Selasa, 10 Februari 2009

Mencari Kejujuran yang Hilang (Dua Tahun Kasus Korupsi DKP)

Pengantar

Mungkin masih segar dalam ingatan kita, sebuah kasus korupsi yang menghangatkan pentas politik nasional dua tahun lalu: Kasus korupsi dana non-budgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Kasus ini memang telah berakhir dengan putusan pidana atas Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, tetapi imbas politiknya pada waktu itu cukup kuat. Sampai-sampai, tokoh sekaliber Presiden SBY-pun harus melakukan konferensi pers di halaman istana untuk membuktikan bahwa dirinya tidak menerima dana haram tersebut ketika berkampanye.

Berawal dari ‘pengakuan’ Prof. Amien Rais bahwa beliau menerima dana non-budgeter tersebut, kasus bergulir dengan pembenaran dari Rokhmin Dahuri sendiri. Beberapa hari kemudian, Fahri Hamzah, Sholahuddin Wahid, Sutrisno Bachir, dan beberapa elit politik lainnya mengabarkan bahwa mereka juga menerima dana kontroversial tersebut. Mereka dengan jujur mengatakan bahwa dana tersebut masuk ke kas partai atau pribadi dan bersedia mengembalikan dana tersebut beserta semua konsekuensinya.

Sementara itu, beberapa partai justru membantah statement tersebut. Mega Center lewat direkturnya Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa Mega Center tidak pernah menerima dana dari DKP. Hal senada juga diungkapkan oleh kubu Blora Center, tim pemenangan Presiden SBY. Pendeknya, banyak yang berkelit dengan dana tersebut.

Perlunya Kejujuran

Di satu sisi, memang tak dapat kita pungkiri bahwa barang yang haram (korupsi) dan barang yang halal (non-korupsi) sangat sulit dibedakan sekarang ini. Dana non-budgeter yang dikatakan oleh Budiarto Shambazy (Kompas, 26 Mei 2007) bagaikan “air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut” tersebut seakan adalah dana yang legal, padahal banyak ketidakjelasan mengenai penggunaan dan asal-muasal dananya.

Dalam kasus DKP, dana non-budgeter tersebut ternyata diberikan untuk kepentingan politik. Padahal uang yang digunakan adalah uang negara yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan negara juga, bukan kepentingan elit tertentu. Hal ini, menurut Budiarto Shambazy, sama dengan menggunakan dana rakyat untuk kepentingan elit politik tertentu.

Permasalahannya, sejauh mana kesadaran para penerima dana tersebut setelah mengetahui bahwa dana yang mereka dapatkan adalah dana yang tidak jelas statusnya tersebut? Apakah dengan adanya kesaksian di pengadilan mengenai penggunaan dana tersebut lantas membuat para elit penerima dana mengakui bahwa mereka terlibat dengan penggunaan dana tersebut?

Dua pertanyaan inilah yang menjadi dilema dalam pengusutan kasus ini. Terbukti, hanya Amien Rais, Fahri Hamzah, Sholahuddin Wahid, Sutrisno Bachir, dan beberapa orang jujur saja yang mau mengakui kekhilafan tersebut. Pihak lain malah beramai-ramai membuat argumentasi dan berdebat di media massa, padahal menurut penuturan saksi masing-masing pasangan capres mendapat dana sekian juta rupiah.

Jika kita mau melihat ke depan, apa sih yang disusahkan hanya untuk membuka sebuah kekhilafan yang dilakukan? Apakah begitu sulit bersikap terus terang dan membeberkan rincian daftar penyumbang dan mengklarifikasinya kepada publik, bagian mana yang memang ilegal dan bagian mana yang wajar?

Tentunya, persoalan ini harus kembali kepada pribadi masing-masing. Jika para elit tetap tidak transparan sementara di tangan mereka adalah sebuah barang dengan status yang tidak jelas, komitmen untuk memberantas korupsi tetap tidak akan terealisasi dalam realitas empiris. Implikasinya, kondisi seperti ini tetap akan bertahan entah sampai kapan.

Di sini, sikap Presiden yang terkesan tertutup serta tidak mengakui aliran dana yang masuk juga patut dikritisi. Semestinya, seorang calon Presiden --siapapun ia, apakah masih menjabat atau tidak-- harus transparan dalam persoalan dana kampanye. Ini untuk memastikan dana yang masuk tidak menyalahi prosedur. Di sisi lain, kita patut mengacungi jempol pada Amien Rais dan Fahri Hamzah yang telah mengakui penerimaan dana. Sikap tenang Pak Amien dan Bang Fahri mencerminkan komitmen mereka pada visi-visi reformasi.

Perlu diketahui, Amien Rais dan Fahri Hamzah merupakan dua ‘aktor intelektual’ dari gerakan reformasi. Pada tahun 1998, Amien Rais dipercaya menakhodai Majelis Amanat Rakyat bersama tokoh-tokoh lain seperti Gunawan Moehamad dan Faisal Basri. Sedangkan Fahri Hamzah adalah mantan Ketua Umum KAMMI yang bersama-sama dengan elemen mahasiswa lain melakukan aksi massa di Gedung DPR-MPR sampai kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.

Meski demikian, mereka tetap bersalah karena menerima dana dari sesuatu yang tidak jelas; sebuah preseden buruk bagi para politisi. Seyogianya, Pak Amien dan Bang Fahri mengecek terlebih dahulu dana yang diterima. Terlebih lagi, dana tersebut diberikan oleh seorang menteri yang kewenangannya terikat pada peraturan perundang-undangan. Ini jelas sebuah kesalahan yang tidak perlu dilakukan oleh seorang calon pemimpin bangsa.

Sikap Pak Amien dan Bang Fahri boleh dikatakan khilaf dalam hal tersebut. Akan tetapi, sikap mereka yang dengan melakukan pengakuan dan siap bertanggungjawab juga patut untuk diteladani. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin kita, terutama bagi para legislator di DPR-RI atau DPRD yang notabene rentan dalam penyalahgunaan dana, terutama dalam persoalan anggaran.
Kasus memang telah diputus, namun ada baiknya kita berkaca pada kasus ini, bahwa persoalan dana kampanye merupakan persoalan yang cukup patut diperhatikan. Memang, pemerintah telah memiliki PPATK untuk mengaudit dana kampanye. Namun, sudah semestinya pula Bawaslu atau KPU memiliki akses (meski terbatas) atas dana kampanye yang masuk ke rekening calon presiden. Di samping itu pula, kasus DKP sangat erat kaitannya dengan anggaran yang telah dibuat oleh masing-masing departemen, dan memerlukan antisipasi yang lebih lanjut oleh pemerintah.

Refleksi Untuk Kalimantan Selatan

Kasus dana non-budgeter sekilas ada kemiripan dengan kasus Dana Siluman yang melibatkan para anggota DPRD Kalimantan Selatan. Pada kasus tersebut, ada dua anggota DPRD yang mengembalikan dana asuransi yang mereka terima, karena dana tersebut dicurigai sebagai dana ’fiktif’ alias berstatus tidak jelas. Kecurigaan mereka pun dilaporkan ke pihak yang berwenang, sehingga kasus ini berbuntut pada penahanan beberapa pimpinan legislatif dan eksekutif.

Pada kasus dana siluman dan dana DKP, terlihat bahwa pihak yang jujur berjumlah sedikit sekali. Ini menunjukkan bahwa memang persoalan dana merupakan persoalan yang sangat ”sensitif”. Kesalahan, baik yang tak sengaja maupun yang disengaja dapat mengakibatkan runyamnya persoalan. Tanggung jawab pengelolaan dana pun semakin berat.

Di sinilah reformasi birokrasi diperlukan. Reformasi birokrasi yang berarti penataan ulang secara bertahap dan sistematis atas fungsi utama pemerintah, meliputi kelembagaan/institusi yang efisien dengan tata laksana yang jelas/transparan dan diisi oleh SDM yang profesional, mempunyai akuntabilitas kepada masyarakat serta menghasilkan pelayanan publik yang prima tersebut memerlukan adanya peran serta seluruh elemen masyarakat dalam realisasinya. Sebuah langkah antisipatif yang menurut penulis cukup baik dilakukan adalah pembentukan Pakta Integritas di Banjarbaru, dipelopori oleh Transparency International Indonesia (TII) Kalimantan Selatan.

Berkaca pada kasus dana DKP dan Dana Siluman, sudah semestinya nilai-nilai kejujuran ini diintegrasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Ini bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga merupakan tanggung jawab para ulama dan umara yang menjadi media pemersatu umat.

Maka, bukankah sudah seharusnya kita pertegas batas antara persoalan halal dan haram dalam politik?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar