Rabu, 12 Januari 2011

Merapi, Kemanusiaan dan Nirkekerasan

Awan panas Merapi tidak hanya memberikan sebuah bencana bagi warga Magelang, Sleman, dan Boyolali, tetapi juga membawa seuntai makna: Bencana menguatkan solidaritas sosial .

Semua kalangan dari berbagai etnis, agama, ataupun bangsa saling menolong mereka yang dalam kesulitan.

Bahkan, Merapi juga mengaburkan pandangan kekerasan. Bahwa sebenarnya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang penuh keadaban dengan saling tolong-menolong.

Artinya, kalau kita kaitkan dengan fenomena nir-kekerasan, aksi kemanusiaan yang universal akan melibas unsur-unsur kekerasan yang ada di masyarakat.

Ketika kekerasan merebak di mana-mana, persoalan bisa saja terletak pada beberapa hal berikut:

Pemahaman keliru mengenai perilaku masyarakat, perilaku individu yang menyimpang, konflik yang tak terselesaikan, atau ketimpangan struktur sosial yang merupakan ekses dari krisis legitimasi politik.

Memang, seperti dikatakan oleh J.S. Furnival, karakter masyarakat Indonesia yang heterogen dan plural sangat rawan konflik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kekerasan di Indonesia bukan penyebab, melainkan implikasi dari konflik.

Artinya, kekerasan justru memiliki faktor-faktor penyebab yang lain dan bukan merupakan karakter masyarakat. Pada titik ini, kekerasan tidak kita pahami sebagai sebuah budaya, melainkan sebagai masalah sosial.

Jika mengacu pada pendapat Furnival di atas, kekerasan merupakan implikasi dari konflik yang tak terkelola, sehingga penanggulangan kekerasan di masyarakat sebenarnya dapat dilakukan dengan proses resolusi konflik.

Kecuali jika kekerasan merupakan bagian dari perilaku menyimpang yang berakar dari sosialisasi tidak sempurna kepada individu.

Maka, kekerasan sosial diantisipasi atau  dengan cara menyelaraskan unsur-unsur kebudayaan –disebut oleh Koentjaraningrat sebagai subsistem kebudayaan—dengan konsensus, norma dan nilai-nilai dasar di masyarakat tersebut.

Adanya aspek ”pembudayaan” dalam tanggap bencana Merapi, jika ditindaklanjuti secara utuh dan ditegaskan dalam bentuk pendampingan masyarakat pasca-bencana, akan lebih membumikan nilai perdamaian dan nir-kekerasan.

Tentu itu bukan perkara mudah. Masyarakat sipil —termasuk mahasiwa— harus berperan dalam rekonstruksi pasca-Merapi. Bukan hanya untuk membantu masyarakat, melainkan juga untuk menginternalisasi nilai perdamaian dan nir-kekerasan.

Sudah saatnya kita membawa nilai-nilai ideal itu dalam realitas sosial: membantu mereka yang terpinggirkan.


AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR
Pemimpin Redaksi Majalah Airport KOMAHI UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar