Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
***BERBICARA soal politik, berarti berbicara pula soal kekuasaan. Tanpa kekuasaan, susah membayangkan aktivitas politik dilakukan. Meski diselubungi atas nama ideologi atau bahkan dalil agama sekalipun, tak dapat dipungkiri bahwa orientasi seorang praktisi politik adalah bagaimana kekuasaan atas sumber daya publik itu didapatkan. Agaknya, tampilan ini yang mengakibatkan munculnya stigma masyarakat awam bahwa "politik itu kotor", "politik itu busuk", dan lain sejenisnya.
Tentu saja, tidak semua stigma tersebut benar. Persoalan apakah poltik itu kotor, busuk, atau sejenisnya akan sangat ditentukan oleh nilai yang digunakan untuk mendapatkan dan mengelola kekuasaan. Sebab itu, bahasan mengenai etika dalam politik akan sangat penting. Etika tidak hanya digunakan dalam soal interasi antar-aktor, tetapi juga dalam cara-cara mendapatkan kekuasaan, serta tindakan dalam mengelola kekuasaan tersebut.
Sehingga, batasan mengenai formasi etis dalam politik perlu kembali dikaji dalam perilaku politik. Di sini, penulis hanya akan membahas salah satu dimensi etis, yaitu kejujuran. Jujur bukan hanya dalam soal berkata benar, tetapi juga berpikir dan bertindak adil: tanpa rekayasa, tanpa tipu daya, tanpa dusta di antara kita
****
Problem membaca moralitas dalam politik memang beragam. Kaum skeptis moral, seperti diwakili oleh Hobbes atau Macchiaveli, mendefinisikan moral dalam level yang sangat subjektif. Moral adalah perilaku individu yang diejawantahkan. Thesis Hobbes menyatakan bahwa kondisi manusia pada asalnya adalah kondisi tanpa aturan, tanpa keadilan, tanpa rasionalitas. Ia menyebutnya sebagai “state of nature”. . Oleh karena itu, yang terpenting dalam berpolitik adalah aturan yang rigid, bukan soal etika.
Sementara itu, menurut Macchiavelli, moral dan politik tidak beriringan. Manusia harus menampakkan dua karakternya, yaitu karakter "penguasa" dan karakter "serigala". Dalam politik, pemimpin harus bersikap tegas dan keras. Ia baru bersifat adil dan lemah lembut ketika kekuasaan tersebut telah didapatkan, sehingga dengan demikian ia dapat mengayomi rakyatnya. Pendeknya, Macchiavelli memisahkan etika dan kekuasaan. Ini yang menjadi ciri khas kaum skeptis moral.
Berseberangan dengan mereka, ada kaum moralis. Pemikir seperti Kant atau, di era yang lebih kekinian, John Rawls, percaya dengan sebuah standar nilai yang universal. Mereka satu frame dengan pemikir klasik seperti Aristoteles yang menganggap politik sebagai perluasan dari dimensi etika. Menurut Kant, misalnya, ketaatan pada nilai-nilai universal yang sahih dan diterima secara umum, akan membuat sebuah tindakan dideterminasi oleh hukum-hukum moral tersebut. Tindakan moral akan ditaati karena ia diterima secara umum dan sahih secara universal.
Begitu pula dalam konteks politik. Kant percaya pada sebuah nilai universal dalam berpolitik. Diktum-diktum yang sahih secara universal dan diterima secara umum mesti diaplikasikan dalam tindakan politik. Maka dari itu, tindakan mendapatkan kekuasaan juga harus adil dan sesuai kaidah moral.
Tetapi, ternyata bukan Kant saja yang berkata demikian. Pemikir yang menderivasikan pemikiran politiknya pada ajaran agama juga berpendapat demikian: Ada nilai universal yang men-drive aktivitas politik. Menurut Ibnu Taimiyyah atau Al-Mawardi, misalnya, tindakan politik mesti legitimate dari nash. Oleh karena itulah ada kaidah-kaidah syar'i yang mesti dipenuhi dalam aktivitas politik. Ini yang menyebabkan perspektif politik dalam Islam memiliki dimensi moral yang sangat kuat. Begitu pula dengan Kant yang terkenal relijius sebagai penganut Kristen.
****
Bagaimana menempatkan posisi etika dalam politik, yang diderivasikan dari basis moral di atas? Penulis ingin sedikit mengkritisi perilaku politik dalam dimensi moralis, seperti banyak dilakukan oleh praktisi politik dengan latar belakang keagamaan yang sangat kuat.
Harus diakui, kancah demokrasi liberal cenderung sulit menampilkan perilaku politik yang etis. Bahkan, kesulitan menegaskan etika tersebut juga terjadi dalam internal kelompok kepentingan. Perilaku politik yang saat ini banyak terlihat adalah kecenderungan untuk mengondisikan medan pertarungan politik dalam kerangka seting. Praksis politik direkayasa sehingga semua kondisi yang memudahkan langkah mendapatkan kekuasaan tercapai. Tujuannya tak dapat dipungkiri lagi, untuk mendapatkan kekuasaan.Yang menjadi problematis, rekayasa tersebut menggunakan modal dan dimensi kekuasaan. Ini yang membuat kompetisi kadang menjadi tidak fair.
Ada beberapa contoh konkret dari tindakan ini. Misalnya, kampanye incumbent dengan menggunakan fasilitas dan jaringan dari aktivitasnya sebagai kepala daerah. Atau, upaya untuk mempertahankan kekuasaan dengan wajah baru dengan membuat rekayasa bahwa rejim politik harus diganti, tetapi dengan mengorbankan salah satu pihak dan memberikan wajah baru yang notabene adalah bagian dari rejim lama. Kasus lain, melakukan kampanye dengan jalan manipulasi persepsi publik dengan pencitraan berlebihan. Kata kuncinya terletak pada manipulasi pikiran publik dan rekayasa kondisi sehingga publik memilih sang calon. Fenomena seperti ini kiranya jamak dalam kancah demokrasi liberal.
Mengapa penggunaan kuasa dalam rekayasa politik itu problematis? Pertama, hal tersebut membuat kompetisi menjadi tidak fair. Sumber daya publik yang seharusnya berada dalam posisi netral, dimanipulasi untuk kepentingan kelompok tertentu, justru menjadi alat mengalahkan kelompok lain dan merebut kekuasaan publik. Dari aspek etika, ini tidak sah.
Kedua, hal tersebut mengimplikasikan adanya hegemoni yang dirancang. Kekuasaan tidak lagi dikelola sebagai sumber daya yang dikelola bersama dengan menggunakan konsensus, tetapi justru menjadi alat untuk meneguhkan hegemoni kelompok tertentu. Meminjam istilah Lord Acton, kekuasaan itu cenderung korup. Akan tetapi, akan jelas sebagai praktik korupsi manakala kekuasaan itu dipupuk secara absolut. Hegemoni tidak hanya dipandang sebagai "kelompok yang sama" yang mengontrol sumber daya publik, tetapi juga patut dilihat secara kritis pada "wacana" yang dibawa. Ini yang tidak sehat dan tidak etis dalam politik.
Sebenarnya, dalam politik rekayasa apapun dalam berpolitik itu sah. Tidak ada aturan yang melarang rekayasa. Tetapi, ketika rekayasa digunakan dengan meniadakan aspek etika dan menggunakan modal kekuasaan yang didapat sebelumnya, rekayasa tersebut membuat politik menjadi stigmatif dengan kekotoran. Praktik politik seperti itulah yang sangat patut dikritik karena meniadakan etika.
Selain itu, rekayasa dalam politik yang dikonstruksi secara berlebihan juga berbenturan dengan nilai kejujuran dalam politik. Proses politik menjadi tak lebih dari sekadar manipulasi kesadaran publik dengan citra dan seting semu yang sebenarnya hanya diarahkan agar bagaimana orang bisa memilih. Tak ada proses pendidikan politik dalam hal ini. Padahal, dalam kerangka berpikir yang substantif, politik bukan hanya soal "mendapatkan kue kekuasaan", tetapi juga mengajarkan egalitarianisme, fairness, dan elemen-elemen etis lain kepada publik. Politik juga berbicara mengenai ekspresi dari keyakinan mengenai kebenaran yang dianut. Rekayasa politik yang berlebihan mereduksi dan menggerus dimensi etika tersebut.
Tentu, bagi mereka yang skeptis terhadap moral hal-hal tersebut akan terpinggirkan. Tetapi, bagaimana dengan mereka yang sangat percaya dengan adanya sebuah nilai universal, atau dalam konteks nyata, kelompok-kelompok berbasis agama? Kejujuran tak dapat dipungkiri adalah nilai universal yang mendapatkan porsi dalam semua aktivitas keagamaan. Al-Qur'an telah memberikan sinyalemen "Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan" (Q. S. Ash-Shaff: 3). Tindakan politik yang penuh rekayasa dengan menggunakan kekuasaan politik mengindikasikan perbuatan yang menyelisihi nilai kejujuran. Akibatnya, argumentasi menjadi penuh tendensi dan kepentingan politik.
****
Lantas, bagaimana persoalan rekayasa politik dengan menggunakan kuasa-kuasa tertentu ini dipandang dalam perspektif yang berseberangan, alias dalam skeptis moral? Jelas, penggunaan kuasa dalam hal ini dipandang sah dan benar dalam perspektif skeptisme moral. Sebagaimana disampaikan Macchiavelli, politik dan etika itu terpisah.
Kuasa bisa saja digunakan untuk memperkuat hegemoni, atau bahkan dalam memanipulasi suara publik. Akan tetapi, ada dua hal yang harus diperhatikan jika pendekatan ini digunakan. Pertama, pengelolaan kekuasaan mesti dilakukan secara baik agar tidak menjadi absolutisme kekuasaan yang luar biasa. Kedua, tidak boleh munafik dengan berlindung pada dalil-dalil moral apapun untuk membenarkan aktivitasnya.
Posisi fairness dalam pandangan ini memang ditafsirkan secara berbeda. Jika standard moral yang digunakan itu universal, dalil-dalil pembenaran bisa saja dipakai sebagai argumentasi. Tetapi, jikan standard moralnya subjektif, dalil-dalil pembenaran yang sfatnya moral atau "agama" menjadi tidak relevan. Ini pure soal kepentingan politik praktis, dan harus diakui secara terang sebagai tindakan politik, untuk mendapatkan kekuasaan.
Pandangan skeptis moral, harus diakui menjadi referensi politik utama dewasa ini. Bahkan, kecenderungannya terasa pula pada partai-partai yang dikenal kuat basis keagamaannya. Jika dianalisis, tindakan politik beberapa elit partai yang terkenal relijius justru selaras dengan logika ini: subjektivasi moral dalam tindakan politik. Tentu saja ini sah asal tidak berlindung pada dalil dalil moral atau agama secara munafik.
*****
Untuk menutup tulisan ini, perlu ada satu hal yang perlu dikaji: bagaimana kita bersikap?
Praktik rekayasa dan manipulasi pikiran publik dengan jalan-jalan tertentu seperti citra atau "reorganising oligarchy" dengan wajah baru (mengutip Vedi R. Hadiz dan Richard Robison) dalam perspektif kosmopolitanisme atau moralis universal sangat problematis. Tentu saja, dalam logika pemikir politik yang serapan keagamaannya kuat, hal ini bertentangan dengan nilai "kejujura" dan fairness. Publik direkayasa opininya sehingga secara tidak sadar jatuh pada pilian yang sebenarnya telah dimanipulasi. Ini tentu problematis dalam basis etika.
Jika kondisi itu terjadi, mereka yang percaya dengan dominasi wacana moral tentu mesti segera sadar untuk merevitalisasi tujuan berpolitiknya. Pertanyaan "untuk apa berpolitik" dan "bagaimana mengelola kekuasaan secara etis" perlu kembali dilontarkan. Walau sudah menang selama puluhan tahun, hal-hal seperti ini harus dijaga agar tidak jatuh pada logika Lord Acton, power tends to corrupt but absolute power absolutely corrupts. Para politisi yang berpijak pada nilai-nilai keagamaan mesti mempetimbangkan hal ini.
Akan tetapi, jika anda menganut seorang skeptis moral, rekayasa tersebut sah. Yang perlu diperhatikan, tidak perlu mencari pembenaran dengan berselimut dalil-dalil moral universal, apalagi kitab suci. Cukup memandang hal ini sebagai tindakan pencarian kekuasaan an sich. Sehingga, kita tak perlu bersusah payah mencari jenis kelamin kelompok yang bersangkutan.
Sekali lagi, ini hanya analisis sederhana. Anda mau menjadi orang yang "jujur" atau "licik", semua berpulang pada diri anda. Semuanya sah dan punya dimensi pembenaran masing-masing, jika mau membuka literatur. Hanya satu yang mungkin bisa dipertimbangkan: berpolitiklah secara fair, tidak perlu munafik. Jangan ada dusta di antara kita, kawan!
Referensi
Al-Qur'an Al-Karim.
H B Acton. 2003. Kant's Moral Philosophy (translated by Muhammad Hardani). Surabaya: Eureka.
Thomas Hobbes. 1651. Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall.
Firdaus Syam. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideology dan Pengaruhnya terhadap Dunia Ke-3, Jakarta: Bumi Aksara.
Vedi R. Hadiz and Richard Robison. 2005. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market. London: RoutledgeCurzon.
*) Mahasiswa Fisipol UGM, Pegiat Lingkar Studi Bulaksumur, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar