ABSTRACT
This article aims to analyze the politics of fear as the basis of security by comparing the three images on international politics: moral skepticism, cosmopolitanism, and non-western perspective. In this age of security, the paradigm of “being secured” is changed. People do not consider security only as traditional security which has been identified as militarism and arms race, but also the human security. Those changing paradigm should be questioned: Is there any philosophical explanation which show the meaning of changing paradigm? How could the images collided? By analyzing that phennomen in the comparative analysis of three images of international politics, this article try to understand the synthesis of security problem based on the theoretical analysis of international politics.
Keywords: Security, Moral Skepticism, Cosmpolitanism, Non-Western, International Politics
PRAWACANA
"In the political sector, existential threats are traditionally defined in term of constituting principle -souvereignty, but sometimes also ideology- of the state"
(Barry Buzan, Ole Waever, & Jaap de Wilde, 1998)
Konstruksi negara-bangsa tak terlepas dari dimensi keamanan. Sejak dibentuknya formasi negara-bangsa pada perjanjian Westphalia pada 1648, keamanan mendominasi wacana dalam hubungan antarbangsa. Secara teoritik, dikenal dua perspektif mengenai keamanan: keamanan tradisional dan keamanan manusia.
Konsep keamanan tradisional dipengaruhi sangat kuat oleh perspektif realisme dan neo-realisme (Newman, 2001). Perspektif itu ebih menitikberatkan pada konsepsi keamanan konvensional yang berbasis kekuatan militer untuk menjawab ancaman yang ada. Artinya, perspektif itu tersebut mengandaikan kondisi dunia yang anarkis dan cenderung self-help sebagaimana diandaikan neo-realisme (Waltz, 2000). Dalam konteks yang lebih kontemporer, paradigma keamanan berbasis eksistensi umat manusia. Penggunaan militer yang menjadi icon “penjaga keamanan negara-bangsa”, setelah perang dingin mengalami transformasi. Konflik bipolar dalam politik internasional tidak lagi eksis. Kini, masing-masing negara-bangsa sibuk dengan problem kewargaan yang berada dalam negara masing-masing.
Pergeseran paradigma tersebut melahirkan sebuah diskursus baru dalam politik internasional. Dengan beralihnya isu keamanan global, dimensi keamanan menjadi kembali diangkat. “Ancaman” (threat) yang menjadi basis dari keamanan kini tidak lagi berkutat hanya pada persoalan keamanan persenjataan atau militer. “Ancaman” bisa berarti wabah penyakit, kemiskinan, buta huruf, virus menular, atau sejenisnya yang dirasakan oleh warga-negara, bukan negara itu sendiri. Sehingga, kaum konstruktivis memandang ancaman sebagai sesuatu yang dikonstruksikan oleh manusia.
Dalam studi keamanan internasional, kita mengenal istilah sekuritisasi atau masuknya aspek-aspek keamanan dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Buzan, 1998). Sekuritisasi sangat erat kaitannya dengan istilah ketakutan (fear). Dalam filsafat politik Thomas Hobbes, istilah ini erat kaitannya dengan kekacauan sosial dan peran negara. Menurut Hobbes, fear adalah human nature. Manusia hidup dengan ketakutan dan negara perlu mengaturnya. Keamanan negara dalam perspektif ini adalah niscaya, dan kebijakan berbasis sekuritisasi ini sangat khas Hobbesian.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, kritik pun muncul. Paradigma keamanan seharusnya mengedepankan eksistensi manusia sebagai subjek. Sebab, pada hakikatnya negara terbentuk dari, meminjam Locke, kontrak sosial dari masyarakat. Sebagai timbal balik, kebebasan manusia harus dijaga oleh negara. Potret John Rawls mengenai keadilan distributif juga mengimplikasikan adanya perlindungan atas kebebasan dan hak sipil-politik (Kymlicka, 1990). Kebebasan adalah dasar atas persamaan kesempatan. Atas basis ini, keamanan juga diterjemahkan sebagai perlindungan atas kebebasan warga manusia. Ini yang melahirkan konsep keamanan manusia.
Paper ini akan mendialogkan dua perspektif keamanan di atas dengan menariknya ke dalam kajian filsafat politik. Paper ini menempatkan “ketakutan” sebagai objek untuk mengantarkannya pada pembahasan tentang keamanan.
ARGUMEN PAPER
Paper ini akan menjawab sebuah pertanyaan utama, “bagaimana mempertemukan perspektif keamanan tradisional dan perspektif keamanan manusia dalam sebuah konsepsi baru sebagai sintesis kedua perspektif tersebut?”
Pembahasan ini menekankan pada teorisasi “ketakutan” dengan membandingkan dua image yang dikenal dalam politik internasional, yaitu skeptisisme moral dan kosmopolitanisme. Dua filsuf yang dibahas dalam paper ini, Hobbes dan Rawls, mewakili dua image tersebut, dan ditambah dengan teorisasi Ibnu Khaldun untuk menjembatani dua image tersebut.
Pijakan argumen yang coba dibangun adalah bahwa ketakutan sebagai cara pandang paling mendasar dalam melihat keamanan merupakan konstruksi aktornya. Dengan menempatkan keamanan sebagai konstruksi, ketakutan juga dipandang sebagai konstruksi dari pelaku. Seseorang takut terhadap ancaman karena ia mengkonstruksikan ancaman tersebut dalam benaknya dan mentransformasikan konstruksi tersebut dalam sikap tindakan. Ketakutan dalam perspektif Hobbesian dipandang sebagai sifat dasar manusia yang harus dikontrol oleh otoritas yang lebih tinggi, dalam hal ini negara. Sementara itu, ketakutan dalam perspektif Rawls dipandang sebagai kegagalan negara dalam menjaga kebebasan warganya. Dalam perspektif Ibnu Khaldun, yang berperan justru masyarakatnya. Tiga image tersebut akan dianalisis untuk menemukan sintesis.
KEAMANAN SEBAGAI KONSTRUKSI
Konsep Keamanan berbanding lurus dengan ketakutan. Furedi (2008) berargumen bahwa ketakutan mengkonstruksi keamanan. Gagasan mengenai Resilience –dalam bahasa Furedi— membuat negara membentuk lembaga-lembaga yang bertugas mengatasi ketakutan. Itulah yang disebut oleh Buzan et. al (1998) sebagai sekuritisasi.
Istilah sekuritisasi sebagai masuknya elemen “ancaman” dalam kebijakan internal negara sangat terkait dengan konsep konstruktivisme yang dikembangkan oleh mazhab Kopenhagen (Buzan, 1998). Paradigma konstruktivis mengandaikan bahwa ancaman (threat) pada dasarnya adalah persepsi pelaku. Sesuatu hal menjadi ancaman ketika ada yang mewacanakan hal tersebut sebagai ancaman eksistensial bagi suatu entitas.
Sesuatu akan menjadi ancaman ketika hal tersebut diopinikan melalui media massa, dipromosikan oleh agensi tertentu, dan ada referent object yang merasa terancam dan “takut” atas ancaman tersebut. Persoalannya bukan apakah hal tersebut berbahaya, tetapi bagaimana hal tersebut diopinikan sebagai sebuah ancaman eksistensial.
Oleh karena itu, dalam paradigma ini, ketakutan juga merupakan persepsi. Ketakutan lahir ketika ada yang mengopinikan bahwa sesuatu adalah ancaman eksistensial dan lantas membangun ancaman tersebut dalam pikiran. Ketakutan, dengan demikian, merupakan hasil dari konstruksi diskursif yang dilakukan oleh para aktor politik. Ketakutan lahir ketika ada sebuah entitas yang mewacanakan bahwa sesuatu hal mengancam eksistensi seseorang, kemudian lantas direspons dengan menjadikan hal tersebut sebagai “opponent” atau lawan.
Artinya, ketakutan sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang ada karena faktor material. Ketakutan sebagai konstruksi akan memerlukan perantara agar dapat disebarkan kepada entitas-entitas lain. Maka, dalam konteks ini perlu media, yang disebut oleh Barry Buzan sebagai speech act. Ketakutan disebarkan melalui tulisan-tulisan yang bernuansa propaganda, analisis yang keliru, atau generalisasi yang terlampau berlebihan. Tambahan pula, ketakutan disebarkan melalui kuasa-kuasa tertentu. Ini yang disebut oleh Barry Buzan sebagai “sekuritisasi”.
Kita dapat melihat refleksinya pada kasus terorisme. Dalam perspektif konstruktivisme, kita dapat membaca bahwa kasus terorisme sebetulnya bukan sesuatu yang terjadi secara serta-merta. Adanya stigma “teroris” banyak yang disebabkan oleh adanya konstruksi mengenai ancaman, baik dari sudut pandang pelaku maupun dari sudut pandang negara.
Dari sudut pandang pelaku, konstruksi yang muncul adalah ketakutan atas hegemoni negara yang bersifat menindas terhadap kelompoknya. Menurut Vedi R. Hadiz, aksi terorisme adalah wujud perlawanan kelas yang termarjinalkan oleh oligarkhi kelas pemilik modal (borjuasi) dan negara. Terorisme dimaknai sebagai sebuah ekses dari ketimpangan sosial akibat penghisapan kapital kelompok borjuasi.
Dari sudut pandang negara, ketakutan serupa juga terjadi. Negara yang ketakutan dengan ancaman teror kemudian melakukan tindakan-tindakan responsive yang berlebihan. Adanya wacana sidik jari untuk pesantren, identifikasi symbol keagamaan tertentu, hingga kecurigaan berlebihan terhadap aktivitas kelompok yang distigmakan sebagai “teroris” menjadi basis kebijakan negara. Sebabnya dapat kita tebak sendiri: ini adalah bentuk ketakutan negara terhadap aksi teror yang mengancam eksistensi dan kedaulatannya.
Dalam konteks ini, negara merespons adanya aksi terror justru dengan sekuritisasi. Respons negara yang cenderung reaktif –bukan preventif dengan melacak akar masalah— terkadang kontraproduktif. Akibatnya, banyak korban salah tangkap hanya karena identifikasi simbol. Hal tersebut terjadi karena persepsi negara mengenai teroris telah dikonstruksi sedemikian rupa hingga menyebabkan sikap-sikap berlebihan terhadap kelompok agama tertentu. Ini menandakan, ketakutan yang dikonstruksi sedemikian rupa telah menjelma menjadi basis pengambilan kebijakan dalam keamanan.
Perdebatan mengenai keamanan tradisional dan keamanan manusia menjadi dipahami sebagai konstruksi. Untuk membongkarnya, telaah harus diarahkan pada “apa yang mengkonstruksi ketakutan”. Pada titik inilah dialog dua imaji dimulai.
POLITIK KETAKUTAN (1): THOMAS HOBBES
Tesis pertama menjelaskan bahwa sumber ketakutan negara adalah adanya kekacauan sosial. Thesis Hobbes menyatakan bahwa kondisi manusia pada asalnya adalah kondisi tanpa aturan, tanpa keadilan, tanpa rasionalitas. Ia menyebutnya sebagai “state of nature”. Kondisi ini mengharuskan adanya negara yang kuat dan berdaulat atas rakyatnya. Menurut Hobbes pula, sebagaimana dikutip oleh Bryan Magee, yang ditakuti oleh masyarakat bukan negara yang kuat, melainkan kekacauan sosial. Adanya “ketakutan” pada level pengambil keputusan sehingga menjadikannya apriori terhadap realitas adalah bentuk kekacauan sosial, yang melemahkan kewibawaan negara. Ini tampak pada rejim-rejim otoriter yang sumber kekuasaannya didapatkan dari jalan-jalan kekerasan.
Ketakutan cenderung meniadakan rasionalitas. Hobbes mengatakan bahwa jika tindakan dilakukan atas pertimbangan hawa nafsu dan kesimpulan yang keliru (fears), tindakan tersebut tidak akan lagi berekspektasi bahwa masih ada pertahanan dan perlindungan dalam melawan musuh. Contoh konkretnya dapat dilihat pada ketakutan Amerika Serikat pada Irak yang berujung pada invasi. Terlepas dari perdebatan mengenai motif penyerangan ini, kita dapat mengambil kesimpulan sederhana bahwa ketakutan Amerika Serikat pada kekuatan Irak-lah yang membuat negara adidaya ini mengerahkan kekuatan militernya untuk terjun ke padang pasir, menghancurkan negara kecil tersebut.
Pada konteks ini, dimensi rasionalitas dan humanitas sangat banyak dipertanyakan. Mengapa sebuah negara sampai mengorbankan nyawa prajuritnya hanya untuk melindungi kedaulatan negara dari ancaman? Analisis Hobbes akan menjawab pertanyaan ini: karena hakikat dasar dari manusia adalah sikap untuk takut terhadap ancaman.
Menurut Hobbes, manusia lahir ke dunia dengan membawa ketakutan. “fear and I, said Hobbes, were born together, kutip Firdaus Syam. Karena manusia adalah makhluk yang penuh dengan ketakutan, cara mengendalikannya adalah dengan mengontrol sumber ketakutan itu, yaitu adanya kekuatan di luar manusia yang mengendalikan manusia. Dalam konteks sosial-politik, kekuatan tersebut menjelma dalam wujud negara. Hobbes berpendapat, negara harus kuat untuk mengendalikan ketakutan manusia sehingga stabilitas tercipta.
Bryan Magee dalam bukunya, “The Story of Philosophy” memotret pandangan Hobbes mengenai otoritas negara. Hobbes berpendapat bahwa manusia membentuk masyarakat karena takut akan kematian. Pada konteks itu, kematian dinilai sebagai finalitas dari kehidupan. Agar masyarakat dapat stabil dan manusia mendapatkan rasa aman, diperlukan sebuah otoritas pusat yang secara mutlak mengatur kehidupan manusia. Otoritas tersebut kemudian dibahasakan sebagai “state”; entitas negara yang absolute. Negara harus dapat mengendalikan perilaku manusia agar tercipta rasa aman dari ketakutan-ketakutan. Implikasinya, negara memerlukan pemimpin yang kuat dan memerintah secara tegas.
Akan tetapi, mengapa negara yang kuat kemudian tidak lantas menimbulkan keamanan bagi warganya, tetapi dalam konteks yang lebih kontemporer justru menimbulkan ketakutan-ketakutan lain terhadap warganya sendiri? Pada titik inilah Hobbes mendapatkan kritik. Tesis Hobbes bahwa negara yang kuat akan mengendalikan manusia sehingga menimbulkan rasa aman akan problematis jika dihadapkan pada masalah kontemporer: munculnya represi rejim otoriter terhadap kekuatan oposisi. Seting sejarah yang berbeda menyebabkan adanya problem tersebut. Jika Hobbes hidup di era monarki di mana feodalisme dan kekuasaan raja masih berperan besar dalam struktur politik Inggris pada waktu itu, saat ini kita menghadapi struktur sosial dan politik industrial yang mengimplikasikan adanya analisis terhadap kelas-kelas sosial yang oposisif terhadap entitas negara.
POLITIK KETAKUTAN (2): JOHN RAWLS
John Rawls menderivasikan teorinya pada kosmopolitanisme Kant. Ia percaya pada basis moralitas yang universal, dan mendasarkan teorinya tentang keadilan pada basis itu. Lazimnya pemikir liberal lain, keadilan disandarkannya pada sebuah persamaan kesempatan orang-orang yang bebas, serta berpijak pada etika sosial yang universal (Kymlicka, 2004: 69).
Rawls atau Kant yang berbicara soal moralitas dalam politik. Mereka satu frame dengan pemikir klasik seperti Aristoteles yang menganggap politik sebagai perluasan dari dimensi etika. Menurut Kant, misalnya, ketaatan pada nilai-nilai universal yang sahih dan diterima secara umum, akan membuat sebuah tindakan dideterminasi oleh hukum-hukum moral tersebut. Tindakan moral akan ditaati karena ia diterima secara umum dan sahih secara universal.
Begitu pula dalam konteks politik. Kant percaya pada sebuah nilai universal dalam berpolitik. Diktum-diktum yang sahih secara universal dan diterima secara umum mesti diaplikasikan dalam tindakan politik. Maka dari itu, tindakan mendapatkan kekuasaan juga harus adil dan sesuai kaidah moral. Termasuk dalam konteks ini kekuasaan untuk mengontrol warga negaranya.
Sementara itu, John Rawls membasiskannya dalam teori keadilan. Ada dua argumen yang menjadi prinsip dalam teorinya. Pertama, “fairness” atau persamaan kesempatan antarwarga negara sebagai konsekuensi moral dari kontrak sosial. Kedua, warga-negara yang berkesempatan sama tersebut memiliki kepentingan-rasional sebagai original position yang mengatur proses kerjasama antar-warga (Kymlicka, 2004: 73).
Pada dasarnya, konsepsi keadilan Rawls tak terlepas dari teori kontrak sosial. Hanya saja, berbeda dengan Rosseau atau Locke yang membasiskan kontrak sosial sebagai prakondisi sebelum ada negara, Rawls justru menggunakan konsep kontrak sosial setelah sebuah negara berdiri. Ia menolak argumen pertama karena terlalu absurd dan sulit dinalar (Kymlicka, 2004: 80). Akan tetapi, Rawls menggunakan istilah kesepakatan sosial. Ia berpendapat, keadilan adalah pengejawantahan dari teori tersebut. Dalam konsep prioritas leksikal, yang pada salah satunya memuat pembatasan atas kebebasan demi kebebasan itu sendiri. Artinya, Rawls berpendapat bahwa kebebasan itu sendiri perlu memiliki aturan, dan itulah negara yang ia pahami.
Apa yang terjadi jika kesepakatan sosial untuk membatasi kebebasan demi kebebasan tersebut tidak ada, alias negara gagal memenuhi fungsinya? Konsekuensinya ada dua, yaitu anarkisme yang berujung pada kooptasi kebebasan satu orang atas orang lain. Artinya, prinsip kebebasan itu akan dilanggar jika negara gagal memenuhi fungsinya menyebarkan keadilan secara distributif. Argumen penulis, kegagalan negara itu menjadi kata kunci untuk membuka pandangan Rawls soal ketakutan.
Teori tentang keadilan tentu mengimplikasikan teori tentang ketidakadilan. Ketakutan adalah wujud ketidakadilan ketika kebebasan terkooptasi oleh kuasa tertentu. Ketakutan adalah ekspresi ketidakbebasan. Ketika kebebasan dihilangkan, keadilan juga akan hilang. Keamanan adalah ketika keadilan secara distributif dirasakan oleh semua manusia. Ketika keadilan itu hilang, keamanan berubah menjadi ketakutan. Maka, hilangnya keadilan serta ketidakbebasan dipandang sebagai ketakutan. Politik ketakutan menjadi dimaknai sebagai politik untuk menghilangkan keadilan sebagai fairness: kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mengekspresikan kebebasannya.
Lantas, dalam wujud apa politik ketakutan itu menampakkan diri? Wujud ketidakadilan adalah negara yang absolut. Lord Acton menyatakan, “power tends to corrupt, but absolute power absolutely corrupts”. Negara harus berwujud kesepakatan warganya. Maka, absolutisme kekuasaan adalah korupsi dan mengambil kebebasan warganya. Titik inilah yang menyebabkan pandangan Rawls dengan Hobbes.
POLITIK KETAKUTAN (3): IBN KHALDUN
ketakutan bersumber dari lemahnya solidaritas sosial, atau disebut oleh Ibn Khaldun sebagai “ashabiyah”. Lemahnya solidaritas menyebabkan manusia takut terhadap ancaman dari kelompok atau entitas lain. Pada konteks negara, ketika solidaritasnya melemah dan ikatan persaudaraannya tercerai berai, akan muncul sifat takut terhadap orang lain, yang menyebabkan terjadinya “kekacauan sosial”—meminjam istilah Thomas Hobbes.
Pemikiran Khaldun pada beberapa titik memiliki persamaan dengan Hobbes. Ia berpendapat bahwa negara harus kuat, agar solidaritas sosial masyarakat terjaga. Ibn Khaldun berangkat pada titik pandang bahwa manusia memiliki dualism potensi, yaitu potensi untuk berbuat baik dan berbuat “zalim” (p. 150). Kezaliman sendiri secara bahasa mengacu pada apa yang kita kenal sebagai represi terhadap kelompok lain. Oleh karena itu, untuk meminimalisasi kezaliman, perlu adanya solidaritas atau “ashabiyah”. Pada titik inilah terdapat perbedaan mendasar antara Ibn Khaldun dengan Hobbes.
Ibnu Khaldun menjelaskan, solidaritas sosial memberikan kekuatan bagi sebuah komunitas untuk mempertahankan eksistensinya secara jangka-panjang. Ibnu Khaldun memberikan contoh suku-suku badui yang hidup di padang pasir. Mereka mampu bertahan hidup karena adanya solidaritas yang dibangun oleh pemimpin masyarakat, di mana eksistensi mereka diejawantahkan dalam bentuk kemampuan mempertahankan diri dari serangan alam dan suku lain. Sejauh solidaritas antaranggota tersebut terjaga, eksistensi dari suku tersebut juga akan terjaga.
Karena solidaritas berperan penting dalam menjamin eksistensi dan kemampuan bertahan hidup, sebuah suku harus membangun solidaritasnya masing-masing. Lantas, bagaimana solidaritas tersebut dibangun? Ibnu Khaldun memberikan dasar kedua bagi upaya untuk mempertahankan solidaritas: adanya tali persaudaraan yang kuat bagi anggota-anggota suku. Menurut Ibnu Khaldun, hal paling mudah dalam membina rasa solidaritas adalah pada garis keturunan dan persaudaraan karena adanya pertalian dan persaudaraan memungkinkan adanya rasa “senasib sepenanggungan” dan “saling merasakan” atas apa yang diterima saudaranya.
Persoalannya, apa yang akan terjadi ketika “ashabiyah” atau solidaritas sosial tersebut melemah? Khaldun menjelaskan, akan muncul sikap individualistik yang kontraproduktif dengan semangat kolektivis. Ia menyebutnya sebagai peradaban “hadhari”. Implikasinya, seorang manusia yang terjebak pada sikap individualistis dan meninggalkan solidaritas akan cenderung bersikap zalim. Pada titik itu, keadilan akan berubah menjadi tirani. Seorang manusia akan takut terhadap manusia lain dan menggunakan kekuasaan yang ia miliki untuk bersikap zalim. Pada titik inilah terjadi “politik ketakutan”.
Cara menghadapinya adalah dengan menggunakan solidaritas sebagai alat menghadapi ketakutan. Seorang manusia tidak dapat melakukan semuanya sendiri, dan perlu adanya basis keteraturan berupa solidaritas. Dengan memperkuat solidaritas di masyarakat, basis moral akan tercipta. Pada titik itulah Ibnu Khaldun memperkuat analisisnya mengenai ketakutan dan ancaman.
ELABORASI: MEMPERTEMUKAN HOBBES, RAWLS, DAN IBN KHALDUN
Pada dasarnya, ada beberapa titik perbedaan antara Hobbes dan Rawls dalam pemaparan di atas. Pertama, peran negara. Menurut Hobbes, negara yang absolute justru akan menciptakan rasa aman dan menghilangkan ketakutan antarwarganya. Sebaliknya, Rawls mengatakan bahwa negara yang absolute justru menghilangkan nilai keadilan di masyarakat.
Kedua, penyebab ketakutan. Hobbes percaya bahwa ketakutan ditimbulkan dari sifat alamiah manusia, sementara Rawls menolak itu. Bagi Rawls, ketakutan muncul dari kegagalan negara menjamin keadilan.
Ketiga, bagaimana menghadapi ketakutan. Problem bagaimana menghadapi ketakutan direspons dengan cara berbeda dalam masing-masing perspektif, di mana Hobbes menghadapi dengan adanya sebuah pemaksaaan dan aturan oleh otoritas, sementara Rawls justru menghadapi dengan adanya kebebasan.
Keempat, perbedaan tersebut akan bermuara pada paradoks mendasar mengenai imaji tentang manusia. Hobbes berpendapat bahwa manusia pada lahirahnya bukan figur yang baik: Ia memiliki potensi untuk melahirkan kekacauan sosial. Maka dari itu, Hobbes tidak percaya pada manusia sebagai invidu. Akan tetapi, Rawls justru percaya pada manusia sebagai individu yang bebas. Pada titik itulah teorinya tentang keadilan lahir dan dimunculkan.
Konteks kerangka Ibnu Khaldun mengenai solidaritas sosial dapat menjadi sintesis. Artinya, persoalan “ketakutan” sebagai basis keamanan tidak lagi ditempatkan dalam kerangka negara atau individu, tapi pada masyarakat. Pada titik ini, basis solidaritas akan menciptakan kerangka moralitas dan hukum tersendiri.
Paradoks tersebut tidak sepenuhnya dapat dihindari jika memandang “ketakutan” adalah sesuatu yang niscaya dan “keamanan dibasiskan pada hal tersebut. Oleh karena itu, ketika dipandang dalam kerangkanya sebagai sebuah konstruksi, perdebatan mengenai dua imaji ini akan dapat sedikitnya dijembatani. Konteks penjembatanan tersebut yang dalam dua imaji di atas dapat didialogkan.
DAFTAR PUSTAKA
Acton, HB. Dasar-Dasar Filsafat Moral: Elaborasi terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant penterjemah Muhammad Hardani. (Surabaya: Eureka, 2008).
Buzan, Barry, Ole Waever, and Jaap de Wilde, Security: A New Framework for Analysis (Lynne Rienner Publisher, 1998).
Fink, Hans. Filsafat Sosial: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas penterjemah Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cetakan kedua).
Furedi, Frank. “Fear and Security: A Vulnerability-led Policy Response” Social Policy and Administration Vol. 42, No. 6, December 2008.
Hobbes, Thomas. 1651. Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah penterjemah Ahmadie (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
Kymlicka, Will. Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-Teori Keadilan penterjemah Agus Wahyudi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Newman, Edward. “Human Security and Constructivism”. International Studiess Perspective. Vol. 2 (2001). 239-251.
Mill, John Stuart. On Liberty: Perihal Kebebasan penterjemah Alex Lanur (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
Reus-Smit, Christian.. “Constructivism” dalam Burchill, Scott. et. al. Theories of International Relations (London: Palgrave, 2005, Third Edition).
Lewat tulisan-tulisan yang saya baca di sini, saya berani memastikan bahwa penulisnya kelak bakal menjadi politikus handal dan kenamaan tanah air.
BalasHapusLanjutkan perjuanganmu, Bung Rizki.
Salam Hangat.