Senin, 19 Januari 2009

Catatan Kritis Agenda Barrack Obama

Pengantar

Selasa, 20 Januari 2009 akan menjadi sejarah baru Amerika Serikat: Pelantikan Barrack Husein Obama, Jr. sebagai Presiden AS ke-44. Pada event penting ini, publik akan menilai starting point yang dibuat oleh Obama untuk membuktikan retorika ‘Change We Can’ yang disuarakannya ketika kampanye.

Harapan Dunia?

Wajar jika dunia berharap pada figur Obama yang sering disebut-sebut sebagai antitesis dari George W. Bush –figur yang dianggap realis. Obama sering digambarkan sebagai seorang idealis yang akan mengubah paradigma politik luar negeri AS menjadi lebih bercitra positif, bukan struggle for power seperti selama ini dipraktikkan oleh Bush. Oleh karena itulah, jargon ‘Change We Can’ Obama ditangkap oleh masyarakat transnasional sebagai sinyal harapan atas terwujudnya Amerika Baru yang lebih damai dan berkeadilan.

Benarkah demikian? Tunggu dulu. Obama boleh saja berkampanye dengan janji untuk menawarkan perubahan, tetapi kita tak boleh terburu-buru mengklaim bahwa politik luar negeri AS akan secepat itu berubah di tangan seorang Barrack Obama. Sebab, politik luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah telah diformulasi untuk menjaga kepentingan Israel, dan hal ini diamini oleh Obama sendiri ketika kampanye.

Memang, Obama mewakili kelompok yang berbeda haluan dengan rezim sebelumnya. Obama lebih dekat dengan kalangan muslim karena janji kampanyenya untuk menutup Guantanamo serta menarik pasukan dari Irak. Obama juga berbeda dengan Bush dalam menyikapi isu-isu internasional. Dan yang lebih penting, Obama adalah Presiden dari kalangan minoritas pertama di Amerika Serikat.

Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta menjadikan Obama sebagai aktor protagonis yang akan membawa tatanan kehidupan dunia yang damai. Sekalipun Obama adalah seorang yang idealis, kita harus berbicara dalam tataran Amerika Serikat yang sejak dua dekade yang lalu telah menjadi negara unipolar. Mengubah mindset, apalagi the whole system dalam politik luar negeri AS bukan perkara mudah untuk negara sekelas Amerika Serikat. Terlebih lagi, sikap Obama yang masih mendukung Israel akan membuatnya tidak jauh berbeda dengan presiden sebelumnya.

Israel dan Obama

Obama memang telah menyatakan kedekatan dengan Israel ketika berkampanye dulu. Dirilis oleh Al-Jazeera, Obama menyatakan, "Jerusalem will remain the capital of Israel and it must remain undivided". Untuk lebih menegaskan posisinya tersebut, beliau berkomentar, "I will never compromise when it comes to Israel's security". Obama menegaskan bahwa Jerusalem –seluruh Jerusalem, tentunya—adalah ibukota Israel dan tidak akan dibagi dengan Palestina.

Komentar tersebut jelas sepihak dan terkesan tidak melihat pada realitas. Klaim sepihak Israel atas Jerusalem justru akan membuat eskalasi konflik semakin memanas, tidak saja kepada umat, tetapi juga kepada umat Kristiani karena kota ini merupakan tempat suci bagi tiga agama tersebut. Apalagi, secara teritorial, Jerusalem Timur adalah bagian dari wilayah Palestina, bukan Israel.

Sikap Obama terhadap Hamas juga demikian. Ketika ditanya tentang Hamas, Obama berkata, "We must isolate Hamas unless and until they renounce terrorism, recognise Israel's right to exist, and abide by past agreements". Padahal, jika mengacu pada hasil Pemilu 2006, Hamas adalah pemegang kursi mayoritas di Parlemen dan mereka memiliki hak untuk membentuk pemerintahan. Sikap mengisolasi Hamas justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan menunjukkan gejala intervensionisme yang melekat dalam diri Barrack Obama.

Hal ini juga tidak membedakan Bush dan Obama, bahwa mereka pada dasarnya sama-sama mencari posisi "aman" ketika berbicara tentang Israel. Sehingga, bukan sebuah kejutan ketika Obama justru bersikap pasif dan terkesan saving face dalam menyikapi agresi Israel ke Jalur Gaza yang menewaskan sedikitnya 1000 warga Palestina. Padahal, agresi tersebut telah melanggar Konvensi Jenewa IV (1949) dan dikutuk oleh jutaan orang dari berbagai penjuru dunia.

Faktor Israel yang tidak disentuh oleh Obama menjadi sebuah pertanyaan besar bagi komitmen Obama terhadap stabilitas Timur Tengah. Karena, keberadaan Israel dan pendudukannya terhadap Palestina telah jelas menjadi penyebab konflik selama bertahun-tahun. Jika Obama justru mendukung keberadaan Israel, stabilitas justru tidak akan dapat tercapai dan hal tersebut kontraproduktif dengan komitmen yang telah dibangun Obama.

Catatan Kritis

Setidaknya, ada dua hal penting yang patut menjadi catatan dalam figur Barrack Obama.

Pertama, walaupun Obama sering menyuarakan perubahan, kita harus mengakui bahwa Obama masih harus menghadapi kekuatan lobi yang pro terhadap Israel di birokrasi dan Kongres AS. Faktor inilah yang, seperti diakui oleh G.R. Berridge, pakar diplomasi, memegang peranan kunci dalam politik luar negeri AS beberapa dekade terakhir. Jika Obama tidak mengantisipasi keberadaan mereka, baik sebagai lobbyist, politisi, ekonom, ataupun pejabat di pemerintahan, Obama takkan dapat dibedakan dengan Bush dalam politik luar negerinya.

Kedua, sikap diam Obama terhadap isu Gaza serta dukungannya terhadap Israel masih menandakan Obama tidak memiliki idealisme untuk menuntaskan masalah Palestina secara berkeadilan. Konferensi Annapolis yang menjembatani Israel dan Palestina (Fatah) telah gagal dan Israel secara tak terkendali menginvasi Jalur Gaza. Seharusnya, sebagai seorang ‘idealis’, invasi ini dikecam dan diselesaikan secara adil. Hal ini berbeda dengan kasus Irak dan Guantanamo yang telah menjadi komoditi isu untuk diangkat oleh Obama pada waktu kampanye. Sikap pasif dan mendukung Israel ini kontraproduktif dengan janji perubahan yang ditawarkannya.

Maka, sikap terbaik adalah tidak larut dalam euforia kemenangan Obama, tetapi tetap kritis dalam menilai kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Jangan berharap lebih dari apa yang dapat dilakukan oleh seorang Obama, seberapa idealisnya dia, di sebuah negara adidaya dengan lobi-lobi Zionis yang hegemonik. Let us just wait and see!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar