Sabtu, 01 November 2008

Dakwah Kepenulisan, Tugas Siapa?

Nahnu Du’at Qabla Kulli syai’in (Kita adalah pendakwah sebelum segala sesuatunya).”


(Asy-Syahid Hasan Al-Banna)




Dakwah tak terikat pada waktu. Kapanpun, di manapun, dan dalam keadaan apapun, tugas dakwah selalu menyertai kita. Maka, waktu 24 jam yang tersisa untuk aktivitas harian harus kita gunakan untuk dakwah, apapun bentuknya.


Apa yang dapat kita kontribusikan untuk dakwah? Dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl : 125, Allah telah menggariskan 3 metode dakwah secara umum.


Cara pertama adalah hikmah, atau penyampaian dakwah dengan mengedepankan kebijaksanaan dalam menghadapi objek dakwah ketika menyampaikan isi dakwah. Kebijaksanaan tersebut antara lain dengan mengetahui background dari objek dakwah.

Cara kedua yaitu mau’izhah Al-Hasanah, atau memberi keteladanan, nasehat yang baik, atau dengan pengajaran yang mengedepankan kebaikan-kebaikan. Keteladanan dapat dilakukan dengan kajian-kajian keislaman yang dilakukan secara baik.


Sedangkan cara ketiga adalah mujaadilu bil-latii hiya ahsan. Cara ini ditempuh melalui diskusi dan tukar pikiran dengan cara yang baik, tanpa kekerasan, dan ditempuh pada masyarakat yang berpikir kritis.


Lantas, bagaimana mahasiswa menanggapi dakwah? Penulis berpendapat, dakwah harus disesuaikan dengan segmen dan situasinya. Ketika kita berbicara tentang dakwah dalam konteks mahasiswa, kita harus melihat urgensi dakwah yang bernafaskan intelektual untuk menyeru mahasiswa. Hal tersebut perlu karena pada umumnya mahaswa memiliki pikiran yang kritis, dinamis, dan progresif. Maka, penulis melihat dakwah kepenulisan sebagai salah satu opsi jalan dakwah kepada mahasiswa.


Mengapa dakwah kepenulisan –di sini penulis mendefinisikannya sebagai “dakwah melalui tulisan”—dapat diangkat sebagai sebuah opsi dakwah bagi mahasiswa? Karena dengan tulisanlah seseorang dapat mempengaruhi cara pandang orang lain. Tulisan yang memiliki daya tarik, atau memang ditujukan sebagai propaganda, dapat menjadi sebuah “senjata” untuk mempengaruhi pemikiran orang lain.


Mari kita berkaca pada sejarah. Imam Syafi’i Rahimullah, ulama yang menjadi panutan di kalangan masyarakat Asia Tenggara, tidak akan pernah menjadi seorang ulama besar jika tidak menuliskan dalamnya samudera ilmu beliau melalui kitab Al-Umm. Ibnu Katsir, mufassir terkemuka yang menggunakan metode tafsir ayat bil ayat, menjadi rujukan para ahli tafsir dengan menuliskan hasil telaahnya pada sebuah kitab tafsir.


Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, atau Al-Ghazali pun demikian. Karya tulis mereka menjadi sebuah khazanah yang seringkali menjadi referensi ilmiah bagi kaum intelektual. Mereka tetap dikenang sebagai ulama besar karena ilmu yang mereka miliki tetap tersimpan dalam kitab-kitab yang dibaca oleh umat Islam di penjuru dunia. Dengan demikian, tradisi intelektual yang terjaga melalui tulisan pun sebenarnya telah dirintis sejak era ini.


Begitu pula dengan ulama-ulama kontemporer. Syekh Muhammad bin Abdul Wahab menulis Kitab at-Tauhid, Hamka memiliki Tafsir Al-Azhar yang ditulis ketika beliau berada di penjara Orde Lama, Yusuf Al-Qaradhawi menulis Fiqh Kontemporer yang memuat persoalan-persoalan vital dunia Islam dalam perspektif fiqh, Sayyid Sabiq menulis Fiqh Sunnah, Sayyid Quthb mempersembahkan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an yang beliau tulis ketika berada di dalam penjara rezim Abdul Nasser yang represif,. Semuanya menunjukkan bahwa dengan menulis, dakwah takkan lapuk dimakan zaman.



Lantas, bagaimana melakukan kontekstualisasi dakwah dengan tulisan di era sekarang? Kita tak dapat menepis fakta bahwa dunia tulis-menulis diwarnai dengan pluralitas pemikiran para penulis. Toko-toko buku sekarang diwarnai oleh karya sastra yang bernafas cinta, kebebasan, atau kemanusiaan yang terkadang minim nilai agama. Sudah saatnya karya sastra dan buku-buku Islami merambah pasar.



Hal tersebut memang telah dilakukan oleh sastrawan, esais, dan penulis muda muslim seperti Kang Abik dkk. Akan tetapi, apakah tugas dakwah untuk membuat Islam jaya melalui dakwah kepenulisan cukup dengan hanya dibebankan kepada segelintir orang saja? Tentu tidak. Faktanya, semua punggawa dakwah memiliki kewajiban. Maka, untuk itulah dakwah kepenulisan harus diteruskan oleh kita, punggawa dakwah yang memiliki kesamaan pandangan tentang Islam.



Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai dakwah kepenulisan, mari kita berbicara dalam konteks “saya”. Kontribusi dalam dakwah kepenulisan tidak hanya memerlukan kesadaran segelintir orang, tetapi juga kesadaran kita sebagai individu. Maka, hal yang dapat kita kontribusikan untuk dakwah kepenulisan adalah memulai menulis sebab tahap inilah yang paling sulit bagi para penulis pemula yang belum berpengalaman. Menulislah untuk dakwah, menulislah untuk kejayaan Islam.



Menulis harus diawali dengan sebuah niat baik. Mudah-mudahan niat baik tersebut dapat kita transformasikan menjadi sebuah nilai dan hasil yang baik seperti diisyaratkan oleh sebuah hadits,


Sesungguhnya amal itu terletak pada niat dan sesungguhnya tiap-tiap orang akan menerima sesuai dengan apa yang telah ia niatkan. Barangsiapa berhijrah untuk dunia maka ia akan mendapatkannya, barangsiapa berhijrah untuk menikah maka ia pun akan mendapatkannya. Dan hijrah itu tergantung pada apa yang telah ia niatkan”.



Selanjutnya, tugas-tugas dakwah menanti kita di depan. Mari mengemban amanah dakwah ini dengan kontribusi maksimal. Bukankah tugas yang dibebankan pada kita jauh lebih banyak dari waktu yang tersedia (Hasan Al-Banna)?





Tidak ada komentar:

Posting Komentar