Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Genderang Pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan sepertinya telah ditabuh. Hiruk-pikuk pilkada telah dimulai dengan gerilya sejumlah calon gubernur ke beberapa partai politik untuk melanggengkan posisinya sebagai DA-1 selama lima tahun ke depan.
Gemerlap Dana Kampanye
Dari amatan penulis di Yogyakarta, ada beberapa kandidat yang secara terang-terangan mendeklarasikan dirinya sebagai calon “Sultan Banjar”. Gubernur Rudy Ariffin, misalnya, dalam silaturrahminya dengan tokoh masyarakat banjar di Yogyakarta beberapa waktu lalu telah secara eksplisit menyampaikan keputusannya untuk maju sebagai calon gubernur. Begitu pula dengan Bupati Tanah Bumbu, dr. Zairullah Azhar yang memasang iklan politik di sebuah stasiun TV Swasta nasional.
Uniknya, genderang pilkada tahun ini diwarnai oleh gemerlapnya media untuk memperkenalkan calon di masyarakat, bahkan jauh sebelum Pilkada secara resmi dimulai. Baik dalam bentuk spanduk, baliho, ataupun iklan, secara eksplisit maupun implisit, para kandidat memperkenalkan diri di masyarakat Kalimantan Selatan. Sehingga, pilkada tahun ini diwarnai oleh keunikan dari calon-calon yang secara gigih mempersiapkan pencalonannya sebelum masa kampanye dibuka.
Partai politik pun tidak ketinggalan. Begitu pentingnya masa pilkada ini direspons oleh beberapa partai politik dengan membuka “lowongan” pencalonan di surat-surat kabar lokal. Ada pula partai politik yang secara terbuka mempublikasikan mekanisme internal partai mereka dalam memilih calon gubernur, sehingga masyarakat mengetahui perkembangan politik lokal, tak terkecuali mahasiswa yang menuntut ilmu di luar Kalsel.
Dengan demikian, pemilihan kepala daerah, di satu sisi, telah menjadi sebuah pesta demokrasi lokal bagi masyarakat Kalimantan Selatan. Kendati masih didominasi oleh elit-elit lama, nuansa Pilkada tahun ini terlihat lebih semarak dari tahun-tahun sebelumnya, juga dari uang yang digelontorkan untuk kampanye. Persoalannya, apakah pilkada tahun ini juga akan dinodai oleh perselingkuhan kandidat dengan elemen-elemen borjuasi yang selama ini bermain dalam jangkar oligarki politik lokal?
Mengkritisi Borjuasi Lokal
Berangkat dari asumsi di atas, ada tiga hal menarik yang patut kita soroti pada Pilkada Kalsel tahun ini.
Pertama, pemilihan kepala daerah tahun ini, ditinjau dari persiapan masing-masing kandidat, memerlukan dana yang tidak sedikit. Untuk memuat iklan politik di media massa, atau memasang baliho di sudut kota saja, misalnya, diperlukan dana puluhan juta rupiah. Hal ini tentu saja belum meliputi keperluan kampanye lain yang mungkin akan diperlukan di lain waktu.
Dengan demikian, pentas pilkada juga telah berubah menjadi ajang pemborosan. Di satu sisi, para kandidat yang memiliki banyak modal menggelontorkan dana hanya untuk memasukkan namanya di kursi kekuasaan. Di sisi lain, hal ini sangat kontradiktif dengan persoalan kemiskinan, jalan yang rusak, atau kenaikan harga yang dialami oleh masyarakat miskin yang marjinal. Lantas, apakah fenomena seperti ini tidak dapat disebut sebagai disparitas antarkelas sosial secara luar biasa? Di mana tanggung jawab para kandidat untuk
Kedua, jika pendapat pertama tersebut diurai dalam konteks yang lebih luas, akan muncul sebuah pertanyaan: dari mana datangnya uang untuk membiayai proses kampanye dan sosialisasi tersebut? Atau, siapa yang mendanai kampanye dan sosialisasi para cagub dan cawagub tersebut? Tentu saja, gaji seorang bupati dan gubernur tidak akan mungkin sanggup membiayai kampanye, sehingga jelas ada keterkaitan kandidat dengan penyandang-penyandang dana, entah dari kalangan pengusaha, usaha fundraising, atau donasi-donasi.
Dalam konteks ini, sebetulnya perlu transparansi dari calon gubernur. Jangan sampai, seorang calon gubernur menggunakan dana yang bersumber dari sebuah usaha yang tidak jelas, atau justru kontraproduktif dengan visi dan misi yang dibawanya.
Ketiga, fenomena gemerlapnya dana kampanye pilkada tahun ini patut diwaspadai sebagai kemunculan borjuasi lokal yang rentan menjalin oligarki dengan pemerintah daerah pasca-pilkada. Kita patut mencurigai besarnya aliran dana yang berasal dari pemilik modal besar yang beroperasi di Kalimantan Selatan. Sumber dana dari hasil tambang, logging, atau pengerukan sumber daya alam adalah sumber dana “syubhat” dan harus dihindari oleh para kandidat. Persoalan ini adalah kepentingan bisnis yang rentan menodai kiprah politik sang Gubernur dalam lima tahun ke depan.
Inilah borjuasi. Dalam pendekatan ekonomi-politik,konstruksi ini harus dihindari agar pentas demokrasi lokal tidak dinodai oleh antagonism kelas dan disparitas yang kontraproduktif dengan alam demokrasi. Hiariej (2005) telah membuktikan bahwa borjuasi membuat kontradiksi internal dalam ekonomi-politik Orde Baru. Sehingga, menjadi penting bagi masyarakat sipil di ranah lokal untuk menggunakan perspektif yang kritis dalam mewaspadai bahaya laten ini.
Mengawal Pilkada
Pemilihan Kepala Daerah memang bukan sekadar kontestasi elit, tetapi juga pergumulan kepentingan masyarakat yang mendambakan kenyamanan hidup sebagai warga Kalimantan Selatan. Apapun hasilnya dan siapapun pemenangnya, harapan masyarakat Kalsel pada dasarnya takkan jauh berbeda: sejahterakan banua tercinta.
Maka, jangan sampai bahaya borjuasi lokal menyusupi euforia demokrasi lokal dan membuat jangkar oligarki baru denga sang Gubernur terpilih. Sudah saatnya para mahasiswa mengawal hal ini, untuk masa depan Kalsel yang lebih baik. Waspadai elit borjuis, selamatkan kepentingan rakyat.
*) Mahasiswa Fisipol UGM asal Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar