Rabu, 22 Juli 2009

Kursi Kabinet dan Fatsoen Politik

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Artikel ini dimuat di Harian Radar Banjarmasin, 17 Juli 2009.

Banyak pihak yang percaya, hasil quick count beberapa lembaga survey telah membenarkan prediksi bahwa Pemilihan Presiden RI 2009 hanya akan berlangsung satu putaran, dengan pasangan SBY-Boediono sebagai pemenangnya. Apalagi, perolehan sementara SBY-Boediono di real count KPU juga senada dengan hitungan quick count.

Potret Demokrasi Mayoritarian

Berdasarkan asumsi ini, muncul pula beragam spekulasi terkait dengan struktur pemerintahan yang akan dibangun oleh pasangan SBY-Boediono. Hanya sepekan setelah hasil quick count diumumkan, spekulasi mengenai siapa saja figur yang akan menduduki pos-pos menteri di kabinet SBY-Boediono mulai mencuat.

Perbincangan di media massa tidak lagi berkutat dengan pemilihan presiden, tetapi telah melangkah lebih jauh: power sharing atau pembagian kekuasaan dan jatah menteri antarpartai pendukung SBY.

Jika SBY-Boediono memang diprediksi menang, pemerintahan yang dibangun akan cukup kuat dan stabil. Di parlemen, partai pengusung SBY-Boediono (Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) telah berjumlah 318 kursi atau sekitar 57,8%. Jika Partai Golkar bergabung ke pemerintahan, jumlah ini akan bertambah lebih dari 100 kursi. Praktis, pemerintahan menjadi sangat kuat dan cita-cita untuk membentuk pemerintahan presidensil yang efektif akan menjadi semakin mudah dilaksanakan.

Fenomena ini disebut oleh Arend Lijphart (1971) sebagai “demokrasi mayoritarian”. Pemerintahan yang terbentuk dari hasil Pemilu menjadi sangat kuat, dan secara umum akan meminimalisasi upaya kelompok oposisi untuk meresistensi pemerintah di parlemen. Format koalisi politik yang bertipe “minimal-winning coalition” akan menjadi format koalisi yang sangat ideal bagi sistem presidensil.

Dengan adanya fenomena demokrasi mayoritarian ini, perlu ada upaya-upaya untuk menjaga agar partai politik yang memegang kendali pemerintahan tidak bertindak di luar batas demokrasi dan menjadi sebuah rejim otoritarian baru. Resistensi dapat dilakukan melalui konsolidasi partai-partai oposisi (PDIP, Gerindra, Hanura), dan fatsoen politik sebagai kontrol non-formal perlu ditegakkan dalam sistem politik kita

Fatsoen Politik dan Kepatutan

Dalam sistem pemerintahan yang presidensil, power sharing atau pembagian kekuasaan di antara partai pendukung seorang presiden sangat wajar terjadi. Jatah menteri merupakan sebuah keniscayaan bagi partai politik yang menyatakan dukungannya kepada capres tertentu.

Hanya saja, seberapa patutkah perbincangan mengenai jatah menteri tersebut dilakukan sebelum hasil Pemilihan Presiden yang fixed dan valid diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum? Atau, seberapa pantaskah sebuah partai politik yang mendukung capres tertentu mengajukan kader-kader terbaiknya untuk menjadi menteri, sementara pemerintahan yang lama masih belum secara resmi berakhir dan hasil Pemilu masih belum dapat diketahui oleh publik?

Tidak salah, memang, jatah menteri dibicarakan di antara partai pendukung calon presiden tertentu. Tidak salah pula sebuah partai politik mengajukan kader-kader terbaiknya untuk menjadi menteri, jika memang pembicaraan tersebut menjadi bagian dari paket koalisi yang telah dibicarakan.

Akan tetapi, ketika pembicaraan tersebut dilakukan sebelum hasil pemilu secara resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum, ada sedikit kekeliruan. Waktu pembicaraan menjadi terlalu pagi dan tidak mencerminkan etika kepada calon presiden yang lain. Seakan-akan, calon presiden yang lain dianggap telah kalah, padahal proses hukum dan proses politik belum berakhir secara sempurna.

Sikap ini jelas tidak sesuai dengan fatsoen (etika) politik. Sewajarnya, dalam sebuah kompetisi, keputusan menang-kalah diambil setelah pertandingan berakhir. Hasil pertandingan diketahui setelah peluit panjang telah dibunyikan oleh wasit. Hitung-hitungan dari para analis pertandingan sebenarnya tidak berlaku, karena hasil akhir dari jurilah yang menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Hal ini pula yang seharusnya kita maknai sebagai fatsoen politik. Dalam pemilu, keputusan kalah atau menang diambil setelah hasil Pemilu diumumkan secara resmi, proses hukum dan gugatan atas hasil pemilu dilakukan oleh calon presiden yang lain, serta proses demokrasi telah sepenuhnya berjalan. Sebelum semua hal tersebut berjalan, seorang calon presiden masih belum dianggap menang atau kalah.

Sehingga, seharusnya perbincangan mengenai “siapa mendapatkan apa” dilakukan setelah seorang calon presiden memang benar-benar menang secara legal-formal, atau setelah hasil Pemilu benar-benar diumumkan secara sah. Partai politik, secara fatsoen, tidak mendahului keputusan kalah-menang tersebut secara sombong dan menafikan proses-proses hukum yang masih bisa diambil oleh calon presiden lain.

Perlu diingat, politik menurut Harold Lasswell (1950) tidak hanya berbicara mengenai “siapa mendapatkan apa” (who gets what), tetapi juga berbicara mengenai “kapan” dan “bagaimana” ia mendapatkannya (politics is who gets what, when, and how). Pertanyaan “bagaimana” sangat merujuk pada fatsoen atau etika berpolitik yang dimainkan oleh partai-partai politik.

Apalagi, dalam konteks Indonesia, partai-partai politik yang mendukung SBY-Boediono adalah partai-partai berlatarbelakang konstituten dan basis platform Islam. Fatsoen politik hendaknya dijunjung tinggi. Jabatan menteri bukan merupakan materi yang diincar dengan sekuat tenaga, tetapi harus dipandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Sehingga, prinsip “jabatan sebagai amanah” sangat penting untuk menghindari perilaku ambisius dalam mengejar kekuasaan. Ketika prinsip ini diabaikan, partai politik tersebut akan berorientasi kekuasaan. Bagi sebuah partai politik Islam, sikap ini jelas kontraproduktif dengan nilai-nilai yang mereka anut. Kekuasaan seharusnya tidak menjadi orientasi dari partai-partai politik Islam yang berada di belakang SBY.

Politik yang Beretika

Maka, sikap yang semestinya dilakukan bukanlah membicarakan kursi menteri yang akan dijatahkan, tetapi mengevaluasi kinerja partai agar sesuai dengan basis platform yang dianut dan menganalisis model-model kebijakan yang akan diarahkan dalam pemerintahan.

Jika memang akan mengajukan nama kader sebagai menteri, pembicaraan hendaknya dilakukan secara tertutup dan tidak demonstratif kepada media massa. Hal ini akan lebih baik dipandang oleh publik dan tidak terkesan “haus kekuasaan”. Apalagi, partai politik Islam memegang teguh prinsip yang diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Politik memang tidak mengenal batasan, tetapi jangan lupa, fatsoen politik akan membatasi perilaku para elit di kancah politik. Mari membangun politik yang beretika.

*) Penulis adalah Alumnus SMAN 1 Banjarmasin, Studi di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar