Jumat, 21 Oktober 2011

"Antar-Teks"

"Derrida", karangan Muhammad Al-Fayyadl. Sebuah naskah yang tidak mudah untuk dituntaskan, karena luasnya pemahaman dan beratnya membaca teks filsafat yang cukup kontemporer macam Derrida itu. Sebuah teks yang luar biasa, yang ditulis oleh penulis ketika masih menjadi mahasiswa, yang membuat para penikmat-baru filsafat seperti saya menjadi sangat terpukau.

Gagasan Derrida sebagai seorang dekonstruksionis terbilang berat bagi seorang mahasiswa Hubungan Internasional seperti saya, yang sehari-hari diajari untuk melihat fenomena politik internasional, tak biasa bergulat terlalu lama membaca teks-teks filsafat. Selain karena tidak banyak pakarnya, juga karena mahasiswa yang meminati bidang filsafat di jurusan kami juga tak banyak.

Membaca Derrida berarti memperkuat pemahaman untuk membongkar teks, sebab dari sanalah sikap logosentris -pusat dari "logos", monopoli kebenaran atas pusat- bermula. Pusat bukan berarti "yang benar". Bisa jadi, "yang benar" itu terdepak ke pinggir, berada di teks lain, atau terkubur karena pikiran dominan yang menyertai "pusat".

Itulah yang namanya "logos"; sesuatu yang disinonimkan oleh Fayyadl sebagai "yang transenden", ilahiyah. Penalaran yang mendominasi, kadang menjadi racun bagi pemahaman kita. Tapi, sejauh mana hal tersebut terpatri dalam struktur penelaahan kita yang selama bertahun-tahun terkonstruksi oleh sikap logosentristik itu?

****

Saya sudah membicarakan soal "Teks" dan "Konteks" dalam tulisan sebelumnya. Seperti yang anda lihat, tulisan ini adalah tulisan ketiga dari tulisan-tulisan itu. Membicarakan teks dan konteks tentu masih menyisakan pertanyaan: apakah teks itu sesuatu yang berdiri sendiri, utuh, tidak dipengaruhi oleh teks sebelumnya yang sudah mewajahkan diri?

Dalam perspektif seorang penulis, teks yang kita lahirkan bukan sesuatu yang "lantas ada", mewujudkan dirinya langsung ke dunia ini. Tentu ada proses intelektual yang mewarnai lahirnya teks itu. Proses intelektual terjadi bukan pada seberapa banyak kita membaca atau seberapa dalam bacaan kita, melainkan pada seberapa intens kita melakukan proses intelektual, yaitu menulis.

Telah saya kemukakan sebelumnya, teks adalah representasi intelektual yang menyejarah. Ia adalah sebuah proses sejarah. Menjadi seorang intelektual berarti meneruskan proses sejarah itu. Dan artinya, proses intelektual, menuliskan teks, adalah sebuah proses sejarah yang penting.

Tak ada sejarah jika tak ada teks. Maka dari itu, menulis teks berarti berjalan menuju kontinuitas kesejarahan. Keberlanjutan sejarah ditentukan oleh adanya teks atau tidak. Sejarah gampang terlupakan dari generasi ke generasi, tapi tanpa bukti otentik berupa teks, sejarah tetap tak terawat. Merawat sejarah adalah menjaga kontinuitas intelektual, mempertautkan satu pemikiran -teks- dengan pemikiran atau teks lain.

Di sini makna yang perlu kita elaborasi. Teks berarti bukan sesuatu yang lantas "ada". Ia tak terlepas dari sebuah proses. Maka dari itu, dalam menafsirkan teks, kita tak hanya melihat makna "letterlijk" yang disampaikan oleh teks itu. Kita harus pula melihat kebertautan teks itu dengan teks-teks lain, baik teks yang dibuat oleh penulisnya sebelumnya, maupun teks dari penulis lain.

Inilah sebuah konsep yang diperkenalkan oleh Derrida sebagai "Double Reading". Mendekonstruksi teks dengan bantuan teks lain. Fayyadl mencontohkan dengan begitu memukau: bagaimana teks Platon tentang mimesis diddekonstruksi dari teks Mallarme, sebuah mimodrama tentang Pierrot. Konsep tentang "imitasi", mimikri, yang direpresentasikan oleh Pierrot tidak dengan narasi, melainkan rangkaian kata-kata tak beraturan, spasi-spasi panjang, gumaman yang tak jelas, tapi membentuk satu kesatuan makna: menceritakan pembunuhan.

Konsepsi platon tentang mimesis yang berkisar pada soal estetika, "pharmakon", ternyata tidak hanya bermakna "obat". Pharmakon tidak hanya bermakna tunggal, sebagai "obat" seperti disangka Plato; pada Mallarme, teks Pharmakon juga berarti "racun"; membunuh.

Apa yang digambarkan oleh Derrida mungkin cukup njlimet. Tapi, ada satu benang-merah yang bisa ditarik di sini: memaknai sebuah "kata" itu tidak tunggal. Menunggalkan makna kata berarti menjadikan kata itu sebagai "logos", sesuatu yang seharusnya dinisbatkan kepada sang pencipta.

Makna bukan pemilik sang penulis. Kata boleh jadi lahir dari adu pikir dan gagasan sang penulis, dialektikanya dengan konteks, tapi maknanya tidak. Makna adalah pemilik sang interpreter, para pembaca, dan dengan kata lain: kita.

Ketidaktunggalan makna kata ini menyimbolkan adanya sebuah pembacaan yang berbeda terhadap teks. Derrida sudah memperkenalkan itu: Double Reading; intertekstualitas. Mendekonstruksi sebuah teks berarti menandingkannya dengan teks lain. Sehingga, tidak ada penalaran yang mendominasi terlampau hebat dari sebuah teks.

Dengan demikian, teks tidak cukup hanya dibaca sendiri, lalu kita dengan sesuka hati men-judge sesuatu "salah" hanya karena tidak sesuai dengan teks itu. Perlu ada metode kritik yang lebih dari sekadar "benar-salah". Selama tidak berasal dari Tuhan, teks tak perlu disalahkan. Juga tak boleh dibenarkan tanpa kritisisme. Yang perlu adalah pembongkaran. Sejauh mana teks itu dibentangkan maknanya, dibongkar tendensi monopolinya, dan kepentingan apa yang dibawa oleh teks itu.

Kritisisme itu perlu dibangkitkan. Memahami sesuatu berarti mengurai alur "antar-teks" dan jalinan-jalinan yang terhubung dari teks-teks itu. Kaitan tak lazim apa yang bertaut di antara mereka. Hubungan apa yang sesungguhnya tersembunyi di balik padatnya kata-kata. Foucault mengistilahkannya dengan genealogi. Ia bicara lebih luas; tidak sekadar teks, tapi juga sejarah, yang terhimpun dari sebuah urutan tak lazim namun menjadi makna-baru atas peristiwa.

Memonopoli interprertasi, makna atas teks sangat berbahaya karena menjadikan otoritas kebenaran itu ada pada manusia. Padahal, yang benar adalah Tuhan; manusia mengambil dan menginterpretasikan kebenaran berdasarkan perangkat analisis yang dipunyainya, apakah itu teks kitab suci -yang memang berasal dari Tuhan- maupun rasionalitas yang dipunya.

Monopoli makna atas teks, dalam bahasa Nietzschean, adalah bentuk formasi dari kehendak-menuju-kuasa (the will to power). Setiap tindakan manusia pasti bertendensi kekuasaan. Dan untuk menghindarinya, relasi kuasa yang menggeret teks untuk melayani kepentingan manusia itu perlu dibongkar, diurai setegas-tegasnya.

Jika makna itu dimonopoli, menyebabkan teks orang lain disalah-salahkan secara semena-mena tanpa prosedur kritik yang konsekuen, berarti kita sedang menisbatkan sesuatu yang sifatnya sebenarnya ilahiyah itu pada manusia. Pantaskah?

Meminjam analogi Sigit Pamungkas, sama saja dengan menisbatkan sesuatu yang sakral dan ruhaniyah pada batu, pohon, dan benda-benda mati. Bedanya, memonopoli teks adalah pekerjaan manusia, dinisbatkan pada keterbatasan akal yang tak seharusnya diagung-agungkan secara berlebihan.

