-Buya Hamka-
Hal apa yang menjadi dasar dari keberagamaan kita? Pertanyaan tersebut akan muncul jika kita merenungkan kembali makna tujuan kita beragama Islam. Ketika kita dihadapkan pada pertanyaan tersebut, jawabannya takkan lepas dari satu istilah penting yang menjadi dasar utama agama Islam: Aqidah Islam.
Aqidah adalah fondasi agama Islam yang paling fundamental. Setiap muslim mesti memiliki aqidah yang benar, sebagai persyaratan seseorang untuk menjalankan amal dalam Islam. Al-Qur’an dalam konteks memerintahkan kita untuk mengakui bahwa Allah itu esa, tidak ada tuhan selain Allah. Juga, bahwa Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang mampu menciptkan sesuatu selain Allah (Q.S. Al-Ikhlas 1-4). Hal inilah yang mendasari bahwa keislaman seseorang dimulai dari keyakinan terhadap Allah SWT.
Dengan demikian, elemen paling substansial dalam aqidah Islam adalah tauhid, atau mengesakan Allah. Semua unsur akidah harus bermuara dari konsep ini. Maka, ketika kita ingin menjawab pertanyaan di atas, kita akan menemukan sebuah jawaban: Keyakinan kepada Allah-lah yang mendasari keislaman kita. Sebagai konsekuensinya, ketauhidan seseorang akan menjadi kunci penting dalam aktivitas keberagamaannya.
Konsepsi Tauhid
Secara etimologi, aqidah berasal dari kata ‘aqada-yaqidu-‘aqdan-‘aqidatan, yang berarti keyakinan (Ilyas, 1992). Adapun tawhid berasal dari kata wahhada-yuwahhidu-tawhidan, kurang lebih diterjemahkan sebagai keesaan. Artinya, keyakinan kita kepada Allah akan dimulai dari sebuah pemahaman, bahwa Allah itu esa. Pemahaman ini akan berlanjut pada proses mengimani dan mengambil konsekuensi dari keyakinan tersebut.
Para ulama membagi tauhid menjadi tiga tingkatan: tauhid rububiyah, mulkiyyah, dan ilahiyyah (Ilyas, 2002). Awal dari tauhid adalah menempatkan Allah sebagai Rabb. Allah telah menciptakan alam semesta sebagai khaliq (pencipta), dan kita adalah makhluq (yang diciptakan). Sehingga, manusia harus tunduk pada penciptanya. Konsep ini merupakan konsep paling pokok dalam aqidah, sehingga jika seseorang belum mengimani hal ini ia tidak dapat dianggap sebagai seorang muslim yang lurus.
Akan tetapi, konsep tauhid dalam tataran yang lebih luas tidak cukup hanya dengan membenarkan bahwa Allah itu Maha Esa. Tauhid sejatinya memerlukan manifestasi dalam realitas empiris. Dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan, setidaknya ada empat hal yang harus dijauhi oleh umat Islam dalam implementasi tauhid, yaitu Syirik (Menyekutukan Allah), Takhayul (kepercayaan magis tradisional), Bid’ah (mengada-ada dalam permasalahan agama), dan Khurafat (kepercayaan magis-tradisional).
Salah satu perilaku yang dapat menjerumuskan diri kepada kesyirikan ialah perilaku meminta bantuan kepada dukun. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah mengatakan bahwa jika seorang muslim pergi ke dukun, salatnya tak akan diterima selama 40 hari. Perbuatan ini mengisyaratkan kita meminta pertolongan kepada selain Allah, dan berarti menyalahi komitmen kita dalam syahadat. Ironisnya, siaran televisi justru menyiarkan kesyirikan-kesyirikan ini secara luas dengan media SMS.
Perbuatan lain yang juga dapat menjerumuskan kepada kesyirikan adalah percaya kepada ramalan nasib, kesialan, atau hal-hal yang sejenis. Hal ini dilarang dalam agama, karena akidah Islam dengan tegas menyatakan bahwa hanya kepada Allah-lah kita berserah diri dan memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa tidak ada thiyarah (percaya kepada ramalan-ramalan) dan hammah (suara burung yang mengabarkan suatu nasib tertentu). Bahkan, mengundi nasib dengan anak panah secara tegas dihukumi haram oleh Al-Qur’an. Dalam kacamata Islam, hal tersebut telah dikategorikan sebagai perbuatan syirik.
Selain itu, perilaku meminta bantuan ke dukun juga mengakibatkan fenomena Kesurupan Massal di berbagai sekolah menengah, seperti pernah terjadi di SMKN 3 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, juga di sekolah penulis dulu. Kesurupan massal –yang notabene terjadi karena lemahnya iman seseorang— merupakan indikasi bahwa masyarakat kita masih belum bersih dari kepercayaan tradisional yang cenderung menyekutukan Allah.
Konsekuensi Tauhid
Bagaimanakah konsekuensi dari tauhid? Setidaknya, menurut penulis, ada dua hal yang menjadi konsekuensi dari ketauhidan kita kepada Allah.
Pertama, melaksanakan ibadah sebagai manifestasi ketaatan kita kepada Rasulullah. Konsekuensi dari keimanan bahwa Allah adalah khaliq, sebagaimana penulis jelaskan di atas, adalah menjalankan ibadah. Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah tidak menciptakan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. Adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini, aktivitas manusia pada hakikatnya adalah beribadah kepada Allah, baik dalam konteks ritual maupun sosial.
Ada dua jenis ibadah: ibadah mahdhah (ritual) dan ibadah ‘ammah (sosial). Kaidah ushul fiqh menyatakan, bahwa asal hukum dari ibadah mahdhah adalah haram, kecuali jika ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan asal hukum ibadah ammah adalah halal, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Dengan demikian, dalam melaksanakan ibadah mahdhah, ada dua persyaratan yang harus kita penuhi, yaitu ikhlas dan sesuai dengan tatacara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Sabda Rasulullah, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada urusannya dariku, maka ia tertolak” (Arba’in An-Nawawiyah, hadits ke-5). Dari hadits tersebut, tentu saja kita dilarang untuk melakukan hal-hal yang sama sekali tak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh Allah dalam persoalan ini. Seluruh ibadah yang bersifat ritual (ibadah mahdhah) harus memiliki legitimasi nash dari dua sumber primer hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadits. Jika tidak memiliki dalil yang kuat, kita patut berhati-hati
Banyak bentuk dari bid’ah yang bertebaran di masyarakat. Aktivitasnya tak perlu penulis sebutkan di sini, karena masalah ini telah menjadi perdebatan klasik di antara umat Islam sejak dulu. Akan tetapi, mengingat masalah ini jelas menjadi persoalan besar, perlu pendekatan khusus untuk menyikapinya. Di sinilah pentingnya dakwah bil hal kepada masyarakat yang masih belum memiliki pemahaman menyeluruh mengenai Islam.
Sedangkan untuk ibadah ‘ammah (muamalah), kaidah ushul fiqh yang berlaku justru terbalik. Pada titik inilah ijtihad bermain. Sehingga, tajdid (pembaharuan) memainkan peranan yang begitu penting dalam pelaksanaan muamalah ini. Masalah-masalah yang meragukan kesyar’ian-nya, memerlukan penelaahan dan kajian mendalam oleh para ahli, baik ahli fiqh muamalah atau pakar pada bidangnya. Sehingga, konsep muamalah-lah menaungi aktivitas-aktivitas sosial yang kita lakukan selama ini.
Jika kita kembangkan masalah ini secara lebih jauh, aktivitas politik pun tak lepas dari persoalan ibadah ini. Aktivitas politik (siyasah), merujuk pada Al-Mawdudi, pada hakikatnya diletakkan atas dasar tauhid sebagai penopang utama. Abul A’la Al-Mawdudi mendasarkan siyasah islamiyyah atas tiga prinsip dasar: tauhid, risalah, dan khilafah (lihat Syam, 2005). Aktivitas politik kemudian kita maknai sebagai upaya membangun relasi positif antara umat (rakyat) dan imam (pemimpin) atas dasar keimanan pada Allah.
Kedua, mengimplementasikan tauhid dalam kehidupan sosial. Setelah kita meyakini tauhid dengan semua implikasinya, kita juga harus mengintegrasikan tauhid dalam kehidupan sehari-hari. Prof. Dr. Amien Rais pernah menggulirkan wacana tauhid sosial yang mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan (Rais, 1997).
Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat. Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2006) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah.
Dalam kacamata Amien Rais, ada lima dimensi Tauhid Sosial. Pertama, keyakinan terhadap keesaan Allah (Unity of Godhead); Kedua, keyakinan atas penciptaan dari Sang Pencipta (Unity of Creation); Ketiga, keyakinan atas dasar-dasar kemanusiaan (Unity of Mankind); Keempat, keyakinan atas adanya pedoman hidup yang mengatur manusia (Unity of Guidance); Kelima, keyakinan atas tujuan hidup manusia sebagai umat muslim (Unity of The Purpose of Life).
Melalui Tauhid Sosial tersebut, umat Islam dituntut untuk mempraktikkan nilai-nilai Tauhid ke dalam realitas sosial secara benar. Seorang muslim tidak cukup hanya menjalankan tauhid dengan meyakini bahwa Allah itu esa, tetapi juga harus peka terhadap urusan kemanusiaan, sehingga muncul keseimbangan antara ibadah dan perilaku sosial. Hal inilah yang disebut sebagai amal shalih.
Satu hal lagi yang penting adalah bahwa tauhid menuntut seorang muslim untuk menerapkan fungsi keadilan, karena kepekaan terhadap hak-hak kemanusiaan mengharuskan adanya perilaku adil kepada Allah, sesama manusia, maupun kepada lingkungan sekitar. Saya yakin, pendekatan ‘tauhid sosial’ dapat menjadi alternatif spirit di tengah krisis multidimensional yang melanda bangsa ini.
Maka, pertanyaan yang patut dilontarkan saat ini adalah, sudahkah Tauhid kita jadikan manifesto perjuangan hidup kita? Mari menyongsong kebangkitan umat dengan Tauhid yang benar. Mari kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.
Wallahu a’lam bish shawwab.
*) Sebagian dari artikel ini pernah dimuat di Harian Banjarmasin Post, 19 Juni 2008 dengan judul “Mari Benahi Tauhid Kita”. Penulis memperkaya beberapa bagian dari artikel ini.)
Bahan Bacaan
Al-Qur’an Al-Karim.
Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama & Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi (Jakarta: Lentera, 2004).
Amien Rais. Demi Kepentingan Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
_________. Hubungan antara Politik dan Dakwah: Berguru kepada M. Natsir (Bandung: Mujahid Press, 2004).
Daud Rasyid. Islam dan Reformasi: Telaah Kritis atas Keruntuhan Rezim-Rezim Diktator dan Keharusan Kembali pada Syariah (Jakarta: Usamah Press, 2001).
Firdaus Syam. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).
Imam Nawawi. Arba’in An-Nawawiyah.
Mukti Ali. “Persepsi Buya Hamka: Ulama Sudah Lama Terjual” dalam Nasir Tamara., Buntaran Sanusi, dan Vincent Jauhari (eds.) Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983)
Syamsul Anwar, “Makna dan Konsep Islam secara Etimologis dan Terminologis”, dalam Dien Syamsuddin, et. al. Pemikiran Muhammadiyah: Respons terhadap Liberalisasi Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005).
Osman Ralliby. Ibn Chaldun tentang Masjarakat dan Negara (Jakarta: Bulan Bintang, 1963).
Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI UMY, 1992).
___________, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam” dalam Dien Syamsuddin, et. al. Pemikiran Muhammadiyah: Respons terhadap Liberalisasi Islam (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005).
Biro Travel Haji Plus dan Umrah terbesar di Indonesia menurut data maskapai penerbangan Garuda Indonesia, dan merupakan penyelenggara Haji Plus dan Umrah resmi dan legal yang didukung oleh tim yang sudah berpengalaman dalam memberikan pelayanan bagi jamaah haji plus maupun jamaah umrah. Sejak tahun 1990 telah memberangkatkan lebih dari 50,000 jamaah dari seluruh wilayah Indonesia, bergabunglah dan dapatkan solusi cerdas bagi yang berkeinginan menunaikan ibadah haji dan ibadah umrah dengan biaya murah dan bahkan gratis
BalasHapus