Jumat, 21 Oktober 2011

"Konteks"

Jika teks adalah bentuk "representasi sejarah", maka apa yang kita maknai sebagai "konteks"?

Teks sesungguhnya lahir dari persinggungan penulis -yang punya gagasan- dengan konteks sosial. Makanya, dalam hermeneutika seperti dipahami Ricoeur, misalnya, yang paling penting bukanlah makna yang disampaikan penulis dalam teks. Persinggungan makna teks dengan konteks sosial-lah yang menjadi alat interpretasi. Sebab itu, dalam hermeneutika, penting untuk membaca konteks yang berpadu dengan teks yang tertulis.

Ada dua sikap yang, saya kira, adalah bentuk dari kekeliruan memaknai konteks. Pertama, terlampau konformis dengan konteks -bagi penulis- hingga melupakan sifat dasar dari teks sebagai pengejawantahan diri dalam sejarah. Kedua, menafsiri teks dengan mengabaikan konteks.


*****

Konteks selalu berubah, sementara teks tetap, konstan, stagnan. Dalam teori perubahan sosial, jelas sekali kita maknai: tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. Konteks selalu bergulir mengikuti alur rel waktu, menapak situasi dan kondisi, dan berpindah-pindah lokus serta tempatnya.

Seorang penulis yang ingin merawat teks kadang terjebak pada konteks. Saya juga mengalaminya. Seakan-akan, konteks adalah "yang dibahas". Akibatnya, penulis terjebak pada "kritikus sosial" yang hanya menganalisa konteks, tanpa punya arah dan dasar pikir kecuali idealisme yang coba dituangkan.

Bagi penulis pemula, yang biasanya tergantung pada media sebagai sumber publisitas tulisannya, menggantungkan teks pada konteks bisa jadi hal yang lumrah. Analisa tentang sesuatu hal akan sangat bergantung pada konteks apa yang dibahas. Dari sana, bisa jadi gaya bahasa, alur berpikir tidak benar-benar orisinil; terpengaruh konteks keadaan, waktu, dan tempat.

Hal tersebut mungkin wajar jika masih dalam taraf belajar. Tapi, persoalannya, mampukah kita melepaskan diri dari bayang-bayang konteks itu ketika karya sudah ditorehkan, identitas sudah dimiliki, dan menulis sudah menjadi bagian dari keseharian?

Ini yang sulit. Memperlakukan teks sebagai sebuah penjelmaan diri, yang berarti tidak terlampau pragmatis menampilkan "kebutuhan pasar", akan sangat sulit jika menggantungkan harap secara berlebihan pada konteks.

Tanpa konteks, memang teks takkan lahir, sebab sesungguhnya teks lahir dari persinggungan penulis dengan konteks. Tetapi, jika menggantungkan diri pada konteks dan menafikan karakter penulis dalam tulisannya itu, alias hanya "memenuhi kebutuhan pasar" dengan menggunakan bahasa yang populer tanpa identitas pribadi, jelas hanya akan mematikan sifat jangka panjang dari teks itu. 

Al-Fayyadl menyebutnya "jalan hidup intelektual". Menjadi seorang penulis berarti mempersiapkan diri untuk tampil sebagai jangkar intelektual, sebab ia adalah perawat-perawat teks untuk tetap baku dikenang sejarah. Apa artinya jika seorang intelektual, kata Al-Fayyadl, meninggalkan intelektualisme dan dengan pragmatis beralih pada tuntutan kebutuhan pasar, kebutuhan masyarakat?

Bahwa buku (teks) dibuat untuk dibaca masyarakat, adalah benar. Dan memang menjadi suatu keharusan untuk membuat sebuah teks mudah dibaca, tidak menggunakan abstraksi bahasa yang terlampau tinggi. Tapi, keharusan untuk memenuhi kebutuhan pembaca itu tidak lantas menggadaikan aspek identitas dari penulis. Sebab, tanpa identitas, sebuah karya hanya akan menjadi "garis pinggir" dalam teks-teks kesejarahan.

Pragmatisme dalam melahirkan sebuah teks menyebabkan teks hanya berumur pendek, alias tidak dapat digunakan ke banyak keadaan. Sebab, jika teks itu terlampau banyak menggantungkan diri pada konteks, ia menjadi bersifat sangat temporer. Akhirnya, teks-teks itu bisa saja terabaikan, karena tidak bisa dijadikan acuan untuk melihat realitas sosial secara lebih luas.

Keterjebakan ini sangat mungkin kita dapati jika menyelami dunia kepenulisan. Oleh karenanya, penting untuk menghindari jebakan dengan tidak bergantung pada "momentum" dalam menulis. Seakan-akan, kita hanya menulis untuk sebuah momentum tertentu, lalu berlomba-lomba agar dimuat di media. Hal-hal seperti ini berarti menjadikan teks itu sebagai instrumen, dan tidak bisa dijadikan kebiasaan.

*****

Tak hanya itu, teks juga rawan dipisahkan dari konteks sosialnya. Ini terjadi jika menulis hanya dilakukan secara positivistik, tidak melakukan refleksi atas realitas yang nyata.

Penulis dan konteks sosial sesungguhnya "tidak berjarak". Seorang penulis hidup di realitas, bergumul dengan keseharian, dan oleh karenanya teks itu terbentuk dari pengalaman penulis yang dialami. Abstraksi kata yang digunakan tidak secara given muncul di benak penulis, melainkan direfleksikan dari realitas. Artinya, penulis tak boleh menghilangkan variabel konteks sosial dari teks yang ia tulis.

Dalam positivisme, penulis dan realitas seakan berjarak. Akibatnya, subjek -yang berjarak dengan objek- terpaku pada apa yang disebut "metode ilmiah". Yang benar ya yang ilmiah. Tidak lebih.  Ini tentu saja rawan terjebak lagi pada mitos-mitos baru, bahwa kebenaran itu standardnya terukur, material, bisa dilihat, dan lain-lain. Tapi ada yang lebih penting lagi: objek seakan-akan berdiri sendiri tanpa dipengaruhi lingkungannya.

Ketika memperbincangkan manusia, sudah barang tentu hal tersebut tidak tepat. Mungkinkah ada manusia yang hidupnya tidak dipengaruhi lingkungannya? Atau, mungkinkah ada manusia yang antisosial, atau yang tiba-tiba saja ada, tanpa mengalami proses sejarah yang panjang?

Maka, mengabaikan konteks berarti mengandaikan masyarakat sebagai orang-orang mati yang berjalan. Demikian pula dengan teks. Teks dipengaruhi oleh konteks sosial, sejarah, pikiran-pikiran penulisnya. Dan dengan demikian, teks dan konteks adalah saling terkait, hubungannya saling mempengaruhi.

Bukan teks yang mempengaruhi konteks. Dan bukan pula konteks yang mempengaruhi teks. Tapi keduanya adalah sejajar, saling berdialog. Dalam mempelajari konteks, teks tak boleh diabaikan. Ia adalah "pemandu", menjelaskan fenomena dan realitas sosial secara lebih komprehensif. Tapi dalam mempelajari teks, konteks juga tak boleh diabaikan sebagai variabel yang menjelaskan keberadaan teks.

Maka dari itu, hermeneutika menitahkan pada kita untuk mengikutsertakan kedua hal ini dalam posisi yang dialogis. Ini mengimpliklasikan adanya pembongkaran-pembongkaran dari tendensi berkuasa -meminjam istilah Nietzsche- dan relasi-relasi kuasa yang menggeret teks untuk senafas dengan  kepentingan yang ada. Nafas ini harus dipisahkan dari makna; sebab makna itu bukanlah yang tergambar "hanya pada asli"-nya, tapi juga soal interpretasi di belakangnya.

****

Lantas, bagaimana kita mendudukkan teks dan konteks? Mengacu pada bagian pertama, yang berarti kita letakkan pada konteks "penulisan teks", teks harus dibebaskan dari ketergantungannya pada konteks. Membebaskan dari ketergantungan berarti menjadikan konteks itu hadir dalam porsi proporsional, bukan deterministik. Bukan konteks yang mendeterminasi teks, melainkan hanya menjadi referensi.

Namun, pembebasan dari ketergantungan itu bukan berarti meniadakan konteks sama sekali. Konteks tetap ada, sebagai alat untuk menafsirkan teks. Penafsiran bukan hanya melibatkan makna teks secara letterlijk, melainkan pula melibatkan konteks untuk membongkar makna dan tendensi berkuasa yang mungkin saja hadir.

Dan dengan demikian, konteks dan teks menempati porsinya masing-masing. Teks dan Konteks berada dalam posisi "saling berdialog". Dialog berarti membebaskan diri dari mitos-mitos "logos"; bahwa kebenaran itu mutlak dan lain sebagainya. Berdialog berarti menjadi diri sendiri. Jujur, tak ada dusta di antara semuanya.

***hanya catatan untuk menghabiskan waktu. ternyata malah jadi serius, mungkin juga tidak jelas. berfilsafat kadang tidak semudah membaca teks-teks filsafat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar