Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Lagi-lagi, demonstrasi disoroti tajam. Tidak tanggung-tanggung, kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkeluh kesah mengenai demonstrasi yang terjadi pada 28 Januari lalu. Beliau menginginkan adanya demonstrasi yang “beradab” dan mengedepankan etika, apalagi ketika berbicara mengenai “simbol-simbol negara”.
Menghadapi Dilema
Di negeri yang demokratis, sebenarnya tidak ada yang salah dengan demonstrasi. Etis ataupun tidak, katup-katup kebebasan yang dibuka oleh negara bagi elemen-elemen masyarakat telah menyebabkan marakya demonstrasi yang dilakukan pada momen-momen tertentu. Inilah yang terjadi di Indonesia pasca-reformasi 1998.
Di negara dengan tingkat demokrasi yang kuat seperti Amerika pun, demonstrasi masih sering terjadi. Kita mungkin masih ingat, misalnya, kegagalan Amerika Serikat dalam menyudahi perang Vietnam pada era 1970-an telah mengakibatkan gelombang demonstrasi yang begitu luar biasa, hingga mengakibatkan hilangnya legitimasi seorang Presiden Lyndon B. Johnson dalam Pemilu.
Sehingga, demonstrasi sebenarnya bukan hal yang tabu dalam demokrasi. Persoalannya, dalam konteks Indonesia, munculnya respons negara terhadap aksi demonstrasi memperlihatkan upaya untuk meniadakan suara rakyat yang tak tersampaikan, serta mereduksi demokrasi menjadi aktivitas segelintir elit.
Setidaknya, ada dua hal yang menjadi penyebab maraknya tren demonstrasi di Indonesia selama satu dekade tarakhir.
Pertama, terciptanya disparitas dalam struktur sosial. Proses demokratisasi hanya menjadi alat bagi borjuasi untuk meneguhkan eksistensi kapital yang ia miliki. Kesan yang dimunculkan dalam praktik “demokrasi borjuis” ini adalah bahwa operasionalisasi demokrasi memerlukan uang yang cukup besar, sehingga hanya kelas pemilik modal yang mendominasi proses-proses demokrasi.
Dengan logika tersebut, kelas-kelas sosial menjadi semakin nyata. Demokrasi prosedural didominasi oleh kelompok yang memiliki modal dan akses kekuasaan, sementara masyarakat miskin, kaum petani, dan kaum pekerja yang tidak memiliki apa-apa menjadi terpinggirkan. Sehingga, demonstrasi menjadi alat untuk melakukan transformasi sosial bagi masyarakat kelas bawah yang termarjinalkan.
Kedua, kurangnya ruang publik yang memungkinkan adanya komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Sebagaimana dipotret oleh F. Budi Hardiman, demokrasi mensyaratkan adanya pemanfaatan ruang publik dan kanal-kanal komunikasi oleh pemerintah untuk melakukan tindakan komunikatif terhadap. Inilah yang ia sebut sebagai demokrasi yang deliberatif (Hardiman, 2009).
Kurangnya ruang publik tersebut berimplikasi pada kurangnya wadah untuk menyalurkan aspirasi. Ketika proses-proses politik telah didominasi oleh elit-elit yang terkurung oleh ambisi kekuasaan, demonstrasi menjadi sebuah alternatif untuk menyuarakan kehendak publik. Bagi rakyat yang termarjinalkan, tidak ada jalan lain untuk mengubah keadaan selain turun ke jalan dan berdemonstrasi.
Refleksi bagi Mahasiswa
Lantas, bagaimana posisi mahasiswa Indonesia dalam berdemonstrasi?
Demonstrasi mahasiswa tentu bukan model demonstrasi yang anarkis, tanpa basis pemahaman yang logis, atau emosional. Ketika berdemonstrasi, spirit yang dibawa oleh mahasiswa bukan sebagai alat untuk “menjatuhkan” pemerintahan tanpa argumentasi yang jelas, tetapi sebagai sebuah proses intelektual yang kreatif dan konstruktif untuk membangun kerangka Indonesia baru yang lebih baik. Di sinilah posisi mahasiswa sebagai sebuah gerakan ditempatkan.
Penulis percaya, gerakan mahasiswa pada hakikatnya adalah gerakan intelektual. Mahasiswa saat ini akan memainkan kunci prestasi bangsa di masa depan. Fakta sejarah bercerita pada kita bahwa aktivis mahasiswa era 1990-an seperti Anies Baswedan (UGM), Chandra Hamzah dan Zulkieflimansyah (UI), atau Anas Urbaningrum (Unair) telah menjadi aktor yang signifikan dalam pentas politik Indonesia saat ini.
Dengan demikian, demonstrasi mahasiswa saat ini pun harus didasarkan atas sebuah komitmen untuk membentuk kerangka masa depan bangsa di tahun-tahun ke depan. Sebuah demonstrasi yang dilakukan harus didasarkan pada tradisi intelektual dan semangat untuk memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas oleh struktur politik dan ekonomi neoliberal yang mencengkeram bangsa.
Sudah saatnya demonstrasi didasarkan atas bangunan konsep yang komprehensif. Tradisi intelektual mahasiswa, seperti membaca, menulis, riset, dan diskusi perlu disemai kembali sebelum melakukan demonstrasi. Persoalan demonstrasi bukan sekadar menyuarakan tuntutan mahasiswa, tetapi juga menjadi arena pertarungan gagasan dan wacana untuk membangun strategi gerakan ke depan.
Inilah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh mahasiswa saat ini. Demonstrasi bukan hal yang diharamkan, tetapi perlu dibangun dengan semangat untuk membangun agenda dan wacana ke depan. Penulis percaya, masa depan bangsa ini adalah masa depan mahasiswa saat ini.
*) Alumnus SMAN 1 Banjarmasin
Lagi-lagi, demonstrasi disoroti tajam. Tidak tanggung-tanggung, kali ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkeluh kesah mengenai demonstrasi yang terjadi pada 28 Januari lalu. Beliau menginginkan adanya demonstrasi yang “beradab” dan mengedepankan etika, apalagi ketika berbicara mengenai “simbol-simbol negara”.
Menghadapi Dilema
Di negeri yang demokratis, sebenarnya tidak ada yang salah dengan demonstrasi. Etis ataupun tidak, katup-katup kebebasan yang dibuka oleh negara bagi elemen-elemen masyarakat telah menyebabkan marakya demonstrasi yang dilakukan pada momen-momen tertentu. Inilah yang terjadi di Indonesia pasca-reformasi 1998.
Di negara dengan tingkat demokrasi yang kuat seperti Amerika pun, demonstrasi masih sering terjadi. Kita mungkin masih ingat, misalnya, kegagalan Amerika Serikat dalam menyudahi perang Vietnam pada era 1970-an telah mengakibatkan gelombang demonstrasi yang begitu luar biasa, hingga mengakibatkan hilangnya legitimasi seorang Presiden Lyndon B. Johnson dalam Pemilu.
Sehingga, demonstrasi sebenarnya bukan hal yang tabu dalam demokrasi. Persoalannya, dalam konteks Indonesia, munculnya respons negara terhadap aksi demonstrasi memperlihatkan upaya untuk meniadakan suara rakyat yang tak tersampaikan, serta mereduksi demokrasi menjadi aktivitas segelintir elit.
Setidaknya, ada dua hal yang menjadi penyebab maraknya tren demonstrasi di Indonesia selama satu dekade tarakhir.
Pertama, terciptanya disparitas dalam struktur sosial. Proses demokratisasi hanya menjadi alat bagi borjuasi untuk meneguhkan eksistensi kapital yang ia miliki. Kesan yang dimunculkan dalam praktik “demokrasi borjuis” ini adalah bahwa operasionalisasi demokrasi memerlukan uang yang cukup besar, sehingga hanya kelas pemilik modal yang mendominasi proses-proses demokrasi.
Dengan logika tersebut, kelas-kelas sosial menjadi semakin nyata. Demokrasi prosedural didominasi oleh kelompok yang memiliki modal dan akses kekuasaan, sementara masyarakat miskin, kaum petani, dan kaum pekerja yang tidak memiliki apa-apa menjadi terpinggirkan. Sehingga, demonstrasi menjadi alat untuk melakukan transformasi sosial bagi masyarakat kelas bawah yang termarjinalkan.
Kedua, kurangnya ruang publik yang memungkinkan adanya komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Sebagaimana dipotret oleh F. Budi Hardiman, demokrasi mensyaratkan adanya pemanfaatan ruang publik dan kanal-kanal komunikasi oleh pemerintah untuk melakukan tindakan komunikatif terhadap. Inilah yang ia sebut sebagai demokrasi yang deliberatif (Hardiman, 2009).
Kurangnya ruang publik tersebut berimplikasi pada kurangnya wadah untuk menyalurkan aspirasi. Ketika proses-proses politik telah didominasi oleh elit-elit yang terkurung oleh ambisi kekuasaan, demonstrasi menjadi sebuah alternatif untuk menyuarakan kehendak publik. Bagi rakyat yang termarjinalkan, tidak ada jalan lain untuk mengubah keadaan selain turun ke jalan dan berdemonstrasi.
Refleksi bagi Mahasiswa
Lantas, bagaimana posisi mahasiswa Indonesia dalam berdemonstrasi?
Demonstrasi mahasiswa tentu bukan model demonstrasi yang anarkis, tanpa basis pemahaman yang logis, atau emosional. Ketika berdemonstrasi, spirit yang dibawa oleh mahasiswa bukan sebagai alat untuk “menjatuhkan” pemerintahan tanpa argumentasi yang jelas, tetapi sebagai sebuah proses intelektual yang kreatif dan konstruktif untuk membangun kerangka Indonesia baru yang lebih baik. Di sinilah posisi mahasiswa sebagai sebuah gerakan ditempatkan.
Penulis percaya, gerakan mahasiswa pada hakikatnya adalah gerakan intelektual. Mahasiswa saat ini akan memainkan kunci prestasi bangsa di masa depan. Fakta sejarah bercerita pada kita bahwa aktivis mahasiswa era 1990-an seperti Anies Baswedan (UGM), Chandra Hamzah dan Zulkieflimansyah (UI), atau Anas Urbaningrum (Unair) telah menjadi aktor yang signifikan dalam pentas politik Indonesia saat ini.
Dengan demikian, demonstrasi mahasiswa saat ini pun harus didasarkan atas sebuah komitmen untuk membentuk kerangka masa depan bangsa di tahun-tahun ke depan. Sebuah demonstrasi yang dilakukan harus didasarkan pada tradisi intelektual dan semangat untuk memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas oleh struktur politik dan ekonomi neoliberal yang mencengkeram bangsa.
Sudah saatnya demonstrasi didasarkan atas bangunan konsep yang komprehensif. Tradisi intelektual mahasiswa, seperti membaca, menulis, riset, dan diskusi perlu disemai kembali sebelum melakukan demonstrasi. Persoalan demonstrasi bukan sekadar menyuarakan tuntutan mahasiswa, tetapi juga menjadi arena pertarungan gagasan dan wacana untuk membangun strategi gerakan ke depan.
Inilah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh mahasiswa saat ini. Demonstrasi bukan hal yang diharamkan, tetapi perlu dibangun dengan semangat untuk membangun agenda dan wacana ke depan. Penulis percaya, masa depan bangsa ini adalah masa depan mahasiswa saat ini.
*) Alumnus SMAN 1 Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar