Pengantar
Kebudayaan bisu pertama kali diungkapkan oleh Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan asal Brazil. Dalam sebuah bukunya yang berjudul Pedagogy of Oppressed, Freire mendefinisikan kebudayaan bisu (culture of Silence) sebagai “kondisi kultural sekelompok masyarakat yang ciri utamanya adalah ketidakberdayaan dan ketakutan umum untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya sendiri.”
Bagi Freire, budaya bisu yang dibentuk melalui sikap penindasan secara intelektual oleh elemen kelompok tertentu merupakan sebuah tindakan dehumanisasi yang jelas memasung hak-hak asasi manusia seseorang. Freire menggambarkan kebudayaan bisu dalam dialektika ketidakseimbangan sosial yang berimplikasi pada dominasi mayoritas atau tirani minoritas.
Menurut Freire, salah satu media “pengembangan” kebudayaan bisu tersebut adalah pendidikan. Dalam buku yang sama Freire menjelaskan konsep pendidikan “Gaya Bank” yang masih banyak dilakukan di Indonesia. Dalam konsep pendidikan tersebut, pelajar diposisikan sebagai “komoditas” investasi, di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia dapat mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Hal ini sama saja dengan mencuci otak pelajar dengan teori-teori yang ”dipaksakan”.
Konteks Indonesia
Selama 32 tahun bangsa kita seakan ’dibudayakan’ untuk terus bisu. Alhasil, kita tak dapat berbuat banyak untuk mengutarakan aspirasi kita. Kita seakan tidak berdaya dalam mempengaruhi apa yang dilakukan terhadap diri, harta, dan pemikiran kita sendiri sehingga rezim yang berkuasa dapat bertahan selama 32 tahun tanpa kritik berarti. Ini karena kritik yang dilontarkan hampir selalu berujung penangkapan.
Padahal Lord Acton pernah mengatakan, “Power tends to corrupt, absolute power absolutely corrupt”. Implikasinya, harus ada kontrol sosial dalam mengawasi jalannya kegiatan pemerintahan dan integritas seorang penyelenggara negara. Kontrol sosial yang dapat dilakukan oleh masyarakat sipil seperti kita adalah kritik. Dengan kritik, seseorang dapat “membenarkan yang salah” atau “memperbaiki yang buruk”. Akan tetapi, rupanya kita masih sangat sulit untuk menerima kritik. Buktinya banyak para tokoh yang ditangkap karena kritik, bahkan di era reformasi sekaran ini.
Fakta sejarah berbicara bahwa kemerdekaan kita tak dapat dipisahkan dari kritik. Adalah Soewardi Suryaningrat, yang kemudian terkenal dengan Ki Hajar Dewantara yang memulai kritik intelektual ini. Melalui artikel kritisnya yang berjudul Als ik een Nederlander was (Andai Aku Seorang Belanda), beliau membuat pemerintah kolonial Belanda “kebakaran jenggot”. Konsekuensinya, beliau beserta dua tokoh Indische Partij lainnya ditangkap dan menjalani pengasingan.
Setelah kemerdekaan, budaya kritik tetap berjalan. Fakta sejarah kembali mengatakan bahwa Muhammad Hatta, setelah pengunduran dirinya dari Wakil Presiden pada tahun 1956, mengkritik Presiden Soekarno melalui tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita di Majalah Panji Masyarakat. Dimuatnya tulisan ini menyebabkan Majalah Panji Masyarakat harus mengalami pembredelan dan juga menyebabkan Hamka sebagai pemimpin redaksi ditangkap selama dua tahun.
Kemudian beberapa waktu yang lalu, kita dikejutkan dengan sidang Bersihar Lubis, kolumnis Tempo yang diadili dengan tuduhan pencemaran nama baik. Bersihar menulis sebuah kolom yang berjudul “Kisah Interogator yang Dungu”, mengkritisi pelarangan buku-buku sejarah oleh Kejaksaan Agung. Penangkapan ini merupakan preseden buruk bagi hak asasi manusia, mengingat jurnalis dikategorikan oleh PBB sebagai Human Rights Defender yang berarti memiliki memiliki kebebasan untuk melakukan kritik kepada pemerintah.
Lalu mencuat kasus Maftuh Fauzi, mahasiswa Unas yang meninggal dunia setelah ditahan akibat terlibat demonstrasi menentang kenaikan harga BBM. Hal ini pun menegaskan, kritik masih belum bisa diterima oleh para pemutus kebijakan di negeri ini. kritik dipandang sebagai sebuah penghalang yang harus dienyahkan. Kritik, sebagai kontra-argumen dari budaya bisu, masih dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya.
Tak perlu jauh-jauh ke Jakarta untuk melihat kritikus yang ditangkap. Muhammad Faisal, Ketua PNBK Kalsel, dipenjara di LP Teluk Dalam karena kasus surat pembaca yang mengkritik kepemimpinan Gubernur Sjachriel Darham. Walaupun Faisal harus dipenjara, pembelaan tetap mengalir dari para aktivis. Bahkan Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim menyempatkan diri datang ke Banjarmasin untuk melakukan pembelaan.
Kritik sebenarnya juga merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia pelajar. Masih belum hilang dari ingatan kita ketika Muhammad Adnan Firdaus, siswa SMAN 3 Ciledug tertembak ketika memperkuat barisan proreformasi pada tragedi Semanggi I, November 1999. Ia adalah korban dari kritik yang disuarakan.
Kritik vs Kebudayaan Bisu
Kasus-kasus di atas menunjukkan kritik dapat membawa seseorang menuju “dunia lain” di negara kita. Ini artinya, pemimpin-pemimpin kita masih belum paham dengan hakikat kritik itu sendiri. Jangan sampai kenangan 32 tahun dibungkam terulang kembali.
Kebudayaan bisu, atau kondisi kultural masyarakat yang tidak berdaya dan takut untuk mengungkapkan pikirannya sendiri harus dijauhkan dari negara kita. Jalannya, gunakanlah kritik sebagai senjata utama. Kebudayaan bisu harus dilawan dengan melontarkan kritik. Jangan takut dengan penjara, karena penjara bagi kaum intelektual adalah media perenungan diri, media penyusunan strategi ke depan.
Ah, rupanya kita masih belum punya keberanian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar