Senin, 16 Juni 2008

Gejolak Reformasi dan Sistem Pemerintahan Indonesia 1998-2008

ANALISIS FUNGSI PEMERINTAHAN INDONESIA 1998-2007

A. PEMERINTAHAN INDONESIA SEBELUM ERA REFORMASI: SEBUAH PENGANTAR

Pergerakan Reformasi yang dicetuskan pada era 1997-1998 memang telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia Sistem Politik, pemerintahan, ekonomi, bahkan pendidikan mengalami perubahan yang cukup fundamental sejak pergerakan yang mampu mengakhiri eksistensi rezim Soeharto tersebut menegaskan diri di Indonesia. Dengan perubahan-perubahan tersebut, mencuatlah harapan dan keinginan dari semua pihak untuk memajukan (kembali) kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding fathers kita dalam Mukadimah UUD 1945.

Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada sistem pemerintahan. Kita ketahui, sistem pemerintahan Indonesia selalu mengalami dinamika dan perubahan-perubahan yang kemudian mengubah substansi dari fungsi pemerintahan itu sendiri. Pada periode 1949-1950, Indonesia memberlakukan sistem republik federal yang pada perkembangannya hanya menjadi alat bagi pihak asing untuk menumbuhkan benih-benih separatisme. Kemudian, Indonesia memberlakukan sistem politik demokrasi liberal dan sistem kabinet parlementer. Sistem ini terbukti juga tidak berjalan optimal karena adanya friksi dan pertentangan antarfaksi di parlemen.

Pertentangan yang jelas terlihat pada PNI yang berideologi marhaen, PSI yang berideologi sosial-demokrat, PKI yang berideologi sosial-komunis, dan Masyumi yang berideologi Islam. Akan tetapi, keadaan tersebut semakin diperparah oleh sikap Presiden Soekarno yang mendeklarasikan diri sebagai dktator melalui dekrit 5 Juli 1959. Alhasil, Demokrasi terpimpin dengan jargon-jargon seperti Manifesto Politik Indonesia (Manipol), UUD ’45, Sosialisme, Demokrasi (Usdek), dan Nasionalisme, Agama, Komunisme (Nasakom) berkuasa sampai G30S/PKI menumbangkan kekuasaan tersebut.

Pada era orde baru, sistem pemerintahan presidensil yang ketat di satu sisi dapat membawa stabilitas politik di Indonesia. Akan tetapi, tindakan Soeharto di pertengahan masa jabatannya ternyata tidak jauh berbeda dengan Soekarno, hanya ingin berkuasa dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Doktrin P4 dan Asas tunggal Pancasila diberlakukan. Hasilnya, HMI harus mengalami perpecahan menjadi PB HMI yang menerima asas tunggal dan HMI MPO yang menolak. PII yang merupakan “adik” HMI dengan tegas menolak asas tunggal dan akhirnya menjadi organisasi bawah tanah.

Penangkapan aktivis terjadi di mana-mana, mulai dari Tanjung Priok sampai Talangsari Lampung. AM Fatwa, Wakil Ketua MPR-RI sekarang adalah satu dari aktivis yang ditangkap akibat sikap represif aparat orde baru. Dalam audiensi pimpinan MPR-RI dengan mahasiswa FISIP UI dan peserta Olimpiade Ilmu Sosial 2007 pada tanggal 13 Februari 2007, beliau mengiyakan hal tersebut dan mengaku bahwa pada saat mahasiswa beliau adalah “demonstran parlemen” yang sering berdemo di DPR/MPR dan menaiki pagar MPR.

Sekarang, tak terasa sembilan tahun sudah reformasi bergulir. Selama sembilan tahun tersebut, terjadi dinamika dan pergantian kepemimpinan pada level nasional yang kemudian mengubah paradigma kebijakan publik walaupun tidak mengubah substansi sistem pemerintahan. Kendati demikian, reformasi telah memberikan harapan bagi semua pihak untuk mengubah paradigma fungsi pemerintahan yang berlaku. Negara harus lebih berorientasi pada kesejahteraan, bukan pada kepentingan.

B. FUNGSI PEMERINTAHAN DAN REFORMASI INDONESIA

Sistem pemerintahan Indonesia telah dikatakan di atas memiliki perbedaan dengan negara lain. Perbedaan tersebut terjadi karena Indonesia menggunakan open ideology yang memungkinkan berbagai pemikiran masuk asalkan sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang plural, heterogen, dan multiinterest. Indonesia mengakomodasi unsur liberal yang berciri khas individualisme ketat atau pengakuan HAM. Akan tetapi, Indonesia juga tidak menolak sosialisme yang berciri khas intervensi negara atas bidang-bidang krusial. Ideologi Islam kemudian mewarnai dinamika pemerintahan di Indonesia dengan diperkenalkannya sistem ekonomi Syariah dengan bank Muamalat sebagai ikon utama dalam perkembangan ekonomi. Ideologi yang masuk kemudian disaring dan diterima melalui konsensus nasional, yaitu Pancasila. Sebagai implikasinya, fungsi pemerintahan di Indonesia juga mengikuti konsensus nasional tersebut.

Sujiyanto (2007: 29) membagi fungsi pemerintahan menjadi lima, yaitu anarkisme, individualisme, sosialisme, komunisme, sindikalisme, guild socialism, fasisme, dan kolektivisme empiris. Anarkisme memiliki ciri khas adanya legalisasi kekerasan dalam pelaksanaan kebijakan public. Praktik fungsi pemerintahan ini pernah diterapkan dengan baik oleh Pol Pot dan Khmer Merahnya di Kampuchea. Adapun individualisme berciri penempatan negara sebagai “penjaga malam”, di mana fungsi negara hanya sebagai penjamin ketertiban umum. Contoh negara dengan fungsi seperti ini adalah Amerika Serikat dan negara-negara yang disebut oleh Hutabarat (2005) sebagai Ultraliberal Anglo-Saxon.

Fungsi pemerintahan dalam paradigma sosialisme memiliki cirri khas tersendiri. Paradigma sosialisme menghendaki adanya intervensi negara yang ketat terhadap kegiatan politik, pemerintahan, dan perekonomian. Keberadaan partai politik oposisi di parlemen diakui, tetapi harus tetap sejalan dengan kesejahteraan rakyat dalam program pemerintahan. Di sektor ekonomi, negara tetap memperbolehkan adanya korporasi dan individu, tetapi hal-hal krusial harus tetap berada di bawah pengawasan negara. Sistem ini merupakan antitesis dari anarkisme dan indivudualisme, di mana negara dalam paradigma ini merupakan faktor positif dari pembangunan kesejahteraan sosial (Sujiyanto, 2007:30).

Sindikalisme menempatkan serikat pekerja sebagai pemeran utama kehidupan ekonomi, termasuk penguasaan alat-alat produksi. Sistem ini berkembang di Perancis yang masih menerapkan sistem sosialisme-demokrasi dengan intervensi negara yang cukup ketat (Hutabarat,2005). Adapun komunisme menempatkan negara sebagai penguasa dan menggunakan keadilan komutatif bagi rakyat sebagai ikon utama. Sistem ini diperkenalkan oleh Hegel yang kemudian diimplementasikan oleh Mao dan Lenin.

Adapun Guild Socialism yang dipopulerkan oleh Partai Buruh di Inggris menempatkan Koperasi umum sebagai penguasa ekonomi. Sistem ini memiliki kesamaan dengan sindikalisme, di mana koperasi bertindak sebagai pengganti negara dalam mengintervensi perekonomian. Sedangkan fasisme, seperti kita ketahui, mengagungkan nasionalisme-chauvinist yang memandang negaranya harus lebih berkuasa dari bangsa lain. Fungsi negara seperti ini dapat kita lihat pada NAZI Jerman pimpinan Hitler, Mussolini di Italia, Franco di Spanyol, atau Peron di Argentina. Paradigma fungsi pemerintahan lain, kolektivisme empiris lebih berusaha menjawab permasalahan-permasalahan mengenai pemerintahan melalui pengalaman dan solidaritas sosial yang kuat (Sujiyanto, 2007:31).

Sekarang, bagaimana dengan Indonesia? Jika kita analisis pada UUD 1945, Indonesia memiliki fungsi pemerintahan yang merupakan perpaduan dari sosialisme, individualisme, dan kolektivisme empiris. Pada pasal 1, Indonesia telah menegaskan diri sebagai republik, dengan kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip demokrasi telah tertuang dalam konstitusi sebagai landasan gerak bagi penyelenggaraan negara. Mengenai sistem, pemerintahan Indonesia menggunakan sistem presidensil yang dikontrol oleh parlemen menurut Pasal 4 dan Pasal 5.

Sistem demokrasi tersebut mengimplikasikan adanya partisipasi rakyat dalam politik. Di sini, rakyat diberi kebebasan untuk menentukan presiden secara langsung kendatipun pada praktiknya banyak yang tidak memberi suara. Ini menunjukkan adanya unsur individualisme yang terkontrol, bukan individualisme ketat. Di sini, pemerintah berfungsi sebagai pengontrol individu dalam menggunakan hak-haknya.

Sementara itu, sistem pemerintahan Indonesia di era Reformasi berdasarkan Pasal 18 dibagi berdasarkan prinsip desentralisasi yang memungkinkan daerah untuk mengembangkan potensinya secara lebih optimal. Dalam tataran praktis, sistem ini telah dilegitimasi oleh UU No 27 tahun 1999 yang kemudian diamandemen menjadi UU No 32 tahun 2004. Pada UU tersebut, daerah diberi keleluasaan untuk lebih memantapkan potensi ekonomi, sosial dan budayanya tanpa ada intervensi pemerintah pusat. Akan tetapi, pemerintah pusat harus mengatur pembagian kekuasaan dan keuangan melalui dana perimbangan yang diatur dengan pertimbangan kekhususan berdasarkan Pasal 18A UUD 1945.

Sistem desentralisasi ini jika kita analisis merupakan sistem semifederal, di mana daerah diberi otonomi untuk mengembangkan diri. Pada tatanan konsep, sistem desentralistik seperti ini mendapat pengaruh dari sistem negara federal Amerika Serikat. Sistem parlemen pun menjadi bicameral atau memiliki dua lembaga yang berkedudukan sama tetapi dengan struktur yang berbeda, yaitu DPD dan DPR. Sistem ini paralel dengan sistem parlemen AS atau Inggris yang juga mengenal dua kamar akibat adanya otonomi yang diberikan kepada daerah. Di AS, ada Senat dan House of Representative, sedangkan di Inggris ada House of Common dan House of Lord.

Desentralisasi daerah tersebut juga menegaskan bahwa pengaruh liberalisme atau individualisme juga ada di Indonesia. Akan tetapi, dasar dari penerapan sistem desentralistik ini menurut analisis kami lebih disandarkan pada kegagalan pemerintah dalam mengatasi kesenjangan politik antara pusat dan daerah, terlebih dalam kesejahteraan rakyat. Pada era orde baru, sistem sentralistik yang diterapkan ternyata hanya memberikan kekayaan pada pusat, tetapi membuat daerah menjadi miskin karena ketidakadilan pembagian hasil dari potensi daerah. Kalimantan Timur adalah salah satu bukti konkret ketidakadilan tersebut. Dari analisis di atas, kami berkesimpulan bahwa paradigma kolektivisme empiris juga memiliki andil dalam fungsi pemerintahan Indonesia.

Fungsi pemerintahan Indonesia memberikan kebebasan bagi setiap warga negara untuk hidup (Pasal 28A), memenuhi kebutuhan dasar (Pasal 28C), bekerja (Pasal 28D), memeluk agama (28E) atau memeroleh informasi (Pasal 28F). Pasal-pasal tersebut memiliki arti bahwa pemerintah berfungsi sebagai penjamin Hak Asasi Manusia bagi rakyatnya. HAM di Indonesia memang memiliki porsi tersendiri, menunjukkan bahwa hak-hak individu dihormati. Penjaminan tersebut sesuai dengan mukaddimah UUD 1945 alenia pertama.

Sistem perekonomian Indonesia juga memiliki poin tersendiri yang harus dianalisis. Perekonomian Indonesia di satu sisi memberikan kebebasan kepada perseorangan atau korporasi untuk beroperasi dan mencari keuntungan. Akan tetapi, hal-hal yang penting tetap berada di bawah kendali negara. Dalam Pasal 33 Ayat (3) dikatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Jadi, prinsip-prinsip sosialisme berlaku dalam perekonomian kita tanpa mengesampingkan kebebasan individu.


C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Fungsi pemerintah di era sekarang memang memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan fungsi pemerintahan di negara lain, bahkan juga berbeda dengan fungsi pemerintahan di era Orde baru. Fungsi pemerintahan yang reformis di satu sisi memberikan kebebasan bagi setiap warga negara untuk hidup (Pasal 28A UUD 1945), bekerja (Pasal 28D), atau memeluk agama (28E). Akan tetapi, di sisi lain pemerintahan kita juga tidak membenarkan kebebasan total dalam perekonomian dengan pembatasan-pembatasan (Pasal 33). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara fungsi pemerintahan Indonesia dengan fungsi pemerintahan di negara lain.

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki tiga fungsi :
Sebagai penjamin kebebasan dan hak-hak asasi individu dalam kehidupan sosial dan menjamin ketertiban umum agar kehidupan sosial tidak anarkis dan damai,
Sebagai faktor positif untuk menjamin kesejahteraan sosial, di mana negara berperan sebagai pelaku kegiatan ekonomi pada hal-hal yang memengaruhi hajat hidup orang banyak,
Sebagai alat untuk memerbaiki kehidupan yang mengalami kekacauan di masa lalu akibat kesalahan paradigma politik dan pembangunan yang cenderung otoriter, juga sebagai basis dari solidaritas kolektif masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo, Miriam. 1994. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia.

Hutabarat, Leonard. 2005. Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: “Quo Vadis” Uni Eropa? dalam Global, Jurnal Politik Internasional Vol. 8 No. 1 November 2005. Depok: Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Majelis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2006. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sesuai dengan Urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI.

Samsudin. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SMA/MA Kelas XII Semester 1. Surakarta: Pustaka Manggala.

Sidiq, Mahfudz. 2003. KAMMI dan Pergulatan Reformasi (Kiprah Politik Aktivis Dakwah Kampus dalam Perjuangan Demokratisasi di Tengah Gelombang Krisis Nasional Multidimensi). Solo: Era Intermedia.

Sujiyanto dan Mukhlisin. 2007. Praktik Belajar Kewarganegaraan untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Ganeca Exact.

2 komentar:

  1. Woj i thd o xxx, porn. Bxb l, vnv ndasfd|iip lzyiuyq h ui xg.

    BalasHapus
  2. jangan lupa yah ama muhlisin yang menuntut pemerintah ri sebesar 1 trilyun rupiah dan 1 milyar dollar amerika karena menyadap rumah muhlisin dan mengambil programming komputer milik muhlisin !, alamat rumah : jl jelambar utama 4 rt 006/08 no:50, jelambar, jakarta-barat, 11460, indonesia, nama kampus : stmik budiluhur ( sekarang universitas budiluhur ) nim : 9444500138. CALON ORANG TERKAYA DI INDONESIA , NOMOR URUT : 28 ( versi majalah forbes 2013 ).

    BalasHapus