****

Dalam praktik sehari-hari, terutama di sekeliling saya yang banyak bergulat dan bertemu dengan kawan-kawan harakah Islam, logosentrisme itu sangat lazim dijumpai. Menisbatkan otoritas kebenaran, "logos", pada manusia atau struktur yang dianggap punya otoritas karena lebih senior atau lebih soleh adalah sebuah hal yang biasa. Doktrin adalah sebuah prosedur kaderisasi standard untuk menyuruh orang agar mau bergabung.

Padahal, doktrin itu sejatinya hanya konstruksi. Ia adalah hasil desain agar bisa memanipulasi pikiran dan kehendak-sadar manusia, untuk dapat bergabung dalam struktur kekuasaan yang kompleks. Doktrin adalah potret relasi kekuasaan yang ingin hendak menggeret kesadaran seseorang pada sikap taqlid, menghamba pada perintah-perintah manusia.

Doktrin adalah teks. Sebuah doktrin memerlukan pengesahan tekstual agar kuat diterima oleh seseorang. Doktrin bisa saja diambil dalam teks Al-Qur'an, tetapi ditafsirkan dalam kerangka dan konteks yang sudah didesain sebelumnya. Al-Qur'an itu benar, tapi tafsirnya dimonopoli untuk kepentingan tertentu.

Tidak ada yang perlu menafikan otoritas Al-Qur'an yang absolut. Ia menjadi hudan lin-naas, petunjuk bagi jalan hidup manusia.  Allah dengan gamblang menjelaskan bahwa ada ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, ayat-ayat yang punya ikatan hukum, dan artinya tafsirnya letterlijk, dan mutasyabihat, yang berarti tafsirnya terbuka.

Tapi, menjadi persoalan jika kemudian dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadits Nabi itu kemudian digunakan sebagai perangkat kekuasaan, menjadi doktrin. Ia menjadi legitimasi tekstual untuk mendoktrin orang-orang agar sepemikiran dengannya. Jika itu terjadi, Al-Qur'an sedang dijauhkan dari semangat Iqra', karena yang ada bukan Iqra' Al-Qur'an secara utuh dengan penalaran (Al-Alaq: 1-5), melainkan Iqra' pemikiran tentang Al-Qur'an yang kadung dijadikan kebenaran secara subjektif.

Dengan demikian, teks yang seharusnya menjadi arena dialektika yang sarat nuansa keilmuan, justru menjadi sarana manipulasi kesadaran. Saya tidak menyalahkan orang-orang yang melakukan ini. Tapi percayalah, dorongan untuk melakukan itu tidak muncul atas kesadaran untuk membongkar kebenaran secara utuh, melainkan atas kehendak-menuju-kuasa, sebagaimana diingatkan oleh Nietzsche.

Agar tidak salah pikir karena indoktrinasi itu, kita perlu membuka kembali relung-relung kesadaran.Itu berarti mengubah ideologi menjadi ontologi, fanatisme menjadi verifikasi, doktrin menjadi pengetahuan, suruhan menjadi wawasan, taqlid menjadi kritisme. Sesuatu yang tidak mudah, tentu saja.

Akhirnya kita patut bertanya pada diri sendiri: sudah sejauh mana Islam dipahami secara utuh, dengan membaca penafsiran secara "antar-teks", double reading, memperbandingkannya dengan tulisan lain, sehingga makna dari konsepsi yang kita baca itu dapat dibaca secara lebih luas? Sudah sejauh mana pikiran dimerdekakan dari keterjajahan fanatis, dari doktrin-doktrin yang menginginkan kita untuk melayani kepentingan semu tanpa daya kritis?

"Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkehendak merdeka. Tak ada sesuatupun yang bisa memaksa kami bertindak". Dua kalimat itu telah sejak lama menjadi kredo KAMMI. Adakah kata-kata tadi dibaca, direnungkan, dan tentu saja diperbandingkan maknanya secara luas tanpa harus terjebak pada tafsir tunggal? Dengan semangat kemerdekaan berpikir, mari menangkap makna secara lebih paripurna.

Antar-teks; repetisi; double-reading; sikap kritis terhadap teks secara konstruktif. Mungkin ini yang diinginkan Derrida. Tentu saja dalam tafsiran saya.

*) Ketua Departemen Kajian & Keilmuan KAMMI Komisariat UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar