Minggu, 11 April 2010

Mengenang Jejak Tan Malaka

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

Banjarmasin Post (12/9) memberitakan bahwa sebuah makam yang diduga sebagai makam pahlawan nasional, Tan Malaka, ditemukan di Kediri, Jawa Timur. Proses penggalian masih dilakukan. Kalangan intelektual menantikan kebenaran mengenai makam Tan Malaka, pahlawan yang dikabarkan gugur ketika era revolusi 1945-1949.

Siapakah Tan Malaka? Dalam diskursus politik Indonesia, Tan Malaka yang bernama lengkap Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka memang jarang disebut-sebut, terutama ketika Soeharto berkuasa. Nama Tan Malaka, karena basis pemikirannya yang Marxis, sering diidentikkan dengan “Komuinisme”, padahal beliau sendiri tercatat sebagai pendiri Partai Murba yang berlawanan dengan Partai Komunis Indonesia dalam banyak aspek. Sehingga, peran kesejarahan Tan Malaka pun secara politis dikerdilkan.

Namun, pasca-kejatuhan Soeharto, nama Tan Malaka mencuat sebagai salah satu “Bapak Bangsa” yang perannya tak kalah penting dibanding Soekarno atau Hatta. Salah seorang Indonesianis yang akhir-akhir ini menulis tentang sejarah Indonesia, Harry Poeze, mengangkat Tan Malaka sebagai disertasinya yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Begitu pula dengan produk-produk intelektual beliau, seperti Madilog (1943) yang populer juga kembali dianggap penting dalam diskursus politik Indonesia. Atau, Naar de Repoeblik Indonesia (1925) dan Gerilya-Politik-Ekonomi (1948).

Tan Malaka sendiri lahir pada 2 Juni 1896 di Nagari Pandang Gadang, Suliki. Beliau lahir ketika era gerakan kebangkitan dimunculkan, dan pemikiran Marxisme mulai masuk ke Indonesia. Friksi politik kolonial membentuk pemikiran kritisnya.

Pada tahun 1921, Tan Malaka bersama Semaun, Alimin, dan beberapa aktivis kiri mulai terjun ke kancah politik praktis. Mereka mulai dari Sarekat Islam, kemudian turut mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menegaskan garis Bolshevik-nya daripada ISDV. Pada tahun 1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) yang cenderung repoebliken, setelah PKI dibubarkan karena pemberontakan 1926.

Garis Republiken Tan Malaka sangat jelas. Konsepsinya tentang Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat telah lahir pada tahun 1925 dalam buku Naar de Repoeblik Indonesia, bahkan sebelum pemimpin lain berpikir untuk merdeka. Hal inilah yang menentukan garis perjuangan Tan Malaka (Asvi W. Adam, 2005).

Tak hanya itu, dalam bidang filsafat ilmu, Tan Malaka telah menghasilkan karya yang menjadi garis pandang para intelektual revolusioner, yaitu Madilog atau Materialisme, Dialektika, Logika. Buku Madilog ini menegaskan tradisi intelektual Marxian yang melekat pada logka berpikir Tan Malaka. Buku terakhirnya pada 1948 juga menjadi sebuah citraan revolusioner, yaitu Gerpolek atau Gerilya Politik-Ekonomi.

Peran Tan Malaka dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tak dapat dinafikan begitu saja. Pasca-kemerdekaan 1945, Tan Malaka mengambil garis revolusioner yang menentang keras kolonialisme Belanda dengan membentuk “Persatoean Perdjoeangan” yang menyatukan banyak organisasi sosial dan politik dalam satu garis perjuangan.

Faksi ini dibentuk oleh Tan Malaka sebagai respons atas sikap Sjahrir sebagai Perdana Menteri RI pada waktu ini yang begitu kompromistik terhadap Belanda. Pembentukan faksi ini, disertai dengan sikap oposisinya terhadap Sjahrir yang sosial-demokrat, sangat jelas menggambarkan karakter Tan Malaka yang “kiri-nasionalis”.

Sikap oposisi ini bukannya tanpa hasil. Rusjdi Hamka (1981) mencatat ketika menulis biografi Buya Prof. Dr. Hamka, bahwa ketika era revolusi kemerdekaan, pidato-pidato Tan Malaka sangat dinantikan oleh para pejuang, termasuk oleh Hamka. Sikapnya yang nasionalis ini pula yang menyebabkan Soekarno bahkan menganggapnya sebagai mentor secara pemikiran (Asvi W. Adam, 2005).

Karakter pemikiran Tan Malaka memang banyak dibentuk oleh Tradisi intelektual Marxian. Buku Madilog mencermikan hal tersebut. Dalam Madilog, Tan Malaka menggunakan logika Marxian untuk mengkritik logika dialektika Hegelian yang, walau dianggapnya revolusioner terhadap borjuasi, tetapi kontra-revolusioner dengan kepentingan proletar (h. 20). Ia sendiri menggunakan “materialisme” sebagai penegas.

Hal inilah yang ia manifestasikan dalam pola perjuangannya di Indonesia. Posisi Tan Malaka di Komintern menyebabkan Tan Malaka begitu ekletik bergaul dengan aktivis kiri Internasional. Dalam perjuangannya pun, Tan Malaka tidak mengambil jalan elitis. Tan Malaka lebih suka hidup bergerilya bersama rakyat, hingga akhirnya meninggal dunia secara misterius pada tahun 1949, pasca-perjanjian Renville.

Sehingga, dengan peran kesejarahan yang begitu penting ini, pantaskah kita melupakan kontribusi Tan Malaka terhadap kemerdekaan kita?

Terkadang, kepentingan politik membuat kita melupakan sikap proporsional dalam bersikap. Ketika Soeharto berkuasa, politik anti-komunis kemudian Indonesia pada proses manipulasi sejarah secara terorganisir. Peran Tan Malaka dianggap tidak signifikan, bahkan tidak disebut-sebut dalam buku teks sejarah di sekolah menengah.

Pada titik ini, kita patut mengenang kembali jasa-jasa Tan Malaka kepada bangsa dan negara Indonesia. Karena, tanpa kerja keras dan sumbangan pemikirannya, Indonesia takkan menemukan jati diri nation-state yang kini dimilikinya. Kita perlu bersikap proporsional dalam memandang peran kesejarahan Tan Malaka.

Jika kita kaitkan dengan konteks sekarang, misteri makam Tan Malaka di Kediri jangan sampai terlupakan begitu saja. Sebagai seorang pahlawan, sangat wajar jika Tan Malaka kemudian mendapatkan pengakuan yang semestinya sebagai seorang pahlawan.

Mungkin, tak semua orang sepakat dengan Tan Malaka, baik ide maupun perjuangan. Tetapi, sebagai “Pendiri Bangsa”, kita patut menghormatinya. Mari mengenang kembali jejak perjuangan seorang Tan Malaka.

*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar