Pemilu 2009 telah terlewati. Sebuah perhelatan demokrasi yang melibatkan ratusan juta rakyat Indonesia ini berhasil dilaksanakan pada 9 April 2009 yang lalu, menandai awal baru dari sebuah pergantian kepemimpinan nasional secara periodik.
Masalah Partisipasi Politik
Tentu banyak catatan yang menyertai Pemilu tahun ini. Seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, atau pemilu di negara lain, Pemilu 2009 di Indonesia kembali menghadapi sebuah problem: rendahnya partisipasi politik masyarakat. Sedemikian rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilu, Fajroel Rahman dalam tulisannya di Kompas beberapa waktu lalu menyebut bahwa tahun 2009 ini adalah tahun kemenangan golput, dan menandaskan sebuah keprihatinan terhadap kualitas pemerintahan –setidaknya menurut beliau—selama ini.
Meminjam proposisi Lipset (1960), semakin besar perubahan struktur sosial dan politik di masyarakat, akan semakin tinggi pula tuntutan partisipasi dari masyarakat. Artinya, tingkat kedewasaan demokrasi sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi rakyatnya. Rakyat tidak hanya menjadi basis legitimasi dari pemerintahan yang ada, tetapi juga menjadi salah satu faktor yang menentukan stabilitas politik pemerintahan ke depan. Dalam konteks Indonesia, partisipasi politik yang rendah akan menghambat proses pendewasaan demokrasi yang sekarang sedang berlangsung.
Masalah partisipasi politik yang rendah di Indonesia memang menjadi sebuah persoalan klasik di setiap penyelenggaraan Pemilu. Setidaknya, ada dua kategori (penyebab) dari sikap tidak berpartisipasi masyarakat tersebut.
Pertama, kategori golongan putih, atau kelompok yang tidak menggunakan hak politiknya secara sadar dan sengaja karena berbagai faktor yang melatarbelakangi. Golongan putih bisa saja berasal dari persoalan apatisme individu atau ideologi politik yang dianut, juga bisa berasal dari ketidakpercayaan rakyat terhadap pemimpin yang akan dipilihnya.
Kedua, kategori gagal berpartisipasi, atau kelompok yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena alasan-alasan administratif, baik karena kekacauan DPT atau pindah domisili. Persoalan kedua ini yang sebenarnya menjadi hal yang problematis dalam Pemilu 2009, karena tidak semua dari mereka yang terkena masalah di sini bersikap apolitis terhadap Pemilu. Persoalan justru terdapat pada penyelenggara pemilu atau keruwetan birokrasi.
Masalah tersebut cukup penting untuk diselesaikan di alam demokrasi. Lipset (1960) berpendapat bahwa rendahnya partisipasi politik masyarakat mencerminkan apatisme yang tidak sehat dan melemahnya demokrasi. Padahal, dalam logika demokrasi yang dianut oleh negeri ini, pergantian kepemimpinan dan perubahan struktur politik akan sangat bergantung pada partisipasi politik masyarakat. Rakyat tidak hanya menjadi basis legitimasi politik bagi pemerintah, tetapi juga menjadi aktor di balik kepemimpinan tersebut.
Pemilu akan memiliki peran yang signifikan dalam menentukan masa depan bangsa ini, setidaknya dalam lima tahun ke depan. Partisipasi politik masyarakat akan sangat berpengaruh dalam menentukan figur yang akan mewarnai pemerintahan selama lima tahun ke depan. Ketika parlemen telah cenderung koruptif, kinerja pemerintah tidak memuaskan, dan haluan perekonomian sangat tidak berpihak pada kepentingan rakyat, pada dasarnya rakyat juga memiliki tanggung jawab atas kesalahan-kesalahan tersebut. Karena, pada saat ini jajaran pemerintahan dipilih oleh rakyat secara demokratis.
Itulah sebabnya, dalam demokrasi, pemilu harus legitimate di mata rakyat. Basis legitimasi pemilu ini berbanding lurus dengan basis legitimasi pemerintah. Maka, pengaturan Pemilu seyogianya adalah tanggung jawab dari eksekutif, legislatif, dan panitia penyelenggara (KPU) secara bersama-sama, bukan hanya tanggung jawab satu pihak.
Persoalan Daftar Pemilih
Persoalannya, mengapa partisipasi politik masyarakat kita dalam pemilu 9 April yang lalu dapat dikatakan rendah? Kembali pada kategorisasi di atas, kita dapat menganalisis bahwa permasalahan yang cukup rigid terdapat pada kategori kedua, yaitu kategori “gagal berpartisipasi” karena alasan-alasan administratif, seperti kekacauan DPT atau mutasi. Kategori ini sebenarnya dapat dihindari, karena tidak semua dari mereka bersikap apatis terhadap pemilu. Mereka yang tidak berpartisipasi justru ada yang sangat ingin memilih, tetapi harus kecewa karena kacaunya daftar pemilih yang ada.
Masalah ini memang menjadi tanggung jawab dari KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Akan tetapi, tidak semua kesalahan mesti ditimpakan kepada KPU. Justru banyak kesalahan dari kekacauan DPT dan keruwetan birokrasi ini yang disebabkan oleh kesalahan perancang UU Pemilu (UU No 20 Tahun 2008), karena ternyata ada masalah birokrasi ketika UU tersebut dilaksanakan. KPU, sebagai penyelenggara Pemilu, dalam hal ini hanya menjalankan amanah UU. Ketika ada persoalan birokratis yang muncul, KPU tidak dapat bersikap menyalahi amanah UU dan harus menyesuaikan dengan kondisi mereka.
Aturan daftar pemilih tersebut terletak pada Pasal 33 Ayat 1-4. Ayat (1) menyatakan bahwa “KPU kabupaten/kota menggunakan data kependudukan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih”. Ayat tersebut tentu menghasilkan masalah berkaitan dengan waktu untuk pendaftaran pemilih. Perlu diperhatikan bahwa UU baru lahir pada tahun 2008, satu tahun sebelum Pemilu dilaksanakan. Dengan waktu yang sangat singkat tersebut, sensus tidak mungkin dilaksanakan oleh BPS. Sehingga, data kependudukan dari pemerintah pada akhirnya juga menggunakan data lama. Hal ini tentu akan mengakibatkan perbedaan dengan data-data de facto yang memungkinkan adanya kematian, penambahan pemilih, atau perpindahan domisili. Ini juga menjadi problem.
Namun, hal tersebut tidak lantas menjadikan hasil pemilu ini tidak legitimate atau harus diulang. Langkah partai politik untuk menolak hasil Pemilu, menurut penulis, kurang bijaksana secara fatsoen politik. Sebab, kesalahan Pemilu sebenarnya juga merupakan kesalahan mereka. Legitimasi Pemilu juga masih dapat diterima karena persentase dan jumlah pemilih juga cukup besar, serta tidak ada gerakan yang massif menolak hasil pemilu.
Faktor legitimasi Pemilu, terlepas dari angka golput ideologis dan apatisme, sebenarnya tidak hanya diukur dari jumlah pemilih, tetapi juga efektivitas pemilih tersebut dalam mempengaruhi kebijakan publik yang ada. Sebagaimana diungkapkan oleh Lipset (1960), persoalan jumlah pemilih tidak menjadi soal selama ada mekanisme kontrol dari rakyat ke pemerintah. Pada titik ini, kekacauan DPT tidak berdampak pada keabsahan Pemilu, tetapi harus diperbaiki pada Pemilihan Presiden yang akan datang.
Memperbaiki Pemilu
Masalah partisipasi politik akan sangat berkaitan dengan legitimasi politik dari pemerintah. Persoalan kekacauan DPT yang menimbulkan persoalan rendahnya partisipasi politik juga mesti dibenahi, setidaknya untuk pemilihan presiden 5 Juli 2009 nanti Oleh sebab itu, kesadaran politik kita sebagai seorang warga negara Indonesia juga harus diaktifkan. Selamat berdemokrasi, selamat memilih pemimpin baru.
Keapatisan. Momok terbesar bangsa ini.
BalasHapusKecewakah? Karena marah? Atau memang tak peduli? Atau karena faktor eksternal?
Apapun alasannya, bukan itu yang seharusnya dilakukan.
Selagi tangan masih mampu bergerak, selagi mulut masih bisa berbicara, selagi hati masih bersuara, MEMILIHLAH.
salam kenal.
btw, dirimu anak SP2MP bukan yaa? sepertinya mirip...
hmmm... menarik... apakah dengan memilih maka semua persoalan akan terselesaikan?
BalasHapussaya tidak sepakat bahwa 'memilih' an sich akan menyelesaikan persoalan. Memang benar, memilih akan membuka jalan bagi perubahan. Tetapi, jika kita lihat realitasnya di Pemilu 2009, terus terang saya kecewa...
Faktanya, hanya 9 partai yang meraih suara besar (perolehan suaranya di atas 2,5%) yang berhak atas kursi...
Mekanisme parliamentary threshold telah membuat 67 juta suara rakyat Indonesia menjadi sia-sia... jika ternyata saya memilih salah satu partai kecil, misalnya, karena partai kecil itu mewakili pandangan politi saya, lantas suara partai itu kurang 2,5% sehingga tidak dapat meraih satu kursi pun di DPR, apakah saya dapat mengklaim bahwa perubahan itu akan terus berjalan?
dengan sistem pemilu seperti ini, yang terjadi adalah oligarkhi partai-partai besar dan tarik ulur kepentingan elit. Jika faktanya seperti ini, apakah Pemilu akan dapat membuat perubahan? saya ragu.
Jika ingin membuat partai di parlemen semakin sedikit hingga fragmentasinya bisa terpetakan, mengapa harus menggunakan sistem proporsional? sekalian aja pake distrik, jadi suara rakyat akan terpetakan pada sedikit partai... tidak seperti sekarang.
Ini bukti kegagalan anggota DPR periode lalu dalam meregulasi UU Pemilu, tak peduli dia dari PKS, PAN, atau Demokrat sekalipun...
Maaf baru sempat berkunjung lagi. Baru inget waktu tadi kita ketemu. Hehe.
BalasHapusSebelumnya, berhubung saya nggak gitu ngerti istilah2 perpolitikan saya mau tanya dulu. Apakah yg dimaksud sistem distrik adalah sistem dengan sedikit partai? :D
Kalo iya, saya setuju pendapat Anda, meskipun tidak sepenuhnya. Karena bagaimana pun juga memilih akan selalu membuka jalan baru. Keep on reading. Here it goes.
DPR memang melakukan kegagalan. Dan fatal memang melakukan kesalahan pada sebuah hal yang sangat signifikan berpengaruh pada kehidupan bangsa. Tapi, karena itu semua sudah 'terlanjur' berlalu, let's see the future. Capek lah, ngurusin yg sudah2.
Kita sudah mendapat pelajaran di tahun ini bahwa pada kenyataanya hanya 9 partai yg mendapat kursi. Itu sudah sangat cukup untuk menjadi bukti kekurangbergunaan (atau malah ketidakbergunaan?) banyaknya partai. Rakyat sudah berkata, "Cukuplah ke-9 partai itu merepresentasikan kebutuhan, keadaan, dan keinginan kami."
See? Memilih tetap membuka jalan.
Semoga DPR sekarang bisa belajar..