Kamis, 19 Februari 2009

Menyambut Hillary Clinton (Tarik-Ulur Kepentingan?)

Pengantar

Pekan ini, US Secretary of State (Menlu AS), Hillary Clinton dijadwalkan melakukan serangkaian kunjungan ke beberapa negara mitra, termasuk Indonesia. Kunjungan Hillary ke beberapa negara Asia ini dinilai oleh beberapa pihak sebagai sebuah hal yang tidak biasa dalam sejarah diplomatik AS. Selama ini, kunjungan seorang menteri luar negeri biasanya diarahkan ke negara-negara mitra strategis AS, seperti negara-negara di Eropa. Namun, Hillary justru memulai kunjungan dari Asia. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar bagi para pemerhati hubungan internasional.

Kunjungan ini bukannya tanpa kritik. Di Yogyakarta saja, misalnya, muncul aksi merespons kedatangan Hillary yang dilakukan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) di Bunderan UGM (18/2). Aksi KAMMI tersebut mengangkat isu netralitas politik luar negeri RI dalam konteks kedatangan Hillary Clinton ke Indonesia.

Makna Politis

Kunjungan seorang menteri luar negeri AS pada dasarnya adalah kunjungan diplomatik. Seorang menteri luar negeri akan membawa sederet tawaran kerjasama atau serangkaian agenda diplomatik yang dibahas dalam level bilateral. Hillary Clinton tentu juga melakukan hal demikian. Kunjungan Hillary ke Indonesia dapat diduga memiliki keterkaitan dengan kepentingan strategis AS di Asia Tenggara, lebih khusus lagi Indonesia.

Pada seminar di FISIPOL UGM beberapa waktu yang lalu, Anne Grimmes, Atase Kebudayaan AS untuk Indonesia menyatakan bahwa kedatangan Hillary ke Indonesia sebagai negara tujuan kedua dalam kunjungannya dapat bernilai signifikan bagi hubungan AS-Indonesia ke depan. Mrs. Anne mengharapkan kedatangan Hillary dapat membuka pintu bagi terjalinnya strategic partnership antara Indonesia dan AS.

Benarkah demikian? Kita dapat membacanya dengan menggunakan tiga kacamata analisis dalam ilmu hubungan internasional, yaitu individu (rational actor), negara (state), serta sistem internasional (international system).

Pertama, kita dapat melihat dengan pendekatan aktor rasional bahwa Hillary datang ke Indonesia untuk mewakili Presiden baru AS, Barrack Obama. Haluan politik luar negeri Obama adalah multilateralisme yang merangkul banyak pihak, termasuk negara-negara yang dekat dengan Obama seperti Indonesia. Hilllary juga menawarkan konsep smart power yang sarat nilai kerjasama dan multilateralisme yang sejalan dengan formulasi politik luar negeri AS tersebut. Sehingga, posisi Hillary di sini lebih membawa kepentingan politik luar negeri AS dan penekanan kerjasama dalam beberapa bidang tertentu.

Kedua, kita juga dapat membaca fenomena ini dalam perspektif negara. Kedatangan Hillary ke Indonesia dapat kita terjemahkan sebagai sebuah upaya dari AS untuk membangun kembali hubungan yang harmonis dengan Indonesia sebagai negara demokratis terbesar di Asia Tenggara. AS memiliki beberapa kepentingan untuk mengubah citra negatif yang selama ini melekat dalam politik luar negeri mereka, dan kedatangan Hillary ke Indonesia juga terkait dengan hal tersebut. Namun, kedatangan Hillary ini juga dapat ditangkap sebagai sinyal negatif pengokohan hegemoni AS dengan cara yang lebih baru dan figur yang berbeda pula.

Ketiga, masalah sistem internasional juga penting untuk diulas. Fakta realisme politik kontemporer menyatakan bahwa AS-lah negara yang memegang dominasi serta kendali utama atas dunia pascaperang dingin (Kegley, 2006). Sehingga, kunjungan Hillary Clinton ke Indonesia juga memiliki muatan tersebut. Hillary dalam pidatonya menyampaikan pesan-pesan terkait global campaign of war on terrorism dan masalah investasi AS di Indonesia. Pesan Hillary ini kemudian dapat dibaca sebagai sebuah agenda penanaman saham diplomasi AS di Indonesia, sehingga akan muncul dua implikasi: perbaikan hubungan AS-Indonesia atau penegasan dominasi AS melalui korporasi multinasional yang menanam modal di Indonesia.

Penegasan Netralitas RI

Kedatangan Hillary Clinton ke Indonesia mungkin saja memiliki makna-makna politis di belakangnya. Oleh karena itu, Indonesia perlu merancang sebuah sikap yang mencerminkan dasar politik luar negeri RI selama ini, yaitu bebas aktif, dan tentunya sikap mandiri serta tidak tergantung penuh dari negara manapun.

Maka, paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dalam menyambut kedatangan Hillary Clinton.

Pertama, RI adalah sebuah entitas negara-bangsa yang eksistensi dan kedaulatannya harus dihormati oleh semua pihak. Boleh-boleh saja Hillary menyatakan bahwa Indonesia adalah negara tujuan investasi yang potensial, tetapi kita juga harus menyadari bahwa tidak semua niat investor ingin menanam modal di RI. Kasus Freeport atau Newmont harus menjadi perhatian dan pelajaran khusus bagi RI.

Kedua, kedatangan Hillary ke Indonesia juga harus dimaknai sebagai sebuah kunjungan biasa. RI tidak perlu tergopoh-gopoh melaksanakan permintaan dari AS, apalagi menjadi yes-man bagi negara tersebut. Tawaran-tawaran yang diberikan oleh AS harus dikaji terlebih dahulu dan tidak serta-merta diterima hanya atas dasar pragmatisme atau keuntungan besar yang akan didapat.

Di sini, kita patut menunggu dobrakan smart power yang ditawarkan oleh Hillary. Konsep power yang mengakomodasi garis utama hard serta soft power tersebut akan menjadi menarik ketika Amerika Serikat menjalin hubungan dengan negara-negara Asia. Kita patut menantikan konsistensi Hillary dalam hal penggunaan kekuatan militer di beberapa kasus, salah satunya Afghanistan dan Irak.

Maka, anggaplah kunjungan ini sebagai kunjungan biasa. Sikap terbaik adalah tidak berlebihan dalam menyambut kedatangan seorang Hillary Clinton, siapapun ia dan betapa besar pengaruhnya bagi dunia. Bukankah bangsa kita telah memiliki landasan politik luar negeri yang jelas dalam UUD 1945?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar