Minggu, 07 Juni 2009

Reformasi Belum Usai, Bung!


Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Tak terasa, makhluk bernama reformasi yang dulu dilahirkan melalui serentetan aksi mahasiswa telah berusia sevekas tahun. Bangsa kita yang dulu dihantui oleh berbagai krisis—krisis moneter, krisis moral, krisis politik— kini mulai bangkit perlahan walaupun kemorat-maritan masih terasa di sana-sini. Pemilu 2009 menandai sebuah era baru perjalanan reformasi dan demokrasi di Indonesia.

Mahfudz Sidik (2003) memotret proses transisi demokrasi di tahun 1998 tersebut dalam tesis Magister Ilmu Politik beliau. Gerakan mahasiswa, dengan berbagai varian ideologi yang berbeda (dari Forkot sampai KAMMI), telah menelurkan sebuah paket tuntutan: Enam Visi Reformasi. Keenam visi reformasi yang seharusnya dijadikan acuan dalam pembangunan sosial-politik pascarefornasi tersebut antara lain pemberantasan KKN, penghapusan dwifungsi ABRI, penegakan supremasi hukum, amandemen UUD 1945, otonomi daerah, dan penegakan budaya demokrasi yang egaliter (Sidik, 2003).

Pertanyaannya, sudahkah enam visi reformasi itu diimplementasikan secara riil dan komprehensif? Mari kita analisis.

Pertama, pemberantasan KKN. Pembentukan KPK melalui UU 30/2002 telah menjadi awal baik bagi komitmen ini. Namun sayang, komitmen beberapa pihak masih harus dipertanyakan. Tidak selesainya UU Pengadilan Tipikor serta skandal Ketua KPK menjadi sebuah tendensi negatif bagi proses pemberantasan korupsi. Sehinggam beragam kasus muncul ke permukaan, dari kasus Al-Amin Nasution hingga kasus Abdul Hadi Djamal. Korupsi tidak hanya melibatkan eksekutif, namun juga menyeret legislatif dan bahkan yudikatif. Di sini, korupsi, meminjam istilah Hasrul Halili dalam ceramahnya di FISIPOL UGM, memang telah menjadi sebuah extraordinary crime yang penanganannya memerlukan extraordinary approach.

Kedua, penghapusan dwifungsi ABRI yang berarti mengurangi dominasi militer atas kegiatan politik. Dwifungsi ABRI memang telah dihapus, namun perlu diingat bahwa penghapusan dwifungsi tersebut mengimplikasikan adanya profesionalisme dari TNI sebagai ”pelindung negara” atau praetorian guard, sehingga hal tersebut memerlukan kontrol objektif sipil atas militer (Huntington, 1996). Upaya-upaya ke arah sana memang telah dilakukan, antara lain dengan memisahkan kepolisian dari TNI serta memilih menteri pertahanan dari unsur sipil. Yang menjadi catatan, militer harus dijauhkan dari politisasi dengan meningkatkan profesionalisme. Profesionalisme TNI harus terus dilakukan secara konsisten.

Ketiga, penegakan supremasi hukum. Kendati telah menunjukkan adanya perbaikan, supremasi hukum di negara kita tetap saja dikatakan kurang tegas. Tertundanya pengusutan kasus mantan presiden Soeharto selama delapan tahun (sampai beliau akhirnya meninggal dunia) telah menjadi sebuah preseden buruk dalam dunia peradilan,. Belum lagi kasus penyuapan jaksa Urip Tri Gunawan sebesar Rp 6 Miliar (negara rugi Triliunan Rupiah) yang divonis puluhan tahun penjara, semakin memperburuk citra lembaga peradilan. Lantas, di mana komitmen untuk menegakkan supremasi hukum secara konsisten dan total?

Keempat, amandemen UUD 1945. Memang, Indonesia telah mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali. Akan tetapi perlu diingat bahwa amandemen tersebut harus dilakukan secara tepat dan tidak boleh kehilangan spirit perjuangan yang telah dimasukkan oleh para founding fathers Indonesua. Contoh sederhana, penghapusan penjelasan UUD 1945 ternyata justru mengurangi substansi dari sistem ekonomi kerakyatan yang coba dibangun, terutama Pasal 33 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara (Mubyarto, 2004). Dalam praktiknya, penghapusan penjelasan ini membuat investor asing berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam kita dengan pembagian keuntungan yang sama sekali tidak menguntungkan negara. Hal seperti ini menjadi sebuah problem yang patut kita pikirkan kembali.

Kelima, otonomi daerah. Adanya UU 32/2004 yang mengatur kewenangan pemerintah daerah telah membawa beberapa dampak positif. Namun, otonomi daerah ini juga membawa desentralisasi korupsi sebagai implikasi negatifnya. Kasus penyalahgunaan APBD justru semakin marak, bahkan banyak daerah yang mengalihfungsikan lingkungan untuk kepentingan bisnis dan industri. Desentralisasi ternyata juga berimplikasi pada lingkungan eksternal dan agenda global. Ini juga patut menjadi bahan evaluasi.

Keenam, penegakan budaya demokrasi yang egaliter. Poin ini pun masih belum sepenuhnya terintegrasi di negara kita karena demokrasi yang berkembang justru demokrasi primitif dengan berbagai paradigma keliru di dalamnya. Demokrasi mengalami substance loss dengan adanya paradigma lassez-faire, patron-client, dan kultus individu yang berlebihan. Akibatnya, demokrasi yang dihasilkan bukan demokrasi yang egaliter, melainkan demokrasi primitif yang hanya membawa masalah baru.

Keenam visi reformasi ini harus direvitalisasi agar pelaksanaan reformasi tidak terkontaminasi oleh kepentingan elit yang serba pragmatis. Reformasi juga harus diwujudkan dengan keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Oleh karena itu, pelajar, mahasiswa, dan kaum muda sebagai avant garde reformasi harus terus menyuarakan perlawanan intelektual untuk menuntaskan visi reformasi. Reformasi belum usai, Bung!

*) Artikel ini pernah dimuat di Radar Banjarmasin, 21 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar