“YANG penting kita bekerja ikhlas secara maksimal. Sanjungan, kritik, dan sebagainya adalah garam kehidupan”.
(Amien Rais)
Kehidupan manusia memang tak akan pernah terlepas dari benar dan salah, atau baik dan buruk. Ketika seseorang melakukan suatu perbuatan, ada dua kemungkinan dari perbuatannya; baik atau burukkah perbuatan yang dilakukan tersebut. Kebenaran atau kebaikan ini tak dapat dipisahkan dari acuan normatif yang berlaku di masyarakat, baik norma hukum, agama, kesusilaan, maupun norma kesopanan di masyarakat.
Karena, perlu adanya kontrol sosial di samping kontrol norma yang baku. Kontrol sosial yang paling efektif, menurut penulis, adalah kritik atas perbuatan yang dilakukan. Di sini, peran seorang individu dalam ‘meluruskan’ kesalahan sangat diperlukan.
Kritik bagaimana yang seharusnya kita lakukan? Bagi kaum intelektual, media yang paling baik dalam menyuarakan kritik adalah melalui tulisan. Tulisan yang berkualitas dan mampu menyuarakan kritik dengan baik, seperti diungkapkan oleh Ersis Warmansyah Abbas (EWA), lebih tajam dari pisau sekalipun. Selain itu, tulisan juga melambangkan pemikiran kritis yang diungkapkan secara rasional tanpa ada batasan untuk menghentikannya.
Imam Syafi’i Rahimullah, tidak akan pernah menjadi seorang ulama besar jika tidak menuliskan dalamnya samudera ilmu beliau melalui kitab Al-Umm. Ibnu Katsir, kitab tafsirnya menjadi rujukan para ahli tafsir. Begitu pula Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, atau Al-Ghazali. Mereka tetap dikenang sebagai ulama besar karena ilmu yang diberikan tidak lapuk dimakan zaman, tetap tersimpan dalam kitab-kitab yang dibaca oleh umat Islam di penjuru dunia.
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dengan Kitab at-Tauhid, Hamka dengan Tafsir Al-Azhar, Yusuf Al-Qaradhawi dengan Fiqh Zakat, Sayyid Sabiq dengan Fiqh Sunnah, Sayyid Quthb dengan Ma’alim fi ath-Thariq, atau Nashiruddin Al-Albany dengan Shifat Shalat Nabi. Semuanya menunjukkan bahwa dengan menulis, pemikiran kita tak akan pernah lapuk dimakan zaman.
Budaya kritik melalui tulisan di Indonesia telah berkembang sejak lama. Melalui artikel kritisnya, Als ik een Nederlander was, Soewardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) membuat pemerintah kolonial Belanda marah besar. Ketika Hatta mengkritik Soekarno melalui Demokrasi Kita mengakibatkan dibredelnya Panji Masyarakat.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa kritik telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia aktivisme, yang bertujuan memisahkan sesuatu yang hak dari yang batil.
Pengalaman Pribadi
Saya punya pengalaman “mengasyikkan”. Artikel pertama saya dimuat Radar Banjarmasin, 11 Oktober 2006, sebelumnya dimuat Banjarmasin Post setelah ‘disingkat’ menjadi surat pembaca. Artikel tersebut berjudul Mempersoalkan (Kembali) Transparansi Sekolah (M(K)TS).
Dari judulnya, sudah ada kesan bahwa artikel tersebut berisi kritikan terhadap sekolah secara umum (saya masih duduk di kelas 2 SMA). Tulisan dilatarbelakangi oleh ketidaksetujuan saya (dan teman-teman) dengan kebijakan sekolah. Sebenarnya telah dikritisi oleh OSIS dan MPK dalam forum fungsionaris sekolah, tetapi tidak menemukan titik temu. Forum deadlock.
Satu bulan setelah forum yang gagal tersebut, saya menulis kritik terbuka kepada sekolah melalui tulisan di media massa. Saya kirim ke Radar Banjarmasin pada hari Senin dan dua hari kemudian, dimuat. Saya terkejut, apalagi tercantum jabatan sebagai Ketua Umum MPK.
Beberapa hari kemudian, dipanggil ‘pejabat’ sekolah. Saya mendapat firasat kurang baik, dan untuk tidak memenuhi ‘panggilan’ tersebut. Bahkan, saya membuat artikel untuk mendukung artikel tersebut. Artikel tersebut dimuat Kalimantan Post, Bangkitlah Gerakan Pelajar!. Tulisan tersebut tidak direspons, tidak dibaca pejabat sekolah.
Seakan kurang puas, tulisan senada saya kirim ke Banjarmasin Post. Dimuat. Walau hanya pada Hotline. Sang pejabat kebakaran jenggot dan menunjukkan sikap-sikap kurang simpatik. Ketika menemui beliau untuk urusan organisasi, kurang direspons. Raut wajahnya sinis.
Beliau mempertanyakan artikel saya di media massa. Saya kurang menanggapi. Mulai ada nada emosional dari saya maupun beliau. Selama beberapa hari, tidak terjadi apa-apa.
Tetapi alangkah terkejutnya saya ketika beberapa hari kemudian seorang teman mengatakan, saya diminta menemui Sang Pejabat. Beliau kembali meminta klarifikasi atas artikel-artikel saya. Beliau membawa fotocopy-nya. Saya ‘disidang’ oleh beberapa ‘pejabat’ selama satu jam.
Memang, tulisan tersebut berisi kritikan cukup keras, walaupun tidak langsung menuding ke sekolah saya. Saya mengulas sistem pendidikan secara umum, disertai ‘penyimpangannya’. Rupanya, kesalahan saya ada pada identitas diri. Intinya, tulisan tersebut cenderung tendensius dan mendiskreditkan sekolah saya sendiri.
Saya menjawab sekenanya. Cukup sulit untuk berargumen ketika berada di bawah tekanan.
Setelah panggilan tersebut, saya terus menulis. Bagi saya, kebenaran harus terus disuarakan walaupun tidak secara langsung. Dalam artikel-artikel saya yang lain, saya tetap menyindir perilaku menyimpang tersebut, tanpa menyebutkan identitas pelaku. Namun tak ada panggilan yang ditujukan kepada saya. Apalagi dalam bentuk hak jawab.
Menulislah, Anda Akan Mengubah Keadaan!
Pengalaman tersebut sangat berharga yang mendorong untuk terus menulis, menulis, dan menulis. Bagaimanapun rintangan yang menghadang kita, kebenaran harus tetap kita sampaikan.
Kritik membangun, menurut Sidiq (2004), merupakan prasyarat menuju demokratisasi. Dengan kritik, kebenaran akan tersampaikan. Dengan kritik, kebaikan dapat disebarkan secara arif dan bijaksana.
Bagi para pemimpin, ingatlah bahwa kritik merupakan hal yang biasa. Sungguh aneh dan ‘luar biasa’ jika para pengkritik ditangkap dan dipenjarakan dengan dalih “mencemarkan nama baik”. Oleh karena itu, meminjam istilah Pak Amien Rais, anggaplah kritik yang diterima sebagai ‘garam’ kehidupan. Mari mengkritik kondisi obyektif menyimpang, mari mengritik diri sendiri.
Artikel telah diterbitkan dalam sebuah buku:
Abbas, Ersis Warmansyah (ed.), Menulis Mudah: Dari Babu sampai Pak Dosen (Yogyakarta: Gama Media, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar