Minggu, 04 April 2010

Di Bawah Kuasa Neoliberal

Unfortunately, in Latin America, where the Washington Consensus had the greatest impact on policy, both of these expectations proved unfounded. Growth didn’t take off, and inequality rose instead of falling.” (Paul Krugman)

Hari-hari ini, kita disuguhi oleh sebuah drama tiada henti: para agen neoliberal di negeri ini seakan saling lempar kesalahan atas kerugian-kerugian negara. Balada Century, Freeport, atau skandal-skandal neoliberal lain menjadi sebuah penghangat di tengah harapan rakyat akan ‘angin’ kesejahteraan yang dibawa oleh pemerintahan baru.

Benar. Indonesia memang mulai menapak babak baru. Pasca-pelantikan SBY-Boediono, Indonesia mulai looking forward menatap awal dari kerja lima tahunan yang cukup panjang, melelahkan, dan penuh kontroversi. Dengan komposisi kabinet dan pembagian kekuasaan yang cukup rumit antara SBY dan partai pendukung koalisi, kerja pun dimulai dan arah bangsa mulai ditentukan.

Akan tetapi, jangan lupa. Virus neoliberalisme masih mengancam kita. Oligarkhi kompleks antara negara, pebisnis, media, atau entitas lain yang disebut oleh John Perkins sebagai “korporatokrasi”, atau, meminjam istilah David Brown sebagai “patrimonial state”, masih membayangi Rakyat Indonesia.

Garis kebijakan yang sangat klientelistik, dengan hubungan-hubungan kompleks antara entitas tersebut menegaskan borjuasi baru. Kaum miskin yang marjinal, sekali lagi, tak mendapatkan porsi selain mengharapkan “efek menetes” dari pertumbuhan ekonomi yang sampai sekarang tak kunjung datang.

Francis Wahono dan Ignatius Wibowo (2003) memotret neoliberalisme sebagai sebuah “reinkarnasi” dari kapitalisme dalam topengnya yang lebih radikal: peran negara tidak hanya dikerdilkan, tetapi juga dikooptasi untuk kepentingan-kepentingan kapital.

Neoliberalisme sangat erat kaitannya dengan disparitas yang semakin tajam antara negara maju dan negara berkembang. Hal inilah yang dikritik oleh Joseph Stiglitz sebagai “pasar dengan informasi yang tak sempurna” karena neoliberalisme dikuasai oleh oligarkhi-oligarkhi tertentu yang kompleks.

Dalam buku yang lain, Noreena Hertz membayangkan Bhutan, sebagai sebuah “benteng” pertahanan terakhir nilai-nilai lokal, yang diambil dari kearifan dan kebersahajaan budaya di negara tersebut, akhirnya secara perlahan mulai tergerus oleh efek globalisasi. Indonesia, dengan pertahanan yang minim terhadap arus neoliberalisme, menghadapi bahaya yang sama.

The Washington Consensus

John Williamson (1990) memperkenalkan istilah “The Washington Consensus” untuk membayangkan sebuah resep yang sarat dengan nilai dan gagasan neoliberal. 10 resep yang dikritik oleh Joseph Stiglitz dan Narcis Sierra (2008) tersebut ternyata masih eksis di Indonesia.

The Washington Consensus (Konsensus Washington) merupakan sebuah pola kebijakan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang bermarkas di Washington DC, USA, seperti IMF, World Bank, atau US Department of Treasury. Pola ini secara sistematis telah membawa arus perubahan dalam tata ekonomi politik internasional melalui sepuluh agenda dengan tiga ikon utamanya, yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Pendekatan yang dibawa oleh Washington Consensus pada dasarnya sangat institusionalistik. IMF dan kawan-kawannya melihat perlunya reformasi kelembagaan, penegakan supremasi hukum, serta stabilitas politik sebagai prasyarat penanganan krisis. Akan tetapi, ada satu hal penting yang menjadi perdebatan: Peran negara harus dikurangi seradikal mungkin, dan pasar dibuka lebar-lebar.

Namun, tetap saja ada kontradiksi. The Washington Consensus cukup menarik untuk diulas karena kontradiksi yang dihasilkannya ketika dunia menghadapi krisis keuangan global yang menyebabkan ambruknya perusahaan finansial raksasa di Jerman dan AS.

Dengan adanya krisis finansial global, banyak negara besar –terutama AS yang dulu begitu ketat menjalankan liberalisme—harus melakukan intervensi pasar dengan memberikan stimulus kepada perusahaan-perusahaan besar demi menyelamatkan pasar modalnya.

Asumsi mengenai kuatnya perekonomian ketika tak dapat lagi dipertahankan ketika Amerika Serikat menghadapi krisis keuangan terburuk selama 70 tahun terakhir. Ambruknya beberapa perusahaan finansial raksasa menyebabkan pemerintah AS harus mengambil langkah strategis dengan melakukan bailout kepada perusahan-perusahaan penting, kendati hal ini menyalahi prinsip kapitalisme.

Jelas, peran negara masih ada di negara-negara maju tersebut. Lantas, dengan resep-resep Washington Consensus yang masih membayang di benak para pemutus kebijakan, dapatkah bangsa kita mengelak dari arus neoliberalisme yang ortodoks?

Neoliberalisme bukan semata persoalan ekonomi. Muatan politis, sosial, bahkan budaya akan turut terpengaruh dengan adanya arus-arus neoliberalisme di Indonesia. Mengutip istilah Paul Krugman (2008), bahwa proses liberalisasi tidak lantas diikuti oleh pertumbuhan ekonomi di semua negara.

Justru, liberalisasi hanya menghasilkan inequality dan disparitas yang mengharuskan adanya redistribusi. Sugiono (1999), justru menyebut bahwa “negara-pasar”, negara yang menihilkan peran pemerintah dan mengedepankan peran pasar di semua sektor ekonomi, hanyalah sebuah gagasan: konsepsi pasar ternyata diterjemahkan secara berbeda di banyak negara.

Maka, tahun 2009 dan lima tahun ke depan akan menjadi sebuah penentuan besar bagi Indonesia: Akankah bandit-bandit neoliberal ini dapat meneguhkan eksistensinya? Let us just wait and see.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar