Rabu, 19 Agustus 2009

Korupsi atau Terorisme?

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

“Corruption is a disease, a cancer that eats into the cultural, political and economic fabric of society, and destroys the functioning of vital organs” (Inge Amundsen, 1999).

“And isn't the ‘normal’ history of humankind replete with horrifying chapters of inhumanity? A crime need not be aberrant to warrant atonement” (Norman Finkelstein, 2000).

Pekan ini, Indonesia dihadapkan oleh dua kasus yang sama-sama menyita perhatian publik: testimoni Ketua KPK Antasari Azhar dan penggerebekan rumah yang diduga sebagai markas teroris di Temanggung, Jawa Tengah.

Masalah pertama, testimoni Ketua KPK non-aktif Antasari Azhar yang mengindikasikan terjadinya suap di tubuh komisioner KPK cukup ironis dan paradoks dengan spirit pemerintahan bersih yang coba digaungkan oleh SBY-JK. KPK yang diharapkan menjadi jangkar pemberantasan korupsi, justru terindikasi korup.

Padahal, prospek pemberantasan korupsi ke depan saja sudah cukup suram dengan tidak adanya political will dari DPR untuk mengesahkan UU Pengadilan Tipikor. Tenggat waktu yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengesahkan UU ini akan habis empat bulan ke depan. Bagaimana mungkin KPK dapat melaksanakan fungsinya dengan baik tanpa pimpinan yang berintegritas?

Masalah inilah yang disebut oleh Hasrul Halili, peneliti Pukat Korupsi UGM, sebagai corruptor’s fight back; “serangan balik koruptor”. Jangkar KPK kian melemah. Di sisi lain, kewenangan KPK juga berusaha untuk dikooptasi oleh berbagai kepentingan elit. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, seperti apa nasib pemberantasan korupsi ke depan?

Dulu, kita berharap banyak dengan seorang Antasari Azhar ketika mampu mengusut beberapa kasus yang melibatkan DPR dan birokrasi. Lima anggota DPR diseret ke meja hijau. Jaringan koruptor dilacak. Harapan besar berada di pundak KPK.

Akan tetapi, integritas Antasari justru tercemarkan, hanya oleh sebuah kasus yang sama sekali berbeda: pembunuhan. Ada apa dengan seorang Ketua KPK yang mestinya memiliki integritas yang kuat? Mengapa seorang pimpinan KPK justru terlibat kasus yang sama sekali tidak berkaitan dengan masalah korupsi?

Serangan balik koruptor memang sangat mengancam ketika kewenangan KPK menjadi begitu superior. Pada tahun 2007, serangan balik koruptor berhasil membuat pengadilan Tipikor, avant garde peradilan kasus korupsi, kehilangan keabsahan hukumnya. Serangan balik koruptor pula yang membuat KPK diwarnai oleh berbagai skandal yang justru melibatkan pimpinannya.

Sekarang, bola pun bergulir dengan begitu cepat. Antasari Azhar, di tengah pengusutan kasus yang dialaminya, justru memberikan sebuah testimony terkait skandal suap yang melibatkan pimpinan KPK. Benar apa yang pernah dikatakan oleh Hasrul Halili: pemberantasan korupsi akan mengalami hambatan selama integritas tidak dijaga.

Masalah kedua, teror bom yang meledakkan Jakarta kembali memasuki babak baru: penggrebekan basecamp teroris di Temanggung, Jawa Tengah. Noordin M. Top, buronan pelaku peledakan Kuningan, berhasil dilacak oleh Densus 88 di sebuah rumah.

Kasus pengeboman di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton ini pun menyisakan sebuah pertanyaan: akankah pengeboman ini berimplikasi pada berubahnya konstelasi politik global, serta bergesernya orientasi pengaturan keamanan internasional? Kita dapat melihat bahwa ada satu kata kunci dalam masalah ini: ketakutan (fears).

Memang, menurut perspektif realis klasik dalam studi hubungan internasional, ketakutan adalah salah satu form of power. Hobbes (1651), misalnya, mengatakan bahwa jika tindakan dilakukan atas pertimbangan hawa nafsu (appetites) dan kesimpulan keliru (fears), tindakan tersebut tidak akan lagi mengekspektasikan bahwa akan ada pertahanan dan perlindungan dalam melawan musuh.

Jika kasus terror bom ini kita pandang secara lebih luas, jelas bahwa teror bom di Jakarta ini merupakan satu dari rangkaian aksi teror yang melanda dunia dekade ini. Sebelumnya, peledakan serupa terjadi di Mumbai, India. Fakta ini menunjukkan, jaringan yang dikenal oleh publik dunia sebagai “terorisme” telah kembali menampilkan wajahnya, meskipun tidak secara baru.

Kita pun patut melihat masalah ini, bahwa masalah pengeboman di Kuningan ini cukup rawan diikuti oleh sekuritisasi dalam kebijakan keamanan pemerintah ke depan. Di berbagai aspek, diprediksi akan pembatasan ruang gerak bagi sebagian kalangan dengan alasan “national security”. Kekhawatiran yang muncul adalah adanya pembelokan opini yang mengarah pada stigmatisasi kelompok tertentu.

Lantas, lebih penting mana: war against terrorism atau pemberantasan korupsi? Setidaknya, pemerintah akan dihadapkan pada sebuah kondisi yang dilematis ketika ingin memprioritaskan kebijakan ke depan. Masalah terorisme jelas adalah masalah yang cukup serius. Akan tetapi, keseriusan pemerintah dalam memberantas terorisme tidak lantas mengabaikan UU Pengadilan Tipikor dan penguatan kapasitas KPK.

Oleh karena itu, ada dua hal yang patut kita soroti pada permasalahan ini.

Pertama, UU Pengadilan Tipikor dan penyelesaian masalah pimpinan KPK adalah harga mati yang mesti diselesaikan tahun ini. Siapapun yang berada di DPR, jika tidak mendukung UU Pengadilan Tipikor, ia akan berada di jajaran politisi korup. KPK mesti diselamatkan dengan pimpinan yang memiliki integritas kuat.

Kedua, pemberantasan terorisme juga jangan sampai membuat pemerintah melakukan sekuritisasi berlebihan. Pelaku pengeboman murni aksi pribadi, tidak terkait dengan kelompok atau agama manapun. Sehingga, aksi pengeboman seharusnya tidak membuat pemerintah mencurigai agama tertentu yang “dicatut” oleh pelaku peledakan.

Dengan demikian, kita patut mendukung aparat pemerintah yang bekerja untuk aksi pemberantasan korupsi dan terorisme. Harapan kita, jangan sampai salah satu dari dua masalah ini terlupakan, hanya karena salah prioritas. Berpikirlah positif.

*) Staf Kajian Strategis BEM KM UGM

2 komentar:

  1. sebagian yang jadi KPK khan orang lama yang tidak terlepas dari cara-cara lama maka pilihlah orang baru seperti saya, atau penulis blog ini atau orang muda lain yang belum tersenuth korupsi.

    BalasHapus
  2. Biro Travel Haji Plus dan Umrah terbesar di Indonesia menurut data maskapai penerbangan Garuda Indonesia, dan merupakan penyelenggara Haji Plus dan Umrah resmi dan legal yang didukung oleh tim yang sudah berpengalaman dalam memberikan pelayanan bagi jamaah haji plus maupun jamaah umrah. Sejak tahun 1990 telah memberangkatkan lebih dari 50,000 jamaah dari seluruh wilayah Indonesia, bergabunglah dan dapatkan solusi cerdas bagi yang berkeinginan menunaikan ibadah haji dan ibadah umrah dengan biaya murah dan bahkan gratis

    BalasHapus