Jumat, 13 Maret 2009

Afrika: Keluar dari Marjinalisasi

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Apa yang ada dalam benak anda ketika mendengar kata “Afrika”? Mungkin, bagi sebagian orang, kata-kata tersebut berasosiasi dengan istilah “hitam”, “gurun”, “panas”, atau bahkan “kekeringan”. Kata “Afrika”, terutama jika kita kaitkan dengan orang-orang yang berbangsa Afrika, mengingatkan kita pada sebuah peradaban yang menantang, kejam, tribal, namun unik dalam sejarah peradaban dunia.

Secara geografis, posisi Afrika memang kurang menguntungkan. Afrika terletak di daerah beriklim tropis dan subtropis, sehingga menyebabkan kondisi cuaca yang panas. Selain posisi yang panas ini, Afrika juga berbentuk “padat” atau memiliki daratan yang luas di tengahnya, sehingga menyebabkan distribusi air yang kurang merata di wilayah Afrika sebelah tengah atau selatan. Kondisi ini menyebabkan wilayah Afrika diisi oleh cuaca yang begitu panas, padang yang tandus, serta potensi kekeringan. Maka, bangsa Afrika pun juga memiliki karakter serupa: bertubuh kurus namun kuat, cepat, serta berkulit hitam akibat terpanggang matahari.

Wilayah Afrika yang panas ini, meminjam istilah Montesquiue, berimplikasi pada karakter manusia yang tinggal di dalamnya. Ada satu hal menarik yang bisa kita temukan dalam teori geografi politik montesquiue, bahwa udara yang dingin akan menyebabkan kontraksi bagi tubuh dan meningkatkan tenaga. Sebaliknya udara hangat akan mengendorkan dan memperpanjang serabut, sehingga mengurangi elastisitas dan tenaga. Montesquieu berkesimpulan bahwa udara yang dingin akan membuat seseorang berpikir untuk lebih demokratis, sedangkan udara yang panas akan mempermudah despotisme dan konflik.

Jika kita melihat Afrika dalam perspektif sejarah, kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa bangsa Afrika pada dasarnya bukan merupakan bangsa yang ekspansionis atau suka berperang. Namun, kecenderungan yang terlihat adalah bahwa bangsa Afrika tidak disatukan oleh sebuah entitas peradaban, dan terfragmentasi ke dalam identitas kesukuan yang sempit. Akibatnya, bangsa Afrika menjadi lebih komunal dan sering terlibat konflik antara sesama bangsa mereka sendiri. Kondisi ini menyebabkan bangsa Afrika lebih mudah dijajah oleh bangsa Eropa.

Identitas kesukuan ini mungkin saja berkaitan dengan pola persebaran penduduk yang tidak merata. Suku-suku di Afrika terpisahkan oleh dataran tinggi yang tandus, padang gurun, atau wilayah-wilayah yang panas. Secara kultural, ada perbedaan yang sangat signifikan antara penduduk di wilayah Afrika Utara dan penduduk di wilayah Afrika tengah atau selatan. Mereka yang berada di utara lebih familiar dengan budaya Arab yang kental dengan nuansa Islam. Adapun penduduk di Selatan bercorak kebudayaan khas Afrika; banyak yang beragama non-Islam. Padahal, secara genealogis mereka berasal dari satu entitas bangsa yang sama: Bangsa Afrika.

Persoalan ini pun sering berimplikasi politik. Persoalan konflik di Sudan, Rwanda, atau Nigeria, jika kita tarik akar sejarahnya akan bermuara pada pertentangan budaya antara dua entitas yang berbeda. Konflik di Darfur terjadi karena perselisihan antara kelompok Arab-Afrika dan Afrika yang mewakili basis pekerjaan berbeda. Persoalan di Nigeria atau Rwanda juga hampir mirip, terjadi karena pertentangan etnis yang menganut pemahaman politik berbeda. Ironisnya, perbedaan suku di Afrika justru menjadi penyebab konflik sehingga rasa nasionalisme yang ada pada jiwa mereka begitu sempit.

Di samping itu, bangsa Afrika juga sering termarjinalkan. Mereka menjadi korban diskriminasi dengan konsep ”Apartheid” yang memisahkan bangsa berkulit hitam dengan bangsa berkulit putih. Marjinalisasi ini kemudian menyebabkan keterbelakangan ekonomi setelah era penjajahan berakhir, ditambah oleh beberapa bencana seperti kelaparan atau kekeringan.

Oleh karena itu, jika kita melihat dari ciri-ciri fisik serta peta perpolitikan dunia beberapa dekade terakhir, kita akan sampai kepada satu kesimpulan: Wilayah yang kurang menguntungkan akan memudahkan terjadinya marjinalisasi dan diskriminasi terhadap bangsa Afrika. Maka, sudah seharusnya bangsa Afrika mengeluarkan diri dari stereotype rasial seperti itu. Bukankah Afrika, layaknya entitas bangsa lain di dunia ini, memiliki peluang yang sama untuk membesarkan kekuatan mereka?

*) Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kawasan yang diampu oleh Dr. Siti Muti'ah Setiawati, MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar