Rabu, 26 Oktober 2011

"Nahdhiyyin dan Muhammadiyyin"

AHMAD RIZKY MARDHATILLAH UMAR

Saya baru saja membaca tulisannya Pak Heru Prasetia soal Muhammadiyah di blog beliau. Judulnya "Saya dan Muhammadiyah". Tulisannya agak lama. Ditulis kira-kira setahun silam, ketika Jogja sedang menggelar hajatan Muktamar Seabad yang melibatkan pengurus dan penggembira dari seantero penjuru Indonesia.

Yang menarik, tulisan itu mengupas Muhammadiyah dari perspektif Nahdhatul Ulama, yang selama ini sering dianggap vis-a-vis dengan modernisme Muhammadiyah. Sehingga, lahir sebuah perspektif yang sangat berbeda dari tulisan-tulisan lain tentang Muhammadiyah. Saya mengenal penulisnya, sebagai seorang aktivis PMII tahun 1990an, dan sekarang mengelola sebuah lembaga masyarakat sipil bernama Lafadl Initiatives di Yogyakarta.

Saya pun menjadi tertarik untuk membahas masalah ini dari sudut pandang sebaliknya. Tentu saja, dengan perspektif yang sangat subjektif. Saya lebih memilih menceritakan lewat jalur pengalaman, siapa tahu ada rekan-rekan yang mungkin pengalamannya mirip. Bagi yang merasa bosan, dipersilakan mengabaikan.

****

Berbeda dengan mas Heru Prasetia, dalam sejarah hidup saya, justru NU yang sering dipersepsikan dalam makna yang peyoratif. Saya lahir di sebuah lingkungan Muhammadiyah yang kental di Kalimantan Selatan -sebuah daerah basis Nahdhatul Ulama di Kalimantan. Sebagai keluarga "Muhammadiyah", tentu saja lingkungan keluarga saya sangat menolak tradisi-tradisi yang "tidak diajarkan dalam Qur'an dan Sunnah", yang artinya jatuh pada TBC -Takhayul, Bid'ah, Churafat.

Dengan konstruksi dan didikan keluarga yang bersemangat keagamaan modernis tersebut, wajar jika kemudian saya tumbuh besar sebagai seorang yang memperjuangkan visi modernisme dalam keagamaan, yaitu bersikap kritis terhadap realitas umat.

Saya masih ingat betul, tulisan pertama yang saya tulis dan dipublikasikan (walau hanya untuk level majalah dinding sekolah)  berjudul singkat: Bid'ah; tulisan tersebut mengupas perilaku yang mengada-ada dalam agama.

Ini adalah keresahan pertama saya terhadap realitas keagamaan yang dipengaruhi oleh pelbagai tradisi keagamaan yang saya persepsikan tidak sesuai dengan Qur'an dan Sunah, yang, tentu saja, sangat dipengaruhi oleh doktrin anti-TBC dari Muhammadiyah. Ketika itu, saya masih bersekolah di SD Muhammadiyah di daerah.

Lambat laun, saya masih memegang teguh pemikiran keagamaan modernis tersebut, walau saya kemudian pindah ke Sekolah Menengah Pertama. Di sana, semua guru agama berpaham keagamaan tradisionalis, atau sering disebut NU, yang dulu banyak saya kritik ketika SD. Tentu saja saya kemudian menjadi siswa yang cerewet, banyak tanya, baik ketika mata pelajaran Agama Islam atau pengajian agama yang dilakukan oleh sekolah tiap Jumat pagi.

Waktu itu, issue-issue keagamaan di masyarakat memang cukup kental mengupas fenomena-fenomena sepele dalam tajuk ibadah mahdhah. Masalah seperti Qunut, Tahlilan, Yasinan, Tarawih 23 raka'at, dan lain sebagainya sering berserimpung dengan aktivitas ibadah di masyarakat.

Perbincangan biasanya akan semakin "panas" jika bicara soal hari raya. Sudah menjadi kebiasaan bahwa metode hisab dan rukyat yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU akan berbenturan ketika Idul Fitri atau Idul Adha. Pasalnya, yang menggunakan metode hisab pasti akan berhari raya terlebih dulu, asalkan hilal sudah lewat 0 derajat melalui hisab. Sementara NU mensyaratkan harus terlihat mata. Ini juga sering menjadi masalah yang agak pelik di masyarakat.

Perdebatan di tengah masyarakat yang muncul sederhana: kalangan NU mengatakan bahwa "ini amalan yang sudah dikerjakan oleh orang-orang tua dulu", sementara Muhammadiyah berkata "amalannya tidak ada dalilnya di Qur'an dan Sunnah". Jangan salah. Hal-hal seperti ini justru seringkali membawa riak-riak di tengah masyarakat antara kubu NU dan Muhammadiyah.

Di penghujung akhir SMP, saya mulai aktif di pengajian-pengajian Muhammadiyah meski belum terlalu sering, karena kesibukan ujian akhir nasional. Muhammadiyah di Banjarmasin identik dengan pengajian; tiap-tiap mesjid mesti punya agenda pengajian, dan itu dikoordinasikan di tingkatan daerah. Jadi, tiap mesjid punya agenda pengajian di hari yang berbeda. Saya mula-mula aktif di Mesjid Hasanuddin Majedie (yang punya pemahaman keagamaan segaris dengan Muhammadiyah) lalu ke Mesjid Al-Jihad, yang memang merupakan mesjid Muhammadiyah tulen.

Pada forum-forum pengajian itu, saya justru mendapatkan penguatan "ideologi" anti-TBC yang selama ini saya pegang teguh. Akan tetapi, pada forum pengajian itu, pembahasan mengenai hal-hal keagamaan dilakukan secara ilmiah, dengan mengupas dasar dan dalil yang ada, disertai argumentasi rasional. Hal ini membuka pintu masuk bagi saya untuk mengkaji masalah-masalah yang dulu saya kritik, secara lebih terbuka, dan membuka pikiran.

Pun ketika di masa SMA, saya masih aktif di forum-forum pengajian itu. Tapi seiring keaktifan, persepsi saya mengenai aktivitas keagamaan kaum "nahdhiyyin" mulai berubah menjadi lebih "ilmiah", alih-alih fanatik. Apalagi, di masa SMA ini saya juga bersentuhan dengan aktivitas kaum "harakah", dari Hizbut Tahrir, kemudian ke Tarbiyah yang sampai sekarang masih saya "sentuh". Dan tentu saja dengan beberapa kawan dan "guru" yang berlatar NU.

Kebetulan salah seorang kawan dekat saya adalah seorang nahdhiyyin tulen, pernah nyantri di pondok pesantren NU terkenal di Jawa Timur ketika SMP. Dengannya, saya banyak terlibat perdebatan, yang kadang-kadang juga geje; seputar masalah-masalah keagamaan. Dan ini menarik; dua perspektif yang cukup "fanatik" pada waktu itu bertemu, tapi secara fair terdiskusikan dalam beberapa kesempatan.

Meski demikian, perhatian saya ketika SMA ini lebih terfokus pada masalah-masalah organisasi. Saya waktu itu menjadi Ketua MPK di sekolah, yang sedikit-banyaknya tidak lagi berhadapan dengan problem-problem keagamaan, tetapi sosial. Misalnya, anggaran sekolah yang tidak transparan, dugaan korupsi, sampai pungutan yang tidak jelas -komersialisasi- atas nama biaya pendidikan. Jadi, tidak banyak lagi mengurusi problem di atas.

Di masyarakat saya juga memilih aktif di Angkatan Muda Mesjid Al-Jihad, sebuah organisasi remaja mesjid yang cukup dikenal di level Kota Banjarmasin. Keaktifan tersebut dilanjutkan bahkan ketika Pemuda Muhammadiyah Cabang diaktifkan kembali pada tahun 2007, menjelang Musyawarah Daerah yang juga saya ikuti ketika itu. Jadi, ketika SMA saya sudah menentukan pilihan keagamaan, walau juga di sisi lain aktif di kegiatan-kegiatan "harakah" yang waktu itu mendominasi SMA.

Di sini, gaya pandang saya soal "nahdhiyyin" menjadi lebih berbeda lagi; masalah-masalah paham keagamaan tetap menjadi isu yang krusial, tetapi aktivitas lebih sering sosial. Di masyarakat, NU dan Muhammadiyah berada di aras yang sama. Walau berbeda paham keagamaan, tapi aktivitas sosial menjadi tidak lagi berbeda. Hanya basis komunal yang membedakan.

Dan pemahaman soal nahdhiyyin sedikit demi sedikit berkembang ketika saya menjalankan ibadah 'umrah di penghujung masa SMA. Umrah memberi saya insight baru soal agama, yang lebih terbuka, sebab di sana aktivitas keagamaan sangat beragam. Orang India melakukan shalat dengan gaya mazhab Hanafi mereka, orang-orang Syiah dengan ritual mereka yang khas ketika sa'i, dan lain sebagainya. Ketika umrah, saya seakan-akan dituntut untuk menerima pluralitas paham keagamaan, asal atas nama Islam.

Selepas SMA, saya melanjutkan studi di sebuah universitas yang cukup terkenal di Yogyakarta. Di sini, saya menemukan fenomena lain lagi. Di Yogyakarta, rupanya, semua mesjid dalam tatacara shalatnya lebih dekat ke Muhammadiyah. Saya sempat salah mendefinisikan mesjid dekat kontrakan sebagai mesjid Muhammadiyah, ternyata bukan. Jama'ahnya berlatar belakang afiliasi yang beragama. Tapi, tatacara shalatnya tidak berbeda.

Belakangan, saya semakin memahami bahwa persoalan Muhammadiyah-NU tidak menjadi masalah yang terlampau besar di sini. Relasi Muhammadiyah-NU begitu cair; tidak diiringi oleh nuansa-nuansa konflik, apalagi kekuasaan, seperti di Kalimantan Selatan. Justru, yang membuat saya agak terkejut, konflik yang terjadi adalah antara Muhammadiyah dan Tarbiyah, dua komunitas yang sebetulnya menjadi tempat persinggahan organisasional saya ketika SMA.

Ketika kuliah, pikiran saya soal Muhammadiyah-NU lambat laun terabaikan, melihat kondisi. Ketika kuliah, saya memang memilih untuk tidak aktif dalam kegiatan Muhammadiyah, terutama di kampus. Walaupun masih rajin mengikuti pengajian di beberapa tempat. Keaktifan saya justru lebih banyak di komunitas tarbiyah, walau di sana juga tidak jadi siapa-siapa, hanya sekadar menuntut ilmu. Apalagi, ketika kuliah saya semakin banyak "melahap" teks-teks keilmuan, baik dalam ilmu politik hingga filsafat. Ini semakin mempengaruhi mainset saya soal nahdhiyyin dan muhammadiyin.

Namun, dengan keterlibatan di "tempat lain" tersebut, saya justru menemukan banyak hikmah. Pemikiran yang semakin plural, tidak lagi memonopoli kebenaran hanya pada entitas tertentu, menjadi semakin kuat saya rasakan. Islam tidak lagi ditafsiri hanya dalam perspektif yang "tunggal", tetapi bisa jadi dipersilangkan hingga muncul pertemuan-pertemuan. Islam tidak lagi dibingkai hanya dalam kerangka ideologis, tetapi juga ontologis, yang mensyaratkan kita untuk berpikir.

Kendati demikian, pergolakan  pemikiran dan paham keagamaan kerap melahirkan "kegalauan" tersendiri. Menyikapi konflik antara Tarbiyah dan Muhammadiyah, yang dua-duanya adalah komunitas yang saya ikuti sejak duduk di bangku SMA, kerap membuat galau. Sebab, ada beberapa doktrin Tarbiyah yang secara naluriah saya pertanyakan, bahkan tertolak oleh nalar "Muhammadiyah" yang saya pegang erat-erat.

Namun, harus diakui, kegalauan dan keterlibatan di banyak "tempat" itu kemudian menggeser cara pandang saya terhadap kaum Nahdhiyyin, yang dulu saya kritik banyak ketika sekolah. Pikiran saya semakin terbuka dengan pemikiran kawan-kawan yang berlatar Nahdhiyyin dan tampil sebagai intelektual kampus terkemuka. Apalagi saya berkenalan dengan post-tradisionalisme yang dipopulerkan oleh kawan-kawan PMII. Dari mereka saya belajar pemikiran kritis, yang mungkin hanya dapat saya temukan padanannya ketika kuliah.

Dan artinya, persepsi saya tentang Nahdhiyyin menjadi berubah secara drastis. Sikap oposisif dalam pemikiran menjadi mencair dalam beberapa hal tertentu. Ini membuktikan sebuah tesis yang sering saya pakai, sebetulnya: segala hal akan mengalami perubahan, kecuali perubahan itu sendiri.

****

Dalam interaksi saya dengan kalangan Nahdhiyyin, sebetulnya ada beberapa figur yang saya anggap sebagai "guru" -dalam makna informal- yang berlatar belakang Nahdhiyyin yang kental. Mereka tak hanya berperan membentuk karakter saya, kadang-kadang juga menjadi teman diskusi dan tempat berguru dalam beberapa hal hidup.

Sosok "guru" pertama adalah seorang guru agama di SMA saya. Beliau adalah seorang penganut NU yang kental, lulusan sebuah pesantren salafiyah NU yang cukup terkenal di daerah Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut. Tentu saja juga lulusan IAIN. Pernah menjadi fungsionaris di HMI Cabang Banjarmasin. Dari beliaulah saya pertama kali berkenalan dengan organisasi, dan tentu saja pergerakan (saya waktu itu sudah menggandrungi politik).

Ketika duduk di kelas 1 SMA, atas arahan beliau dan melibatkan beberapa rekan Tarbiyah , saya sempat mengorganisir kegiatan di malam tahun baru bagi siswa muslim. Dibuka oleh Asisten Pemerintahan di Pemprov Kalsel. Acara itu sempat membuat beberapa senior yang berafiliasi dengan Hizbut Tahrir agak sentimen. Sebab, sekolah saya adalah basis perkaderan Hizbut Tahrir yang sedang berkembang. Sehingga, aksi saya membuka pintu bagi kelompok lain untuk masuk ke sekolah.

Dari beliaulah saya mengenal kritisisme. Saya sering mendiskusikan beberapa hal terkait transparansi anggaran sekolah dengan beliau, yang dengan senang hati menjawab keresahan saya soal itu. Ketika saya bermasalah dengan Wakasek Kesiswaan soal tulisan saya yang cukup "keras" mengkritik kebijakan sekolah di Opini sebuah harian lokal di Kota Banjarmasin, beliau-lah salah satu guru yang bersikap objektif pada posisi saya dan memberi beberapa insight soal apa yang saya lakukan. Dari beliau, saya belajar banyak soal kritisisme.

Dan ada satu cerita lucu berkait dengan identitas Nahdhiyyin beliau. Suatu ketika, saya datang ke beliau membawa sebuah buku kecil berjudul mujarrobat. Bagi kalangan NU, tentu kenal dengan buku ini. Dengan logika Muhammadiyah yang saya bawa (anti-TBC), saya mempertanyakan isi buku itu kepada beliau. Tapi, di luar perkiraan saya, beliau justru mengulasnya dari sudut pandang Tasawuf, yang berlawanan dengan logika Muhammadiyah yang saya bawa tadi. Untung saja, tidak dituding Wahabi, he he.

Belakangan, saya mendengar bahwa beliau terlibat polemik dengan Kepala Sekolah -yang juga sering sekali saya kritik di media massa ketika SMA- dan akhirnya dengan seorang pejabat di Kota Banjarmasin. Konsekuensinya, beliau akhirnya pindah, tidak lagi mengajar di SMAN 1 Banjarmasin, tetapi kembali ke habitus beliau dengan mengajar di sebuah pesantren NU.

Sosok guru kedua, adalah seorang aktivis tarbiyah yang lama kuliah di Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. Berbeda dengan kebanyakan aktivis Tarbiyah yang saya kenal (dengan identitas yang homogen), identitas beliau lebih kuat Nahdhiyyin. Perkenalan saya pertama kali dengan beliau adalah ketika saya sedang mencari dana di DPRD Kalsel untuk keberangkatan ke Jakarta. Dari sana, saya semakin sering diskusi dengan beliau di banyak kesempatan.

Di Banjarmasin, beliau lebih memilih profesi sebagai wartawan di sebuah harian terbesar di Kalimantan Selatan. Karena saya sering menulis di harian itu, saya justru lebih sering bertemu beliau di kantor redaksi. Keperluan saya adalah mengambil honor tulisan, sementara keperluan beliau adalah ngantor. Kadang-kadang beliau yang menginformasikan kalau tulisan saya dimuat. Pernah pula meminta saya memberi opini di koran tersebut.

Dari beliaulah saya pertama kali mengenal KAMMI, organisasi yang kemudian saya ikuti ketika kuliah. Beliau dulu pernah aktif sebagai pengurus di KAMMI Daerah Yogyakarta dan cukup tajam dalam kapasitas tulisan. Jadi, saya banyak berguru dengan beliau soal kepenulisan. Tentu saja dalam diskusi-diskusi yang sifatnya informal. Belakangan saya ketahui bahwa beliau adalah aktivis yang cukup disegani oleh aktivis-aktivis KAMMI Yogya. Setidaknya oleh beberapa senior ketika saya masih awal-awal kuliah.

Dan beliau pula yang secara terbuka menyampaikan identitas Nadhiyyin beliau. Berbeda dengan kawan-kawan Tarbiyah yang lain yang memilih mengabaikan hal itu. Beliau sempat bergabung dengan PMII di UIN Sunan Kalijaga, yang terkenal sebagai basis PMII di Yogyakarta. Sehingga, ketika berada di Tarbiyah, saya merasa tidak perlu untuk menutupi identitas Muhammadiyah yang memang sudah membentuk saya sejak kecil. Dari sana saya belajar keterbukaan.

Dari beliau, saya belajar mengenai keterbukaan. Beliau yang pernah aktif di PMII UIN Sunan Kalijaga, secara terbuka menyatakan diri sebagai warga Nadhiyyin kepada publik. Dan tidak ada yang keberatan dengan deklarasi itu. Berbeda halnya dengan kawan-kawan Tarbiyah lain yang saya kenal, yang mungkin lebih memilih menyembunyikan -atau mungkin menghilangkan- habitus awalnya ketika bergabung dengan Tarbiyah.

Dari beliau, kemudian saya mencoba untuk memahami Tarbiyah secara kritis. Bahwa Tarbiyah bukan sekadar ketaatan pada Murabbi, atau ketaatan terhadap jamaah, tapi lebih luas: kesadaran kritis. Tarbiyah tidak menghilangkan kritisisme dalam berpikir, yang mungkin sudah jadi karakter bentukan Muhammadiyah yang saya ikuti. Belakangan, saya bahkan memahami bahwaTarbiyah juga tidak menutup kemungkinan bersilangan dengan habitus lain, terutama NU dan Muhammadiyah. (Baca notes saya tentang "tarbiyah persilangan").

Sekarang, beliau lebih memilih untuk aktif di sebuah NGO terkenal di Jakarta, alih-alih masuk jadi pengurus partai. Tentu saja dengan identitas tarbiyah yang kental, tapi bersilangan dengan identitas NU. Dari beliau, saya berkenalan dengan beberapa aktivis KAMMI Yogyakarta -dan KAMMI UGM- yang kini tersebar dengan berbagai profesi di Jakarta.

Sosok ketiga yang saya pandang sebagai "guru" adalah seorang aktivis PMII -gerakan mahasiswa yang berlatar ideologi NU dan Aswaja. Saya baru bertemu beliau sekali, ketika beliau menjadi pemateri Daurah Siyasi beberapa waktu lalu. Beliau terkenal sebagai aktivis muda NU, pernah menjadi Ketua PMII UGM, PMII Sleman, dan Ketua Bidang Kaderisasi PB PMII. Sekarang justru kembali ke habitus beliau, mengelola pesantren.

Dari beliau, saya belajar mengenai kerangka berpikir kritis dan radikal. Wacana yang saya kembangkan akhir-akhir ini, mengenai Islam Transformatif, sebetulnya banyak saya pelajari dari beliau. Pertemuan dengan beliau yang hanya sekali itu banyak membuka cakrawala berpikir saya mengenai pemikiran keagamaan. Walau baru sekali, saya merasa "berguru" dengan beliau, terutama untuk hal ketajaman intelektual dan kesederhanaan hidup.

Tulisan-tulisan beliau yang tajam kerap menjadi referensi saya, terutama ketika saya membuat rangkaian tulisan mengenai Islam, Kekuasaan, dan Postmodernisme yang akhirnya jadi naskah buku. Sayang belum ada kepastian apakah naskah buku itu layak terbit atau tidak.

Sosok keempat malah lebih misterius lagi: tidak pernah saya temui orangnya, tidak pernah berinteraksi langsung, namun hadir mengubah cakrawala dan cara berpikir saya. Sosok ini baru saja hadir dalam hidup saya, menghantui dengan tulisan-tulisannya yang tajam namun dengan abstraksi bahasa sederhana. Sebagai seorang yang ingin menempuh jalan hidup intelektual, saya merasa inferior, belum menjadi apa-apa dibanding beliau.

Beliau adalah aktivis NU tulen, lulusan pesantren NU di Jawa Timur, dan meneruskan kuliah di filsafat UIN Sunan Kalijaga. Di semester kedua dan ketiga, jika saya tak salah dalam membaca lintas perjalanan intelektual beliau, tulisannya sudah akrab dengan koran-koran nasional. Di semester keenam, beliau menerbitkan sebuah buku tentang Jacques Derrida, yang sempat saya salahpahami sebagai skripsi atau disertasi, tapi ternyata tulisan biasa. Buku yang bahkan hingga saat ini masih saya baca karena ketajaman isi dan analisisnya, plus bahasa yang tak susah dimengerti.

Dari beliau, saya banyak belajar soal filsafat. Ketertarikan saya dengan filsafat memang sudah lama, tapi tidak seintens sekarang. Dan beliau memberi saya banyak insight soal ini. Di salah satu tulisannya, beliau mengupas tajam relasi antara "santri" dan "marxisme" yang kita kenal kini sebagai "post-tradisionalisme". Tulisan yang tajam, apik, dan mampu membedah persilangan tradisi pesantren dan Marxisme, sehingga tidak harus dipertentangkan.

Di Muhammadiyah, ada beberapa aktivis yang mirip beliau, tapi dari segi kepenulisan, saya masih belum menemukan figur intelektual muda yang setara pemikirannya dengan beliau. Apalagi di KAMMI, yang tidak banyak bergulat dalam intelektualitas dan pemikiran, hanya satu-dua orang yang mungkin bisa saya sandingkan namanya dengan beliau.

Belakangan, saya ketahui beliau akan melanjutkan studi Master di Paris, tentu di bidang filsafat. Beliau salah satu Nahdhiyyin yang pemikirannya saya jadikan "guru", walau tak pernah bersua sekali jua pun, dalam forum-forum ataupun perjumpaan langsung.

*****

Muhammadiyah dan NU memang terbentang dalam sebuah jarak pemikiran yang berbeda. Di saat NU mengampanyekan kembali pada tradisi, Muhammadiyah menantangnya dengan pembaharuan (tajdid), kembali pada Qur'an dan Sunnah. Di saat NU berkata "tradisi harus dihormati", Muhammadiyah justru menjawab "tradisi yang tak sesuai dengan ajaran Islam, mesti dibersihkan". Dan seterusnya.

Tapi, pada ranah sosial, bentangan pemikiran itu menjadi terasa. Pengalaman saya menyatakan bahwa Nahdhiyyin dan Muhammadiyin boleh berbeda pendapat dalam hal keagamaan, tapi dalam soal sosial, tak ada alasan untuk memutus tali silaturrahim. Boleh-boleh saja jangkar modernisme Islam dilabuhkan oleh Muhammadiyah, tapi modernisme tersebut mesti berdialog dengan lokalitas; bersentuhan dengan tradisi yang telah lama hadir dalam tubuh umat Islam.

Bagi saya, Nahdhiyyin tetap menjadi sesuatu "yang lain". Tapi bukan berarti tak bisa disentuh. Nahdhiyyin mengajarkan pada kita untuk memperhatikan kebudayaan; tradisi. Oleh sebab itulah ia lahir menantang Muhammadiyah. Meski demikian, garis demarkasi antara agama dan budaya juga perlu diperhatikan. Tanpa garis demarkasi, yang terjadi ialah sinkretisme, perpaduan yang saling menenggalamkan antara budaya dan agama.

NU dan Muhammadiyah bukan sekadar entitas. Mereka adalah kebudayaan. Seseorang yang lahir dari kebudayaan, akan sulit melepaskan diri dari ikatannya yang kuat. Mungkin itu terjadi pada saya. Ketika bersentuhan dengan harakah, seperti Tarbiyah, misalnya, ikatan kebudayaan yang dibangun oleh Muhammadiyah dalam kerangka berpikirnya yang saya terima menyebabkan kebudayaan tersebut terbawa ketika bersentuhan dengan mereka.

Dan dari seorang warga nahdhiyyin saya belajar untuk tidak menenggelamkan habitus kebudayaan itu. Sebab, tanpanya, kita akan semakin jauh tereksklusi dari masyarakat. Padahal hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (qudrat-iradat) Allah atas manusia di dunia ini. Dan sebagai konsekuensi logisnya, saya harus terjun ke masyarakat sebagai bagian dari keberbudayaan saya.

Relasi antara Muhammadiyah dan NU kini semakin mencair, terutama di Yogyakarta dan kota-kota besar yang dilabuhi oleh kapal globalisasi. Meski demikian, di daerah, masih ada banyak kegelisahan dan kerawanan sosial. Itulah sebabnya, dialog menjadi penting. Tanpa dialog, yang ada adalah eksklusi, sikap saling-menyalahkan, dan ujung-ujungnya ketegangan.

Kita tentu tak mengharapkan adanya konflik horisontal seperti terjadi di Timur Tengah, antara Sunni dan Syiah. Maka dari itu, warga NU dan Muhammadiyah harus bersikap terbuka satu sama lain. Begitu juga dengan aktivis-aktivis harakah itu. Jangan sampai kita semua jatuh pada kejumudan hanya karena monopoli kebenaran yang sebenarnya tak perlu.

"Al-Islam mahjuubun bil muslimiin", kata Syaikh Muhammad Abduh. Islam itu tertutup oleh umat Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, pemahaman keagamaan yang universal dan transformatif perlu diarusutamakan. Tujuannya sederhana: agar Islam dipahami sebenar-benar sebagai diin, sebagai Islam, yang menerima pluralitas paham di dalamnya sebagai konsekuensi keberagaman.

****

Membaca NU dari perspektif Muhammadiyah memang terasa sangat subjektif. Apalagi jika hanya berkaca dari pengalaman saya. Tulisan ini tidak bertendensi untuk mengupas pemikiran orang lain, tetapi hanya menjadi refleksi diri dari pengalaman hidup yang saya temui selama ini. Anda mungkin tidak setuju, saya persilakan saja.

Dan karena ini tentang nahdhiyyin dan muhammadiyyin, saya akan mengakhiri tulisan ini dengan penutup yang sering sekali digunakan di dua ormas ini:

Wallahu Muwaffiq ila aqwamith thariq.
Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar