Rabu, 13 Mei 2009

Islamophobia dan Muslim Australia: Potret ‘Benturan Peradaban’?

Prof. Samuel P. Huntington, analis politik dari Colmbia University, telah memprediksi sebuah fenomena bahwa benturan peradaban antara Barat dengan Islam takkan terhindarkan di abad ke-21. Huntington memotret relasi dan interaksi antara peradaban-peradaban dunia dalam bukunya, The Clash of Civilization (1997). Tesis Huntington ini disandarkan atas sebuah asumsi bahwa ada nilai-nilai ideologis yang secara tegas memberi garis batas antara Islam –sebagai peradaban—dan Barat. Maka, selama Barat tetap memegang nilai-nilai Barat, dan umat Islam tetap konsisten memegang nilai-nilai Islam, takkan ada titik temu antara dua peradaban ini.


Tesis Huntington ini dapat kita lihat pembuktiannya dalam kasus Australia. Kecemasan masyarakat Australia terhadap masyarakat muslim menjadi sebuah cerminan bahwa terjadi opini yang keliru terhadap Islam atau generalisasi berlebihan atas beberapa perbuatan keliru yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang Islam.


Kasus Bom Bali yang menewaskan banyak orang Australia, di satu sisi memang telah memperburuk citra masyarakat Muslim –terutama Muslim Indonesia—di mata Australia. Opini publik Australia pasca-Bom Bali memberi pandangan yang sangat buruk terhadap Islam. Tak hanya itu, politik luar negeri Australia terhadap negara-negara mayoritas Muslim –seperti Indonesia—juga turut terpengaruh. Muncul pula regulasi-regulasi yang cenderung diskriminatif dalam beberapa tradisi dan kewajiban Ibadah umat Islam. Sehingga, pada titik ini, beragam kecemasan justru berkembang menjadi sebuah isu politik di Australia. Hal ini cukup berdampak buruk terhadap posisi masyarakat Muslim Australia yang tidak semuanya bersikap radikal atau eksklusif..


Jika kita analisis, gejala kecemasan terhadap Islam di Australia yang terjadi pasca-Bom Bali telah membawa beberapa implikasi bagi hubungan antara masyarakat Australia dengan masyarakat Muslim di daerah tersebut. Dari studi dokumen media yang kami lakukan, kami menangkap beberapa dampak kecemasan


Pertama, kecemasan terhadap Islam berdampak pada munculnya beberapa aturan diskriminatif terhadap masyarakat muslim di beberapa tempat kerja. Kantor Berita ANTARA menyebutkan bahwa seorang penyiar Radio 4C di Brisbane telah menggulirkan sebuah wacana yang melarang penggunaan jilbab atau hijab bagi muslimah yang bekerja di radio tersebut. Wacana ini langsung mendapat respons dari Ketua umum Federasi Dewan Islam Australia (AFIC) Ikebal Adam Patel. Patel mengingatkan bahwa pelarangan Muslimah berjilbab tidak hanya membatasi hak seseorang menjalankan ajaran agamanya ,tetapi juga membuka peluang terjadinya diskriminasi melembaga terhadap umat Islam.


Persoalan ini menunjukkan bahwa nuansa Islamophobia masih melekat dalam pikiran warga Australia. Argumentasi yang berkembang, hijab atau burqa yang digunakan muslimah memunculkan risiko keamanan karena menutup bagian muka menyulitkan orang lain mengenali identitas diri pemakainya. Hal ini akan berakibat pada tidak dikenalinya pelaku pada pelaku kejahatan—menurut asumsi warga Australia. Jelas, dengan argumentasi seperti ini, muslimah akan mengalami diskriminasi hanya karena identitas dan sikapnya tersebut. Islamophobia, dalam konteks ini, adalah sebuah cerminan dari salah memandang Islam yang dicitrakan eksklusif dan proterorisme.


Kedua, kecemasan terhadap Islam berdampak terhadap opini publik Australia. Pemberitaan media-media Australia terhadap Islam pasca-Bom Bali 2002 memberi porsi yang tidak berimbang terhadap pencitraan masyarakat Muslim. Harian Sidney Herald dan ABC, dalam pemberitaannya menanggapi eksekusi hukuman mati pengebom Bali dengan berbagai ekspresi pemberitaan (Antara, 1/11/2008). Setelah Bom Bali pun, pers Australia ramai memberitakan aksi sekelompok muslim ini sehingga terciptalah opini keliru mengenai Islam di Australia.


Opini publik yang memojokkan muslim Australia dapat dipahami sebagai sebuah respons atas pengebobman di Bali. Hanya saja, di sini terjadi generalisasi berlebihan terhadap wajah Islam yang mereduksi toleransi dan semangat kebersamaan yang mewarnai kehidupan di Australia. Padahal, banyak Muslim yang tinggal di Australia justru bersikap moderat dan menolak pengeboman Bali. Hal ini, disadari atau tidak, justru semakin mempertegas tesis Huntington mengenai benturan peradaban sebagaimana telah disebutkan di atas.


Ketiga, kecemasan terhadap Islam berdampak terhadap hubungan antara Ausralia dengan negara berpenduduk mayoritas Islam, dalam konteks ini Indonesia. Periode pasca-pengeboman Bali 2002 merupakan sisi tegang hubungan kedua negara, karena Australia memersepsikan Indonesia –dalam hal ini militan Muslim Indonesia—sebagai ancaman. Tak hanya dengan Indonesia, Australia pun juga menjaga jarak dengan negara Muslim lain. Bahkan, dalam invasi ke Iraq, Australia turut serta mengirimkan pasukan untuk membantu Amerika Serikat dalam war on terrorism.


Jelas, selama kepemimpinan John Howard yang liberal, banyak ketegangan yang dihasilkan akibat salah persepsi dan generalisasi berlebihan terhadap aksi sekelompok orang yang menggunakan identitas keislaman. Sehingga, pada era John Howard, politik luar negeri Australia praktis lebih bertumpu pada hubungan dengan AS atau sekutu-sekutunya. Salah satu alasan mengapa terjadi keretakan hubungan dengan negara-negara Muslim adalah aksi sekelompok orang yang mengancam Australia ini.


Dengan demikian, ada satu hal yang dapat kita simpulkan ketika menganalisis fenomena Islamophobia, bahwa pada dasarnya Islamophobia adalah sebuah respons dari masyarakat Australia yang merasa terancam akibat aktivitas teror sekelompok orang. Persoalannya, publik Australia salah memahami bahwa aktivitas sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam tersebut dianggap sebagai perwajahan sebenarnya dari Islam. Padahal, masih banyak silent majority yang bersikap moderat dan lebih ramah terhadap peradaban lain. Hal inilah yang kemudian membenarkan tesis Huntington tentang clash of civilization antara Islam dan Barat.


Pada titik ini, kita dapat memahami bahwa Islam sebenarnya tidak mengajarkan kekerasan kepada entitas peradaban lain. Maka, perlu dipahami pula bahwa Islam mengajarkan tatacara beragama yang begitu kompleks dengan spirit yang ramah dan bersahabat, sehingga aturan-aturan yang membatasi penggunaan atribut keislaman tidak seharusnya terjadi. Perwajahan Islam yang baik dan dapat diterima semua pihak harus terus dilakukan oleh elemen-elemen umat Islam sebagai respons atas tantangan tersebut.


Wallahu a’lam bi’l shawwab.


2 komentar:

  1. "Tesis Huntington ini disandarkan atas sebuah asumsi bahwa ada nilai-nilai ideologis yang secara tegas memberi garis batas antara Islam –sebagai peradaban—dan Barat"

    Perlu saudara ketahui bahwa Huntington tidak menyatakan "nilai ideologis" sebagai sebab adanya Clash of Civilization, akan tetapi Huntington menggunakan terma "kebudayaan". Mohon menjadi koreksi, karena hal ini berimplikasi pula pada tulisan anda.

    BalasHapus
  2. Ok.. terima kasih koreksinya... tetapi yang jelas Huntington menggunakan tema "peradaban" yang lebih kompleks 'kan?

    hey, ternyata kau eksis juga di Blogspot??? mengikutikukah?

    BalasHapus