Sabtu, 10 Januari 2009

Krisis Gaza, Krisis Legitimasi?

Pengantar

Mencekam, dingin, dan terancam. Begitulah kondisi jalur Gaza sekarang, pasca-operasi militer Israel ke Gaza. Ketika artikel ini ditulis, agresi militer Israel telah berlangsung selama 13 hari, menewaskan sedikitnya 700 orang warga sipil Palestina. Warga sipil Palestina dilanda kecemasan akan gempuran lanjutan, ribuan warga harus menangis karena kehilangan sanak saudara yang paling mereka cintai.

Krisis Legitimasi Politik?

Israel telah melakukan aksi sepihak terhadap Palestina. Dalih pelanggaran gencatan senjata oleh Hamas kembali menjadi justifikasi irasional bagi agresi ini. Upaya diplomatik dengan mempertemukan Israel dan Palestina menjadi sia-sia setelah komitmen untuk mempertahankan gencatan senjata dilanggar. Dunia Arab kembali diwarnai oleh hari-hari kelam, setelah agresi AS ke Irak dan agresi Israel ke Libanon Selatan yang telah membawa banyak korban sipil.

Ada apa di balik serangan Israel ke Palestina tahun ini? Seluruh dunia –terutama negara-negara berpenduduk muslim—mengutuk aksi militer sepihak ini. Argumentasi yang dikemukakan oleh pihak militer Israel bahwa Israel hanya mempertahankan diri dari serangan roket Hamas menjadi tidak masuk akal ketika serangan yang dilancarkan juga menghantam fasilitas sipil, bahkan fasilitas PBB. Hal ini tidak saja melanggar Konvensi Jenewa, tetapi juga menganggap remeh posisi PBB. Dengan demikian, ada persoalan lain yang menyebabkan eskalasi konflik memanas, yaitu krisis legitimasi.

Mungkin benar ketika Michael Hudson menilai bahwa penyebab utama instabilitas politik di Timur Tengah –Israel dan Palestina— adalah krisis legitimasi politik dari para elit di masing-masing negara (Setiawati et. al, 2004). Keabsahan seseorang untuk berkuasa menjadi hal yang cukup pelik dalam politik di Timur Tengah karena stabilitas internal di suatu negara ternyata berimbas pada politik luar negeri negara tersebut. Sehingga, krisis politik di Timur Tengah sedikit banyaknya merupakan pengaruh dari krisis legitimasi politik yang dialami oleh elit-elit di sana.

Israel dan Palestina sendiri pada saat ini tengah mengalami dinamika pada politik domestik di masing-masing negara. Israel tengah dilanda persaingan dua partai terbesar yang sekarang berkoalisi, yaitu Likud dan Kadima. Partai berkuasa sekarang, Likud, memerlukan relegitimasi dari pendukungnya yang sempat memudar akibat ketidakmampuan Ehud Olmert dalam memimpin negara. Sementara Palestina sejak tahun 2006 dilanda konflik internal antara Fatah dan Hamas yang berujung pada terpecahnya dua kubu di Jalur Gaza (Hamas) dan Tepi Barat (Fatah).

Dalam kasus Israel-Palestina, setidaknya ada beberapa indikator dari krisis legitimasi politik yang dialami oleh kedua belah pihak.

Pertama, krisis legitimasi dialami oleh Ehud Olmert, Perdama Menteri Israel. Selama menjabat sebagai Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert bisa dikatakan gagal dalam melaksanakan politik luar negeri jika dibandingkan dengan pendahulunya. Olmert mengalami kekalahan yang cukup memalukan dalam perang melawan Hizbullah di Lebanon Selatan, dua tahun yang lalu dan menandatangani konferensi Annapolis di Amerika Serikat yang isinya kurang menguntungkan posisi Israel.

Tak hanya itu, Olmert juga dianggap bertanggung jawab atas krisis ekonomi yang melanda Israel dan diduga melakukan korupsi, sehingga pemerintah mempercepat pelaksanaan Pemilu. Olmert hampir saja dilegitimasi oleh Knesset, parlemen Israel. Kegagalan beruntun tersebut, menurut penulis, setidaknya membuat Olmert harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan reputasinya di mata rakyat Israel.

Kedua, krisis legitimasi dialami oleh dua partai besar Israel, Likud dan Kadima. Kedua partai ini memutuskan untuk membentuk kabinet koalisi di Pemilu terakhir. Kegagalan pemerintah dalam menangani persoalan-persoalan krusial, serta fakta bahwa Pemilu akan digelar dalam waktu dekat menjadikan masing-masing pihak harus mencari kembali legitimasi dari rakyat. Apalagi, ada dua anggota kabinet yang menjadi kandidat kuat Perdana Menteri, yaitu Ehud Barak (Menteri Pertahanan, Partai Likud) dan Tzivip Livni (Menteri Luar Negeri, Partai Kadima). Krisis legitimasi menjadikan masing-masing faksi dalam kabinet berlomba untuk berbuat sesuatu pada Palestina.

Ketiga, krisis legitimasi dialami oleh partai terbesar kedua di Palestina, yaitu Fatah. Ketika tank-tank dan pesawat tempur Israel menyerang Gaza, kubu Fatah tidak tergerak untuk membantu rekan mereka Hamas di Jalur Gaza. Pertentangan yang cukup akut rupanya masih menghantui hubungan kedua gerakan sehingga kubu Fatah tetap mengisolasi Tepi Barat dan mengunci posisi Hamas di Jalur Gaza. Padahal, untuk menyeberang ke wilayah Tepi Barat, para pengungsi harus melintasi pintu perbatasan yang dijaga Israel dan ini memerlukan campur tangan Fatah

Keempat, krisis legitimasi dialami oleh negara-negara Arab. Sampai sekarang, kita masih menyayangkan sikap pasif Arab Saudi dan negara-negara Arab lain, padahal mereka memiliki sumber daya yang cukup besar dan political capital yang cukup kuat untuk menekan Israel. Ketidakberdayaan negara Arab ini patut dipertanyakan, karena sebenarnya mereka dapat menggunakan opsi diplomasi sumber daya (resource diplomacy) untuk membantu Palestina dan dan mendobrak hegemoni Israel di Gaza.

Sikap pasif negara Arab ini, menurut penulis, berakar dari krisis legitimasi politik negara-negara Arab yang sekarang tengah diwarnai gelombang oposisionisme dan kelompok penekan, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir atau Hizbullah di Lebanon yang bersimpati terhadap perjuangan rakyat Palestina. Gelombang oposisionisme yang mendapatkan momentum di Pemilu tersebut sedikit demi sedikit menggeser kedudukan partai berkuasa sehingga mereka merasa perlu untuk mengamankan posisi dengan tidak memberi reaksi banyak terhadap serangan Israel ke Palestina.

Menyelesaikan Krisis

Krisis legitimasi politik yang melanda negara-negara Timur Tengah mesti diselesaikan agar stabilitas politik dapat diusahakan. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, legitimasi politik dari kedua negara sangat diperlukan untuk meneguhkan peacemaking dan peacebuilding. Mindset politik luar negeri Israel harus diubah dan Fatah harus menghargai demokrasi dengan mengakui hasil Pemilu 2006. Selain itu, Hamas juga harus mau melakukan perundingan setelah ketegangan di Jalur Gaza mereda agar semua kepentingan dapat terakomodasi.

Maka, tak ada pilihan bagi semua pihak yang bertikai selain menghentikan peperangan dan menghormati warga sipil yang tak berdosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar