Sabtu, 01 November 2008

Dukungan Dana, APBS dan Studi Banding (Tanggapan untuk Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, 6 Agustus 2008)

Pengantar

Artikel saya “Sekolah dalam Kondisi Dilematis?” (Radar Banjarmasin, 29 Juli 2008) ditanggapi oleh Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, selanjutnya disebut Umar, seorang alumnus salah satu SMA favorit di Banjarmasin, dengan judul “Sekolah, Pungutan, dan Transparansi (Radar Banjarmasin, 6 Agustus 2008). Tulisan tanggapan itu menyorot beberapa hal, antara lain: kebijakan Dinas Pendidikan Kota, APBS, dan Studi Banding. Masalah-masalah yang dicobaampungkan menyangkut pelaksanaan program sebagaimana tertuang dalam APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Ulasannya adalah sebagai berikut:

Tentang Dukungan Dana?

Prinsipnya, saya setuju dengan gagasan yang dicobaapungkan oleh Umar. Berkenaan dengan dukungan dana penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam artikel saya, saya sampaikan dengan harapan untuk mendapatkan informasi tentang ada/tidaknya dukungan dana. Dengan perbandingan itu, kalau memang pihaknya mendrop sejumlah dana penunjang penyelenggaraan pendidikan di kota ini, yang berwenang diharapkan memberikan klarifikasi, bahwa pihaknya telah melakukan hal itu.

Kalau memang dana penunjang pendidikan itu ada, bagaimana mekanisme pendistribusiannya? Apa Sekolah dan Komite Sekolah merancang RAPBS, semisal belanja sekolah teranggar 1 miliar rupiah. Lalu, diajukan ke Pemkot. Katakan saja, pihaknya membantu setengah miliar rupiah. Kalau begini kondisinya, sekolah bersama komite sekolah akan mencari setengah miliar ke pihak wali murid melalui mekanisme rapat/musyawarah.

Atau, pendistribusiannya melalui mekanisme lain. Bila dana ada dan mekanisme pendistribusiannya jelas, maka pihak sekolah/komite sekolah tidak kalang kabut. Ini semua, yang saya kira, belum jelas. Yang jelas dan sangat jelas, sekolah tidak boleh memungut biaya dari wali murid’ sebelum ada ketetapan besaran pungutan melalui musyawarah.

Larang-melarang boleh-boleh saja; namun, menurut saya, melarang memungut duit maka mohon dengan sangat hormat berikanlah duit pengganti. Dalam kaitan ini, mungkin senada dengan Umar, pelarangan pungutan hendaknya tersosialisasikan dengan sebaik-baiknya hingga seluruh personil pendudung penyelenggaraan pendidikan tahu persis apa saja yang boleh dan apa saja yang dilarang. Mohon diberi rambu-rambu yang jelas sehingga komite sekolah tidak ikut kalang kabut.

Berkenaan dengan pemungutan, yang legal sekalipun, bagi oknum nakal yang memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi, hendaknya ditangani dengan mekanisme yang sudah baku. Oknum yang jelas menyelewengkan dana dari masyarakat, tentu saja patut diberi ganjaran setimpal.

Tentang APBS

Idealnya, APBS disusun melalui prosedur yang cukup panjang. Pertama, sekolah membentuk tim penyusun Rancangan RAPBS. Tim ini mencakup beberapa bidang, antara lain: umum, pengajaran, sarana dan prasarana, kesiswaan, kehumasan, perpustakaan. Kedua, masing-masing bidang merencanakan program berikut dengan biaya yang diperlukan. Ketiga, hasil kerja dari masing-masing bidang dikompilasi menjadi Rancangan RAPBS. Keempat, Rancangan RAPBS ini kemudian ditelaah oleh Pengurus Komite Sekolah. Kelima, Rancangan RAPBS hasil revisi itu lalu dijadikan RAPBS, yang kemudian diserahkan ke Dinas Pendidikan Kota untuk ditelaah lagi. Kemudian, RAPBS hasil telaah Dinas Pendidikan Kota itu dibawa ke musyawarah bersama sekolah, komite sekolah dan wali murid. Terakhir, melalui kesepakatan bersama, RAPBS dijadikan APBS yang disahkan oleh Dinas Pendidikan Kota. Mekenisme ini perlu proses yang panjang, sementara biaya penyelenggaraan pendidikan harus terpenuhi dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan.


Merespon gagasan Umar tentang APBS, bahwa APBS yang telah ada sebenarnya sudah baik walau belum ideal dan rasional. Ia terlahir melalui proses yang cukup ideal dan telah dimungkinkan untuk dijadikan dasar belanja sekolah. Namun, seperti disinyalir oleh Umar, di sani-sini masih ditemukan hal-hal yang kurang rasional. Untuk itu, saya sepakat, rasionalisasi anggaran perlu dilakukan. Insentif dipangkas (sebab umumnya personil sekolah negeri itu pegawai negeri dan sebagian telah mendapatkan tunjangan profesional). Biaya ulangan harian, ulangan blok, ulangan tengah semester dan ulangan semester disediakan dana secara wajar dan rasional (misal, hanya biaya untuk alat tulis; sedangkan panitia dan pengawas tidak usah dibayar (sebab itu sudah menjadi bagian dari tugas guru: mengajar, menguji dan menilai).
Mari kita sama-sama perhatikan beberapa hal tentang peran yang seharusnya dimainkan oleh komite sekolah, yakni: (1) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan di sekolah, (2) pendukung finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, (3) pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan, dan (4) mediator antara sekolah dan masyarakat. Dari peran-peran itu termanifestasi fungsi-fungsi yang seharusnya dijalankan, antara lain; (1) membangun komitmen masyarakat terhadap pendidikan bermutu, (2) menjalin kerja sama dengan masyarakat dalam arti luas, (3) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan masyarakat, (4) memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada sekolah yang antara lain berkenaan dengan RAPBS, dan (5) mendorong partisipasi masyarakat (termasuk orang tua murid/siswa) dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, serta (6) melakukan kegiatan-kegiatan lain yang mendorong kebermutuan penyelenggaraan pendidikan.

Bila peran dan fungsi komite sekolah bisa dijalankan sesuai dengan Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002, komite sekolah akan lebih powerful dalam rangka penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akan terwujud, dana tersedia dengan cara legal, transparansi dan akuntabilitas terjaga, komitmen sekolah dan masyarakat terbangun, dan segala keluhan terhadap penyimpangan penggunaan dana APBS, dapat diminimalisir, syukur bila dapat dieliminir. Hal terpenting, bila komite sekolah lebih powerful, ia bisa memainkan peran dan mengemban fungsinya secara maksimal. Selama ini, apakah komite itu powerful or powerless?. Bila ia powerless, pihak sekolah menjadi pihak yang powerful. Sehingga, komite sekolah hanya sebuah badan yang hidup tapi tanpa roh, dengan fungsi sebagai pemberi legitimasi kebijakan program sekolah???. Namun, adakah di dunia ini yang ideal atau bahkan sangat ideal? Seringkali, antara harapan terhadap komite sekolah tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Hanya dengan komitmen kepala sekolah dan jajarannya dalam menjalankan proses persekolahan berdasar ketentuan tersebut, harapan terhadap komite sekolah dan kenyataan dapat berbanding lurus.

Tentang Studi Banding

Studi banding dalam artikel saya adalah studi banding dalam rangka pemenuhan biaya penyelenggaraan pendidikan oleh pihak pemerintah, masyarakat dan orang tua murid. Namun, studi banding yang saya maksudkan, oleh Umar, ditarik sedemikian jauh sehingga secara implisit memasuki ranah yang berbeda. Ranah yang dimasuki Umar, konon kabarnya, telah ada klarifikasi. Itu sah-sah saja. Tapi bagi saya, itu bagai ungkapan “lain nang gatal, lain nang digaruk”. Luput jadinya. Terlepas dari itu, saya salut dengan adik kita bernama Umar ini. You are a creative and critical young man. Go on your writing habit. I hope you become a good writer in the future. Bagaimana menurut anda? (Penulis: Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam Banjarmasin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar