"Everyone has the right to freedom of expression. This right shall include freedom to hold opinions and to receive and impart information and ideas without interference".
-Universal Declaration on Human Rights-
Kebebasan berpendapat kembali menuai kontroversi di negeri ini. Prita Mulyasari (Bu Prita), seorang ibu rumah tangga di Jakarta, dilaporkan ke kepolisian oleh sebuah rumah sakit dengan alasan sepele: pencemaran nama baik. Pasalnya, Bu Prita dianggap memfitnah rumah sakit tersebut melalui aspirasinya di dunia maya.
Kasus berawal dari sebuah surat elektronik yang dikirim oleh Bu Prita ke seorang teman. Surat tersebut berisi keluhan dan pengalaman beliau ketika dirawat di sebuah rumah sakit. Gayung bersambut: beberapa rekan menyebarluaskan surat elektronik ke beberapa mailing list sebagai bahan diskusi.
Celakanya, surat tersebut rupanya membuat pihak rumah sakit tidak senang. Berbekal surat yang disebarluaskan ke forum elektronik tersebut, pihak rumah sakit memperkarakan Bu Prita atas tuduhan pencemaran nama baik. UU ITE dan KUHP digunakan sebagai dasar hukum. Proses hukum bergulir, Bu Prita ditahan. Muncul respons: ribuan pengguna internet menyerukan dukungan kepada Bu Prita.
Sebenarnya, kasus Bu Prita bukannya pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, Bersihar Lubis diadili dengan tuduhan serupa, karena menulis sebuah kolom yang berjudul “Kisah Interogator yang Dungu” di sebuah harian nasional. Tulisan tersebut dianggap mendiskreditkan pihak kejaksaan, sehingga Bersihar diperkarakan oleh kejaksaan dengan tuduhan mencemarkan nama baik.
Persoalan pencemaran nama baik ini memang menjadi sebuah preseden buruk bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. UUD 1945 telah memberi ruang bagi individu untuk menyatakan pendapatnya di depan umum, dengan catatan tidak memberikan kerugian bagi orang lain. Dalam konteks kasus Bu Prita, sebuah kritik yang dikirimkan oleh stakeholder rumah sakit tentu merupakan sesuatu yang wajar ketika pelayanan rumah sakit memang tidak memuaskan pasien.
Dalam konteks ini, masalah tuduhan pencemaran nama baik (beleidging) justru kontraproduktif dengan iklim demokrasi yang coba dibangun di negara ini. Di satu sisi, negara ingin agar ruang-ruang publik dibuka untuk masyarakat. Kebebasan berpendapat diperbolehkan. Aspirasi warga negara ditampung. Intinya, negara ingin agar masyarakat dapat memberikan umpan balik terhadap proses pembangunan politik yang berjalan.
Akan tetapi di sisi lain, negara juga masih menghalangi kritik yang diberikan kepada pemerintah dengan dalih pencemaran nama baik. Negara masih memberikan ruang yang begitu sempit bagi publik untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Media massa dan elemen masyarakat sipil tidak dikondisikan untuk menjadi alat kontrol sosial. Kritik dan demonstrasi masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa dan, oleh karenanya, tidak boleh muncul di ruang publik.
Sehingga, terciptalah paradoks: “negara demokrasi” menghalangi warga negaranya untuk berpendapat secara bebas. Pada titik ini, pencemaran nama baik yang diatur melalui KUHP menjadi dilematis ketika dihadapkan dengan nilai demokrasi. Kasus Prita Mulyasari membuktikan, aspirasi seorang warga negara yang sebenarnya bersifat pribadi justru membuat hak konstitusional Bu Prita diambil melalui penahanan.
Apalagi, pada perkembangannya, muncul dugaan bermainnya kuasa modal di tengah proses hukum kasus Bu Prita tersebut. Situasi kian problematis. Institusi hukum lagi-lagi harus berhadapan dengan masalah akut yang sempat menghasilkan episode buram dalam penegakan hukum di Indonesia ketika Orde Baru. Masalah pencemaran nama baik tidak hanya berdampak di satu aspek, tetapi juga memicu masalah di aspek lainnya.
“Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, kata Lord Acton. Perkataan yang begitu populer di kalangan mahasiswa FISIP ini mengingatkan kita, bahwa kekuasaan harus dikendalikan dan dikontrol. Kuasa modal harus dijaga agar tidak berkolaborasi dengan kuasa politik atau kuasa-kuasa lainnya. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat menjadi penting sebagai sebuah alat pengendali.
Namun perlu diingat, kritik akan menjadi sia-sia ketika “budaya bisu” –meminjam istilah Freire— masih melekat sebagai gaya berpikir di masyarakat. Maka, peran mahasiswa sebagai generasi intelektual menjadi penting untuk dimainkan. Pekerjaan besar menanti mahasiswa Indonesia ke depan
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
-Universal Declaration on Human Rights-
Kebebasan berpendapat kembali menuai kontroversi di negeri ini. Prita Mulyasari (Bu Prita), seorang ibu rumah tangga di Jakarta, dilaporkan ke kepolisian oleh sebuah rumah sakit dengan alasan sepele: pencemaran nama baik. Pasalnya, Bu Prita dianggap memfitnah rumah sakit tersebut melalui aspirasinya di dunia maya.
Kasus berawal dari sebuah surat elektronik yang dikirim oleh Bu Prita ke seorang teman. Surat tersebut berisi keluhan dan pengalaman beliau ketika dirawat di sebuah rumah sakit. Gayung bersambut: beberapa rekan menyebarluaskan surat elektronik ke beberapa mailing list sebagai bahan diskusi.
Celakanya, surat tersebut rupanya membuat pihak rumah sakit tidak senang. Berbekal surat yang disebarluaskan ke forum elektronik tersebut, pihak rumah sakit memperkarakan Bu Prita atas tuduhan pencemaran nama baik. UU ITE dan KUHP digunakan sebagai dasar hukum. Proses hukum bergulir, Bu Prita ditahan. Muncul respons: ribuan pengguna internet menyerukan dukungan kepada Bu Prita.
Sebenarnya, kasus Bu Prita bukannya pertama kali terjadi di Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, Bersihar Lubis diadili dengan tuduhan serupa, karena menulis sebuah kolom yang berjudul “Kisah Interogator yang Dungu” di sebuah harian nasional. Tulisan tersebut dianggap mendiskreditkan pihak kejaksaan, sehingga Bersihar diperkarakan oleh kejaksaan dengan tuduhan mencemarkan nama baik.
Persoalan pencemaran nama baik ini memang menjadi sebuah preseden buruk bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. UUD 1945 telah memberi ruang bagi individu untuk menyatakan pendapatnya di depan umum, dengan catatan tidak memberikan kerugian bagi orang lain. Dalam konteks kasus Bu Prita, sebuah kritik yang dikirimkan oleh stakeholder rumah sakit tentu merupakan sesuatu yang wajar ketika pelayanan rumah sakit memang tidak memuaskan pasien.
Dalam konteks ini, masalah tuduhan pencemaran nama baik (beleidging) justru kontraproduktif dengan iklim demokrasi yang coba dibangun di negara ini. Di satu sisi, negara ingin agar ruang-ruang publik dibuka untuk masyarakat. Kebebasan berpendapat diperbolehkan. Aspirasi warga negara ditampung. Intinya, negara ingin agar masyarakat dapat memberikan umpan balik terhadap proses pembangunan politik yang berjalan.
Akan tetapi di sisi lain, negara juga masih menghalangi kritik yang diberikan kepada pemerintah dengan dalih pencemaran nama baik. Negara masih memberikan ruang yang begitu sempit bagi publik untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Media massa dan elemen masyarakat sipil tidak dikondisikan untuk menjadi alat kontrol sosial. Kritik dan demonstrasi masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa dan, oleh karenanya, tidak boleh muncul di ruang publik.
Sehingga, terciptalah paradoks: “negara demokrasi” menghalangi warga negaranya untuk berpendapat secara bebas. Pada titik ini, pencemaran nama baik yang diatur melalui KUHP menjadi dilematis ketika dihadapkan dengan nilai demokrasi. Kasus Prita Mulyasari membuktikan, aspirasi seorang warga negara yang sebenarnya bersifat pribadi justru membuat hak konstitusional Bu Prita diambil melalui penahanan.
Apalagi, pada perkembangannya, muncul dugaan bermainnya kuasa modal di tengah proses hukum kasus Bu Prita tersebut. Situasi kian problematis. Institusi hukum lagi-lagi harus berhadapan dengan masalah akut yang sempat menghasilkan episode buram dalam penegakan hukum di Indonesia ketika Orde Baru. Masalah pencemaran nama baik tidak hanya berdampak di satu aspek, tetapi juga memicu masalah di aspek lainnya.
“Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, kata Lord Acton. Perkataan yang begitu populer di kalangan mahasiswa FISIP ini mengingatkan kita, bahwa kekuasaan harus dikendalikan dan dikontrol. Kuasa modal harus dijaga agar tidak berkolaborasi dengan kuasa politik atau kuasa-kuasa lainnya. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat menjadi penting sebagai sebuah alat pengendali.
Namun perlu diingat, kritik akan menjadi sia-sia ketika “budaya bisu” –meminjam istilah Freire— masih melekat sebagai gaya berpikir di masyarakat. Maka, peran mahasiswa sebagai generasi intelektual menjadi penting untuk dimainkan. Pekerjaan besar menanti mahasiswa Indonesia ke depan
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar