditetapkan dalam Islam.
Menurut Nashir (2006), domain tajdid yang dilakukan mengimplikasikan adanya pemahaman yang luas dan mendalam terhadap Islam sehingga gerakan tajdid yang dilakukan dapat masuk ke ruang publik. Di sini, lanjut Haedar, diperlukan perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, dan metodologi yang lengkap agar pemurnian Islam yang dikehendaki dari gerakan tajdid tersebut dapat berlangsung secara komprehensif, bukan secara parsial atau setengah-setengah.
Hanya dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, umat Islam akan memiliki sumber kekuatan moral yang diharapkan dapat mereformasi kehidupan yang morat-marit akibat krisis berkepanjangan.
D. Reaktualisasi Nilai-Nilai Tauhid
Hal yang terlebih dahulu harus kita lakukan untuk mengimplementasikan konsep reformasi dalam perspektif Islam adalah dengan meluruskan fondasi keimanan, yaitu tauhid. Sebagaimana yang umum diketahui, unsur tauhid tercantum dalam kalimat Syahadat, yaitu “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, Tiada Tuhan Selain Allah. Kesaksian ini harus terlebih dulu diluruskan serta dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan nyata di kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif kemuhammadiyahan, tauhid yang benar tidak hanya dilakukan dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Diperlukan adanya implementasi atas kesaksian tersebut dalam realitas empiris. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, ada tiga hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam upaya mengimplementasikan tauhid tersebut, yaitu Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan akan benda-benda syirik) yang selanjutnya dikenal dengan istilah TBC.
Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Selain itu, perbuatan ini juga mengisyaratkan bahwa kita meminta pertolongan kepada selain Allah. Dalam kacamata agama, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Selain itu, perilaku meminta bantuan ke dukun juga mengakibatkan fenomena Kesurupan Massal di berbagai sekolah menengah. Kesurupan massal –yang notabene terjadi karena lemahnya iman seseorang— merupakan indikasi bahwa masyarakat kita masih belum bersih dari kepercayaan tradisional yang cenderung menyekutukan Allah.
Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an.
Konsekuensi dari tauhid ini adalah melaksanakan ibadah sebagai manifestasi ketaatan kita kepada Rasulullah. Dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada dua persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan ittiba’ (sesuai dengan contoh dari Rasulullah). Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada urusannya dariku maka ia tertolak”. Semua ibadah yang bersifat ritual harus memiliki legitimasi teoritis dari Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ibadah tersebut tidak memiliki sandaran dan dalil yang kuat, kita sebagai umat Islam sangat patut untuk berhati-hati.
E. Reformasi Politik Menuju Reformasi Progresif
Ibnul Qayyim Al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Abdul Hamid Al-Ghazali mengatakan bahwa politik merupakan kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan menjauh dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan wahyu tidak melarangnya. Jalan apapun yang ditempuh untuk menciptakan keadilan, maka ia adalah agama.
Ajaran Islam tak pernah memisahkan antara agama dan politik. Sebaliknya, ajaran Islam secara utuh mencakup urusan-urusan politik, baik politik yang bersifat kenegaraan maupun politik yang bersifat kemasyarakatan. Hal ini terjadi karena Islam memiliki karakter syumuliyyah dan takamuliyah (Wahono, 2002). Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 208 telah dinyatakan, ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam keselamatan secara sempurna, sesungguhnya syaithan bagi kamu adalah musuh yang nyata”.
Ayat tersebut telah menyatakan bahwa kita tak boleh meninggalkan bagian-bagian dari Islam secara parsial. Politik dalam konteks ini merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Islam. Dr. Yusuf Qardhawi pernah mengatakan bahwa Islam mencakup semua kehidupan manusia, yaitu aqidah, ibadah, politik, kultur, perundang-undangan, dan aspek-aspek lain.
Politik seperti apa yang kita perjuangkan? Dalam terminologi Amien Rais, bangsa Indonesia sekarang ini seharusnya menjalankan praktik High Politics yang mengedepankan kerjasama antara para politisi dan rakyat untuk kepentingan bangsa, sehingga tercipta sinergisasi program dan kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan bersama. High Politics di sini harus selaras dengan kepentingan dakwah, karena dalam perspektif Islam politik harus memiliki nilai-nilai dakwah yang mengemuka dalam aktivitasnya. Hasan Al-Banna mengatakan, ”Kita adalah da’i sebelum segala sesuatunya”. Maksudnya, Kewajiban kita dalam berpolitik adalah untuk menyampaikan kebenaran dan menggagalkan kemungkaran.
Sinergisasi antara tauhid dan politik tidak saja akan menghasilkan figur-figur ”politisi yang da’i”, tetapi juga akan mengubah paradigma keliru yang menganggap bahwa politik adalah jalan untuk meraih kekuasaan. Di sini, penulis tambahkan perkataan dari Ahmad Syauqi, “Eksistensi sebuah bangsa jika akhlak melekat pada mereka. Jika akhlaknya lenyap, mereka pun tiada”. Perlu adanya pengenalan konsep politik qur’ani ini kepada publik, terutama kepada figur-figur yang berkecimpung di legislatif dan eksekutif.
F. Khatimah
Reformasi Islam akan menjadi sebuah keniscayaan jika hanya menjadi sebuah kajian yang bersifat diskursif belaka. Perlu adanya aksi nyata yang dilakukan oleh segenap elemen bangsa agar reformasi Islam dapat menjadi agenda dari gerakan membangun peradaban yang sekarang marak didengungkan oleh para aktivis moral. Reformasi dalam perspektif Islam harus dibawa pada tataran implementasi, bukan hanya dibahas dalam sebuah teori belaka.
Selain itu, tauhid sebagai substansi dar tajdid harus dimanifestasikan agar wawasan masyarakat dalam memandang Islam secara kaffah (integralistik) dan syumuliah (komprehensif) menjadi terbuka. Pada prinsipnya, reformasi Islam adalah sebuah alternatif dalam mewujudkan perubahan sosial progresif di era globalisasi informasi seperti sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pengantar
Bangsa ini memang tengah dilanda keterpurukan. Dimulai pada tahun 1997, Inflasi besar-besaran yang disusul oleh melemahnya nilai Rupiah terhadap Dolar mengakibatkan perekonomian Indonesia dilanda kekacauan. Kemiskinan bertambah, harga-harga naik, dan penjarahan di mana-mana. Pada tahun sebelumnya, posisi mata uang Rupiah berada pada kisaran Rp 2.500,00 per 1 Dolar AS. Akan tetapi, pada periode 1997-1998 nilai Rupiah turun drastis, bahkan sampai menyentuh kisaran Rp 15.000,00 per 1 Dolar AS. Krisis tersebut akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk turun dari jabatannya selaku Presiden Republik Indonesia pada tahun 1998.
B. Indonesia dan Krisis Multidimensional
Gejolak krisis ekonomi yang melanda bangsa ini kemudian berimplikasi pada munculnya krisis di berbagai aspek kehidupan. Pada ranah politik, misalnya, muncul kontroversi atas kabinet yang dibentuk oleh Presiden Soeharto karena mencantumkan nama Bob Hasan sebagai Menteri Kehutanan dan Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Sosial. Pencantuman dua nama ini sangat jelas menunjukkan nepotisme keluarga cendana dan semakin memerkuat asumsi publik bahwa Soeharto ingin memertahankan kekuasaannya melalui kabinet yang dibentuk.
Krisis lain yang menimpa bangsa kita ialah krisis moral, yang terjadi karena menurunnya pemahaman bangsa ini akan urgensi moral yang berbasis agama. Generasi muda kita pada saat ini memang tengah ‘diracuni’ oleh fenomena modernisasi dan globalisasi yang ujung-ujungnya mengarah pada degradasi moral, sehingga pancaran sinar akhlak yang seharusnya mewarnai sisi kehidupan pemuda menjadi hilang. Dalam sebuah seminar di FISIP Universitas Airlangga, yang diselenggarakan oleh LPA Jawa Timur, terungkap sebuah fakta yang disampaikan oleh Dr. Khofifah Indar Parawangsa bahwa pada tahun 2000 angka aborsi mencapai 2,3 Juta dengan trend peningkatan tiap tahunnya (Widiyantoro, 2003).
Sebagai upaya dalam merealisasikan hal tersebut, setidaknya harus ada usaha-usaha untuk memerbaiki kehidupan bangsa dan mengeluarkan Indonesia dari krisis berkepanjangan. Perbaikan tersebut sekarang masyhur dengan istilah Reformasi yang dimaknai sebagai upaya untuk membangun kembali peradaban bangsa melalui upaya-upaya strategis. Istilah reformasi ini dalam perspektif Islam lebih dikenal dengan Tajdid, yang kurang lebih berarti pembaharuan.
C. Akar Historis Gerakan Tajdid: Kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah
Secara etimologi, Tajdid berasal dari bahasa Arab, yang berarti pembaharuan. Konsep Tajdid dalam sejarahnya pertama kali dibawa oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia. Gerakan Tajdid yang dibawa oleh Syekh Ibnu Abdul Wahab di Dariyah ini pada perkembangannya dikenal dengan Wahabi yang lebih memfokuskan diri pada upaya untuk meluruskan kembali akidah umat Islam yang terpengaruh oleh praktik-praktik Takhayul, Bid’ah, dan Khurafat. Konsep tajdid tersebut memerlukan penyegaran-penyegaran, agar tidak keluar dari rel yang telah dibakukan oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Gerakan-gerakan pembaharuan ini memiliki interpretasi pemahaman Islam yang bervariasi, akan tetapi mengakar pada konsep yang sama : Ketauhidan yang benar. Gerakan-gerakan ini pada umumnya berprinsip, pada persoalan akidah semuanya harus bersatu dengan pemahaman yang sama. Akan tetapi, mereka memiliki pola orientasi pergerakan yang berbeda namun tetap berjalan pada koridor yang ditetapkan dalam Islam.
Menurut Nashir (2006), domain tajdid yang dilakukan mengimplikasikan adanya pemahaman yang luas dan mendalam terhadap Islam sehingga gerakan tajdid yang dilakukan dapat masuk ke ruang publik. Di sini, lanjut Haedar, diperlukan perangkat-perangkat konseptual, epistemologi, dan metodologi yang lengkap agar pemurnian Islam yang dikehendaki dari gerakan tajdid tersebut dapat berlangsung secara komprehensif, bukan secara parsial atau setengah-setengah.
Hanya dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits, umat Islam akan memiliki sumber kekuatan moral yang diharapkan dapat mereformasi kehidupan yang morat-marit akibat krisis berkepanjangan.
D. Reaktualisasi Nilai-Nilai Tauhid
Hal yang terlebih dahulu harus kita lakukan untuk mengimplementasikan konsep reformasi dalam perspektif Islam adalah dengan meluruskan fondasi keimanan, yaitu tauhid. Sebagaimana yang umum diketahui, unsur tauhid tercantum dalam kalimat Syahadat, yaitu “Asyhadu An Laa Ilaaha Illallah”, Tiada Tuhan Selain Allah. Kesaksian ini harus terlebih dulu diluruskan serta dimanifestasikan dalam bentuk perbuatan nyata di kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif kemuhammadiyahan, tauhid yang benar tidak hanya dilakukan dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Diperlukan adanya implementasi atas kesaksian tersebut dalam realitas empiris. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, ada tiga hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam upaya mengimplementasikan tauhid tersebut, yaitu Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan akan benda-benda syirik) yang selanjutnya dikenal dengan istilah TBC.
Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Selain itu, perbuatan ini juga mengisyaratkan bahwa kita meminta pertolongan kepada selain Allah. Dalam kacamata agama, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik. Selain itu, perilaku meminta bantuan ke dukun juga mengakibatkan fenomena Kesurupan Massal di berbagai sekolah menengah. Kesurupan massal –yang notabene terjadi karena lemahnya iman seseorang— merupakan indikasi bahwa masyarakat kita masih belum bersih dari kepercayaan tradisional yang cenderung menyekutukan Allah.
Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an.
Konsekuensi dari tauhid ini adalah melaksanakan ibadah sebagai manifestasi ketaatan kita kepada Rasulullah. Dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada dua persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan ittiba’ (sesuai dengan contoh dari Rasulullah). Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada urusannya dariku maka ia tertolak”. Semua ibadah yang bersifat ritual harus memiliki legitimasi teoritis dari Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ibadah tersebut tidak memiliki sandaran dan dalil yang kuat, kita sebagai umat Islam sangat patut untuk berhati-hati.
E. Reformasi Politik Menuju Reformasi Progresif
Ibnul Qayyim Al-Jauzi sebagaimana dikutip oleh Abdul Hamid Al-Ghazali mengatakan bahwa politik merupakan kegiatan yang menjadikan umat manusia mendekat kepada hidup maslahat dan menjauh dari kerusakan, meskipun Rasulullah tidak meletakkannya dan wahyu tidak melarangnya. Jalan apapun yang ditempuh untuk menciptakan keadilan, maka ia adalah agama.
Ajaran Islam tak pernah memisahkan antara agama dan politik. Sebaliknya, ajaran Islam secara utuh mencakup urusan-urusan politik, baik politik yang bersifat kenegaraan maupun politik yang bersifat kemasyarakatan. Hal ini terjadi karena Islam memiliki karakter syumuliyyah dan takamuliyah (Wahono, 2002). Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 208 telah dinyatakan, ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam keselamatan secara sempurna, sesungguhnya syaithan bagi kamu adalah musuh yang nyata”.
Ayat tersebut telah menyatakan bahwa kita tak boleh meninggalkan bagian-bagian dari Islam secara parsial. Politik dalam konteks ini merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Islam. Dr. Yusuf Qardhawi pernah mengatakan bahwa Islam mencakup semua kehidupan manusia, yaitu aqidah, ibadah, politik, kultur, perundang-undangan, dan aspek-aspek lain.
Politik seperti apa yang kita perjuangkan? Dalam terminologi Amien Rais, bangsa Indonesia sekarang ini seharusnya menjalankan praktik High Politics yang mengedepankan kerjasama antara para politisi dan rakyat untuk kepentingan bangsa, sehingga tercipta sinergisasi program dan kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan bersama. High Politics di sini harus selaras dengan kepentingan dakwah, karena dalam perspektif Islam politik harus memiliki nilai-nilai dakwah yang mengemuka dalam aktivitasnya. Hasan Al-Banna mengatakan, ”Kita adalah da’i sebelum segala sesuatunya”. Maksudnya, Kewajiban kita dalam berpolitik adalah untuk menyampaikan kebenaran dan menggagalkan kemungkaran.
Sinergisasi antara tauhid dan politik tidak saja akan menghasilkan figur-figur ”politisi yang da’i”, tetapi juga akan mengubah paradigma keliru yang menganggap bahwa politik adalah jalan untuk meraih kekuasaan. Di sini, penulis tambahkan perkataan dari Ahmad Syauqi, “Eksistensi sebuah bangsa jika akhlak melekat pada mereka. Jika akhlaknya lenyap, mereka pun tiada”. Perlu adanya pengenalan konsep politik qur’ani ini kepada publik, terutama kepada figur-figur yang berkecimpung di legislatif dan eksekutif.
F. Khatimah
Reformasi Islam akan menjadi sebuah keniscayaan jika hanya menjadi sebuah kajian yang bersifat diskursif belaka. Perlu adanya aksi nyata yang dilakukan oleh segenap elemen bangsa agar reformasi Islam dapat menjadi agenda dari gerakan membangun peradaban yang sekarang marak didengungkan oleh para aktivis moral. Reformasi dalam perspektif Islam harus dibawa pada tataran implementasi, bukan hanya dibahas dalam sebuah teori belaka.
Selain itu, tauhid sebagai substansi dar tajdid harus dimanifestasikan agar wawasan masyarakat dalam memandang Islam secara kaffah (integralistik) dan syumuliah (komprehensif) menjadi terbuka. Pada prinsipnya, reformasi Islam adalah sebuah alternatif dalam mewujudkan perubahan sosial progresif di era globalisasi informasi seperti sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Khadim al-Haramain asy-Syarifain Raja Fahd.
Al-Banna, Hasan, 1998. Risalah Pergerakan. Solo : Intermedia.
Al-Ghazali, Abdul Hamid. 2001. Pilar-Pilar Kebangkitan Umat, Telaah Ilmiah terhadap Konsep Pembaruan Hasan Al-Banna (alih bahasa). Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1994. Menyatukan Pikiran Para Pejuang Islam (alih bahasa, Ali Makhtum Assalani). Jakarta: Gema Insani Press.
Amin, Shadiq, 2006. Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal (Pent. Syarif Ridwan). Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat.
Nashir, Haedar. 2006. Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammadiyah. Malang: UMM Press.
Wahono, Untung dan Eman Sulaeman. 2002. Pandangan Ulama Ikhwan terhadap Partai Politik. Jakarta: Pustaka Tarbiatuna.
Widiyantoro, Nugroho, 2003. Panduan Dakwah Sekolah : Kerja Keras untuk Perubahan Besar. Bandung : Syaamil Cipta Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar