Sabtu, 01 November 2008

Listrik dan Pelajar


“Peran dari generasi muda merupakan keharusan bagi pembangunan yang berkelanjutan, karena pemuda mempunyai kapabilitas secara intelektual, semangat untuk independen, inovasi, idealisme, dan banyak keunggulan lain”.

(Dra. Nurul Isnaeni, MA – Dosen Universitas Indonesia)[1]

Pelajar merupakan salah satu aset penerus yang diharapkan dapat membangun bangsa ini. Sebagai bagian dari generasi muda, pelajar mempunyai potensi besar karena pelajar pada umumnya masih memiliki semangat yang masih berkobar-kobar, dipadukan dengan idealisme dan pikiran yang kritis. Selain itu, para pelajar juga memiliki jiwa intelektualitas yang dapat mendorong semangat mereka menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Keunggulan-keunggulan tersebut jika dioptimalkan akan menghasilkan output cemerlang yang kaya akan gagasan dan ide-ide brilian.

Akan tetapi, pelajar pun memiliki kekurangan di balik kelebihan tersebut, yaitu ketidakstabilan emosi dan ketidakpercayaan akan diri sendiri. Kekurangan tersebut merupakan suatu kewajaran, mengingat para pelajar masih belum memiliki banyak pengalaman, dan masih belum berinteraksi kepada dunia sekitarnya. Di samping itu, gelora semangat para pelajar yang menggebu-gebu tidak diimbangi dengan kearifan berpikir, sehingga terkadang dalam menghadapi suatu permasalahan pelajar cenderung hanya menggunakan naluri emosionalnya dan mengesampingkan kebijaksanaan berpikir. Walau demikian, para pelajar masih memiliki banyak potensi yang harus terus dikembangkan melalui jalur-jalur pendidikan, baik secara formal, non-formal, ataupun informal.

Pelajar dan Teknologi

Di era globalisasi sepert sekarang ini, dapat kita lihat bahwa pelajar telah banyak bersinggungan dengan dunia teknologi. Hal-hal yang berbau teknologi seperti handphone, MP3, internet, TV, dan peralatan teknologi pun bukan barang baru bagi pelajar. Bahkan, banyak dari peralatan teknologi tersebut yang telah menjadi primary need bagi pelajar seiring era globalisasi informasi yang kian hari kian berkembang di negara kita. Alat-alat tersebut rata-rata berfungsi dengan menggunakan energi listrik yang kian hari kian bertambah kuantitas penggunanya.

Pada dasarnya, masuknya pengaruh teknologi yang dibawa melalui globalisasi informasi tersebut merupakan hal yang sangat positif. Bahkan, akrabnya para pelajar dengan teknologi tersebut semakin membuka peluang bagi Indonesia untuk dapat mengembangkan potensinya pada bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan dapat bersaing dengan negara-negara maju. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan, Indonesia –khususnya Kalimantan Selatan dan Tengah—dewasa ini sedang mengalami krisis energi, yang berakibat pada menurunnya kuantitas energi listrik. Fenomena ini berimplikasi pada seringnya pemadaman bergilir dan maraknya kasus byar-pet di kawasan Banjarmasin dan sekitarnya. Fenomena ini seringkali membuat frustasi sebagian pihak –termasuk pelajar—dan menghambat aktivitas warga. Oleh karena itu, permasalahan krisis energi ini harus dikaji secara mendalam untuk mendapatkan solusi yang memuaskan semua pihak tanpa mengurangi tingkat kesejahteraan rakyat.

Dampak Negatif Listrik

Tenaga listrik memang telah menjadi primary need bagi masyarakat kita sekarang. Seseorang yang ingin menempati sebuah rumah pasti akan memasang listrik, karena barang-barang kebutuhan hidupnya tak akan dapat berfungsi tanpa adanya listrik. Oleh sebab itu, penggunaan listrik di Indonesia telah bisa dikatakan mencapai puncaknya beberapa tahun terakhir, yang ditandai dengan meningkatnya kuantitas pengguna listrik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

Akan tetapi, peningkatan kuantitas pengguna listrik tersebut ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan pasokan sumber daya energi untuk mendukung penggunaan listrik tersebut. Sebaliknya, pasokan sumber daya energi cenderung stagnan dan bahkan ada kecenderungan untuk terus menurun, sehingga hubungan antara kuantitas pengguna listrik dan ketersediaan energi menjadi berbanding terbalik. Sebagai implikasinya, terjadilah krisis energi ketenagalistrikan yang menyebabkan konservasi berupa pemadaman bergilir yang dilakukan di Kalimantan Selatan dan Tengah serta di Jawa dan Bali. Khusus untuk di Kalselteng, pemadaman biasanya dilakukan karena pemeliharaan alat-alat di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Asam-Asam, kecuali ketika terjadi kasus rubuhnya beberapa Tower di Kabupaten Banjar.

Jika dikaji lebih mendalam, sebenarnya listrik memiliki dampak-dampak negatif yang berbahaya dalam jangka panjang. Penelitian membuktikan bahwa energi listrik ternyata berkaitan erat dengan fenomena global warming yang terjadi akhir-akhir ini. Pemanasan global terjadi karena terlalu banyak gas rumah kaca yang beredar di atmosfer. Gas rumah kaca yang didominasi oleh karbondioksida (CO2) ini membuat panas yang didapat dari sinar matahari terperangkap di atmosfer dan tidak bisa dipantulkan lagi ke luar atmosfer. Jadi suhu bumi semakin panas. Proses itu disebut Pemanasan Global.[2] Kampanye untuk menghemat listrik hanyalah satu bagian dari usaha untuk mengurangi kadar CO2 di atmosfer karena sebagian besar CO2 dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Jika kita menganalisis realitas di Indonesia, dapat kita lihat bahwa pembangkit listrik kita kebanyakan menggunakan bahan bakar fosil, yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Ketiganya mengeluarkan CO2 yang sangat berpotensi memicu pemanasan global. Semakin kita boros menggunakan listrik, semakin banyak CO2 yang dikeluarkan. Implikasinya, terjadi pemanasan yang dapat memicu berbagai bencana di Indonesia. [3]

Pemanasan global memiliki dampak negatif yang cukup besar. Dalam film dokumenter Too Hot, Not To Handle disebutkan bahwa pemanasan global berimplikasi pada Hot Waves atau gelombang panas yang melanda beberapa bagian dunia. Di Chicago, 800 orang meninggal akibat gelombang panas yang tragis. Di Jerman, jumlah orang yang meninggal berjumlah 6000 akibat gelombang panas. Diperkirakan, gelombang panas akan bertambah 2x lipat pada 2020 jika tak ada upaya-upaya untuk menghemat energi dan mereduksi pemanasan global.

Dalam upaya mereduksi dampak negatif dari pemanasan global ini, perwakilan beberapa negara berkumpul di Tokyo untuk membahas isu tersebut, dan akhirnya disepakatilah perjanjian yang dikenal sebagai Protokol Kyoto, yang berisi desakan bagi negara-negara penandatangan untuk menghemat energi –terutama energi listrik yang berbahan bakar fosil—dan mengurangi emisi gas buangan. Akan tetapi, realisasi protokol ini menjadi terhambat ketika Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi perjanjian ini ke dalam peraturan perundang-undangan yang dilegitimasi secara yuridis. Bahkan Mantan Presiden AS George Bush mengatakan, “No one can change American lifestyle”. Kondisi ini menyebabkan protokol yang telah disepakati menjadi terhambat realisasinya, karena fakta menyatakan bahwa AS-lah pengguna energi terbanyak di dunia.[4] Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita –para pelajar— lebih berperan dalam penghematan energi listrik agar global warming dapat direduksi secara signifikan, walaupun harus mengorbankan kedekatan dengan teknologi.

Konservatif?

Nggak gaul. Begitulah yang akan kita dengar jika ada pelajar yang gaptek atau gagap teknologi. Memang, sekarang ini pergaulan remaja lebih berorientasi pada teknologi. Seorang pelajar akan dianggap gaul jika ia mempunyai telepon seluler yang memiliki berbagai fasilitas tambahan. Atau jika ia memiliki hobi chatting dan browsing di internet. Atau jika ia memiliki MP4 yang berkapasitas beberapa Gigabyte. Semua hal tersebut sekarang banyak dimiliki oleh para pelajar, khususnya di kawasan Banjarmasin dan sekitarnya.

Sebenarnya, hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang positif bagi pelajar, karena semakin membuka wawasan dan cakrawala berpikir pelajar di bidang teknologi. Namun melihat realitas sekarang ini dimana terjadi krisis tenaga listrik di Kalselteng, paradigma tersebut seharusnya sedikit diubah agar tidak terjadi pemborosan energi listrik yang membahayakan generasi selanjutnya. Ada baiknya para pelajar melakukan konservasi energi listrik dengan cara melakukan batasan-batasan dalam berhubungan dengan peralatan yang menggunakan listrik. Konservasi tersebut bukan berarti menghentikan kegiatan pelajar dalam ‘berteknologi’ secara total, namun hanya mengurangi porsi dan waktu penggunaan teknologi tersebut.

Slogan “17-22” yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menghadapi krisis energi di Jawa-Bali merupakan slogan yang sangat baik dan bermanfaat jika diimplementasikan di Kalimantan Selatan dan Tengah. Dengan adanya slogan tersebut, para pelajar dituntut untuk menggunakan energi secara hemat, efektif, dan efisien pada malam hari (pukul 17.00 – 22.00), serta memprioritaskan kepentingan-kepentingan yang lebih berguna seperti belajar. Memang, keadaan demikian adalah keadaan yang sangat konservatif, karena keadaan ‘tanpa listrik’ adalah keadaan para orang tua di zaman dulu. Pastilah hal tersebut berbeda dengan zaman sekarang, di mana derasnya arus informasi dan kecanggihan teknologi telah berada di sekeliling kita, sehingga mengharuskan adanya fasilitas dalam penggunaan alat-alat tersebut seperti listrik. Akan tetapi hal tersebut merupakan sebuah upaya praktis yang dapat dilakukan oleh pelajar sebagai upaya penghematan energi listrik. Diharapkan, dengan langkah yang sedikit konservatif tersebut, penggunaan tenaga listrik dapat diperhemat dan dioptimalkan secara efektif serta efisien.

Energi Alternatif

Sebenarnya, ada alternatif lain dalam upaya melakukan penghematan energi listrik. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menggunakan energi alternatif yang hemat sebagai sumber energi listrik. Energi alternatif tersebut dapat berupa energi bersih, seperti sinar matahari, air, angin, biomassa, dan panas bumi. Dengan menggunakan sumber energi tersebut, Diharapkan sumber energi listrik yang kian hari kian menurun kuantitasnya dapat dihemat. Juga sumber energi tersebut diharapkan ramah lingkungan, sehingga tidak berimplikasi pada global warming yang disebabkan oleh penggunaan sumber pembangkit listrik yang berasal dari bahan bakar fosil. Akan tetapi, penggunaan energi listrik alternatif tersebut masih dianggap mahal oleh pemerintah. Komisi VII DPR-RI memang telah memertimbangkan penggunaan energi panas bumi sebagai energi alternatif.[5] Akan tetapi, banyak pihak –terutama eksekutif—menganggap bahwa energi panas bumi tersebut mahal sehingga tak ada Peraturan yang menjelaskan landasan operasional dari UU Panas Bumi yang telah dibuat. Padahal menurut Dr. Irwan Prayitno (Ketua Komisi VII DPR-RI 1999-2004), secara long-term sebenarnya energi panas bumi tersebut lebih murah, lebih praktis, dan lebih hemat karena bersifat tahan lama dan lebih hemat energi.[6]

Di sinilah peranan pelajar akan terlihat. Selain menghemat listrik, yang harus dilakukan oleh para pelajar adalah mengoptimalkan potensi yang ada pada diri mereka dalam mengembangkan energi alternatif tersebut dengan cara belajar. Bagi mereka yang bergelut di jurusan IPA (Exact Science), yang patut dilakukan adalah menggali ilmu dan informasi tentang energi secara lebih mendalam, sehingga akan ada new invention di kemudian hari. Bagi mereka yang masuk di jurusan IPS (Social Science), yang patut dilakukan adalah memelajari tata cara pengambilan kebijakan di berbagai bidang secara baik, sehingga di kemudian hari, public policy yang dikeluarkan dapat berpengaruh konservasi energi dan pengembalian fungsi serta peranan listrik di kehidupan sehari-hari tanpa menimbulkan kerusakan sedikit pun pada lingkungan. Oleh karena itu, para pelajar harus memaksimalkan peranannya dengan belajar sungguh-sungguh dan turut berpartisipasi dalam penghematan listrik sebagai langkah awal.

Apa yang dapat kita lakukan?

Perubahan. Itulah kata kuncinya. Jika ada satu orang saja melakukan perubahan dalam kehidupannya, Insya Allah akan muncul ‘efek bola salju’ pada lingkungannya, dimana orang lain juga turut berpartisipasi dalam perubahan tersebut. Dalam konteks penghematan energi listrik, ‘efek bola salju’ sangat diperlukan dalam realisasi di lapangan, sehingga sosialisasi penghematan dan konservasi energi listrik akan dapat berjalan secara opimal. Bayangkan jika semua orang melakukan perubahan, pasti hasilnya akan lebih signifikan.

Pelajar dalam posisi mereka sebagai bagian dari dunia akademik, memiliki peranan besar dalam memelopori perubahan paradigma berpikir masyarakat yang mengenai energi listrik, yang awalnya cenderung boros dalam penggunaan listrik menjadi lebih hemat dan efisien. Di sini, pelajar harus menggunakan sisi idealisme yang dipadukan dengan sisi intelektualitas mereka, sehingga masyarakat dapat mengerti akan urgensi penghematan energi. Memang, upaya yang paling mudah adalah memulai hemat listrik di kehidupan sehari-hari. Sehingga implikasinya. sumber daya energi dapat dihemat, dampak global warming dapat direduksi, serta kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan.

Kalau bukan pelajar yang memulainya, siapa lagi?

Daftar Pustaka

Bastoni, Hepi Andi, 2006. Penjaga Nurani Dewan, Lebih Dekat dengan 45 Anggota DPR-RI Fraksi PKS. Bogor: Al-Bustan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Isnaeni, Nurul, 2006. Pengelolaan Bencana. Materi disampaikan pada Talkshow di Aula Jiwasraya Bersama (AJB) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 12 Februari 2007.

Olswin, 2006. Pemanasan Global. Materi disampaikan pada Talkshow di Aula PPPG Bahasa dalam rangkaian acara Olimpiade Ilmu Sosial 2007 yang diselenggarakan Senat Mahasiswa FISIP UI, 12 Februari 2007.

Lembar Informasi Nomor 9 PBB.

Too Hot, Not To Handle. Film Dokumenter.

Undang-Undang RI No. 27 Tahun 2003.

http://www.wwf.or.id/

http://www.akusayang.or.id/

*) Esai ini meraih Juara III dalam Lomba Karya Tulis Ketenagalistrikan

PLN Wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah



[1] Disampaikan pada acara Talk-Show Pengelolaan Bencana dalam rangkaian acara Olimpiade Ilmu Sosial 2007 yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FISIP Universitas Indonesia, 12 Februari 2007

[2] Lihat film dokumenter Too Hot, Not To Handle yang membahas permasalahan global warming dalam berbagai perspektif

[3] http://www.wwf.or.id/

[4] Disampaikan oleh seorang alumni FISIP Universitas Indonesia Jurusan Hubungan Internasional pada acara Talk-Show Pemanasan Global di PPPG Bahasa dalam rangkaian acara Olimpiade Ilmu Sosial 2007 yang diselenggarakan Senat Mahasiswa FISIP Universitas 1ndonesia, 12 Februari 2007.

[5] UU No 27 tahun 2003 tentang Pemanfaatan Panas Bumi

[6] Bastoni, Hepi Andi, dkk., 2006. Penjaga Nurani Dewan, Lebih Dekat dengan 45 Anggota DPR-RI Fraksi PKS. Bogor : Al-Bustan, hlm. 121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar