Jumat, 21 Oktober 2011

"Post-"

Sesuatu yang mapan, akankah tak terkalahkan? Serapi-rapinya sebuah jamaah, jam'iyyah, perkumpulan, akankah tak teruntuhkan? Tentu saja tidak. Mitos kebertahanan telah rapuh. Di setiap masa, akan ada pelbagai koreksi. Sebab, kepastian yang absolut -dari Allah 'Azza wa Jalla- akan meruntuhkan mereka yang relatif; fana.

*****

Selama bertahun-tahun belakangan ini, kita disajikan oleh berbagai varian pemikiran baru yang awalnya menggunakan kata “post-“. Postmodernisme, poststrukturalisme, postkolonialisme, post-tradisionalisme, dan lain sebagainya. Dalam rentangan pemikiran yang sudah mapan, ia tiba-tiba menghadirkan diri, ingin membongkar dan mengubah semuanya.

Istilah Post- mungkin saja masih tak tuntas kita perdebatan apa maknanya. Tapi yang jelas, ia kini menjadi sebuah penanda basis pemikiran baru; jejaring filsafat baru yang tentu saja tak sederhana. “Post-“ menjadi begitu populer, terlebih ketika teori modernisme, hari ini, sedang berada di titik kritisnya yang akut dalam peradaban manusia.

“Post-“ menghadirkan jalinan makna yang rumit, kompleks. Ia jelas bukan sekadar penanda waktu, yang mengatakan bahwa era “modernisme”, “strukturalisme”, “marxisme”, dan lain sebagainya itu sudah hampir usai. Tidak, tidak sedemikian mudahnya kita menafsirkan kata itu. “Post-“ juga bukan sekadar berarti “zaman baru”, karena konsekuensinya kita harus memberikan makna zaman apakah yang muncul “setelah” zaman baru itu. “

Post-“ jauh lebih rumit dari itu semua. “Post-“ terentang melampaui pertalian sejarah, ikatan pemikiran, tatanan kemanusiaan, dan diaspora peradaban. “Post-“ adalah penanda baru sekaligus lanjutan lama. Ia menautkan masa lalu, kini, dan masa depan, dalam terminologi baru. Ia mungkin “barang lama”, tetapi dengan nafas yang baru.

*****

Sejarah manusia sesungguhnya diawali dengan koreksi. Jika anda mempercayai perspektif konflik, maka perubahan-perubahan sosial yang diimplikasikan oleh konflik itu sesungguhnya adalah koreksi. Baik yang sifatnya total –totalitas— maupun yang parsial. Tidak ada yang tak berubah –mungkin— kecuali perubahan itu sendiri.

Ibnu Khaldun, Toynbee, memperingatkan itu. Hegel juga sama. Apalagi Marx.  Mungkin hanya Fukuyama yang aneh –ia percaya pada manifestasi “roh absolut” pada sejarah— pilihan koreksi itu setidaknya mesti diambil oleh peradaban manusia. Tak ada yang tetap, unilinear, semuanya dinamis. Berubah, progresif, menuju relung perubahannya sendiri. Apakah ia siklis; atau progresif, ini yang jadi perdebatan.

Koreksi-koreksi itu selalu hadir dalam berbagai wujudnya. Ia muncul dalam wujud gerakan protes, komunitas intelektual yang progresif (seperti Ikhwan-ash-shafa), gerakan petani, pemberontakan buruh, revolusi kelas menengah, kudeta, dan lain sebagainya. Ia membentangkan berbagai pilihan:  terkoreksi dari eksternal, karena mekanisme kritik-diri itu tidak berjalan, atau oligarki di tingkatan pucuk pimpinan itu terkalahkan oleh semangat mereka yang terpinggirkan.

Terkoreksi dari luar, berarti membiarkan kekuatan luar masuk ke dalam dirinya, menguasai kekuatannya. Dan artinya, terkuasai oleh kekuatan dari luar. Ekspansi. Penguasaan dari kelompok luar adalah bentuk koreksi. Sejarah pernah mencatat ini dalam relik-relik Baghdad, Troya, Dravida, atau Cordova.

Penguasaan adalah cost of war –meminjam Waltz— terpapar dari kekalahan pasukan militer atas orang-orang lain. Tapi ia juga bisa menjadi lambang kelemahan. Ciri keruntuhan sebuah rezim. Ini sudah diperingatkan Ibnu Khaldun sebelumnya. Sebuah peradaban yang besar, melemah, akan menemui ajalnya di kekuatan luar karena kelemahannya. Romawi Barat kalah dan hancur karena kelemahan, korupsi di dalam dirinya.

Penjaga-penjaga istana kalah tangguh oleh orang-orang Goth yang menyerang dari lembah dan gunung di Jerman, menaklukkan Italia, lalu Roma. Orang-orang Hun, yang berlari dengan kuda dari padang rumput Asia Tengah, mengalahkan orang-orang Gaul, lalu menaklukkan kekuatan Romawi di perbatasan Perancis-Spanyol-Italia. Itulah cermin penguasaan.

Atau, ketika kekuasaan jatuh oleh kekuatan dari dalam kekuasaan itu sendiri. Tak perlu kekuatan militer bersenjata untuk merapuhkan kekuasaan itu. Tak perlu ekspansi atau serangan dari luar. Tapi, terkoreksi dari dalam diri. Itulah masa ketika terjadi revolusi; perubahan. Pembangkitnya terletak pada amarah rakyat. Ketika kekuasaan gagal memenuhi kehendak mereka, atau justru merepresi gejolak itu –karena korupnya— bersiaplah: kekuasaan akan jatuh, dan kekuatan massa menang!

Kronik-kronik semacam itu tergambar di Damaskus, Demak, Moskwa, Paris, atau Tokyo. Di abad yang lebih kontemporer, kita menemui hal-hal serupa di Kairo, Jakarta, Tunis, atau Manila. Kronik akan revolusi dari sebuah gerakan rakyat. Yang walau tak seromantis sejarah sebelumnya, menyiratkan sebuah asa tentang perlawanan: bahwa perlawanan itu masih mungkin, bahkan dalam sistem, organisasi yang begitu rapat tertutup sekalipun.

*****

Koreksi berada di penghujung fase-fase sejarah. Dan koreksi itu adalah Post. Ya, post- adalah simbol koreksi atas sejarah yang terlampau hegemonik, tidak membawa kecerahan, tergelapkan. Post-  terjadi hampir pada semua hal. Sejarah yang gelap itu, cepat atau lambat, pasti akan terkoreksi. Dengan susah payah atau dengan mudah. Dengan bayaran cucuran keringat dan darah, serta pembataian, atau perdamaian sama-sekali.

Yang masih kita perbincangkan adalah caranya: apakah harus cepat atau lambat? Menyeluruh atau parsial? Reformasi, revisi, atau sekadar reformasi? Apakah melibatkan segenap kekuatan rakyat atau cukup elit intelektual kelas-menengah?

Tapi post- mengejawantahkan dirinya dengan cepat: Ia mengubah fase sejarah itu tanpa ada dusta sama sekali, kapan pun ia menampilkan diri ke dunia ini. Dan Post- memainkannya dengan begitu cantik, rapi: dengan permainan intelektual. Dengan pembongkaran, differance –kata Derrida— dengan revisi yang radikal –tak sekadar kompromi politik— Post- menghadirkan dirinya.

Post- hadir ketika Marxisme menghadapi hegemoni Leninisme dan Stalinisme, coba direvisi oleh Trotsky –walau akhirnya ia gagal dengan Internationale Keempatnya— namun langkah-langkah itu diteruskan kawan seperjuangannya. Dan lahirlah Post-Marxisme, sebagai sebuah ruang baru dialektika tak berkesudahan. Ia boleh dibilang bid’ah, bagi fanatik Marxisme dalam tubuh Partai Komunis, tapi ia tetap ada, mempertahankan fondasi dasar Marxisme dalam ontologi pemikiran khas.

Post- hadir ketika Islam menghadapi hegemoni sufisme yang begitu kuat –pada masanya. Hadir Al-Ghazali, menawarkan pencerahannya dalam dunia tasawuf, melakukan koreksi, tapi tak menghilangkan jati diri tasawuf itu sendiri. Tasawuf tetap mencerahkan, tetapi ia kini rasional dan  berpadu-padan dengan hukum.

Dan itulah yang kini dikenal saudara-saudara kaum Nahdhiyyin dengan trilogi Aswaja: tauhid-nya Asy’ari, fiqh-nya Syafi’i, tasawuf-nya seperti Jalan Junaid Al-Baghdadi dengan penyempurnaan Al-Ghazali. Aswaja lahir dari sebuah proses koreksi demi koreksi Post- demi Post-. Dan ini yang hasilnya kita amalkan dari sekarang: didapat dari pertautan sejarah yang tak mudah antara berbagai buah pikir.

Ketika kekuatan politik Islam menghadapi titik terlemahnya, Islam berada di bawah bayang-bayang modernisasi Barat, tiba-tiba muncul Al-Afghani, Abduh, dan Ridha, juga melakukan koreksi; perubahan, atas pola-pikir yang begitu jumud, kaku. Lahirlah pembaharuan.

Di Indonesia, praksisnya menyimbolkan makna tajdid, sebuah gerak meretas zaman  yang tak henti melalui praksis-praksis pembebasan umat, pencerahan, kemanusiaan. Tajdid adalah koreksi; ia adalah koreksi atas praksis yang tak bersesuaian dengan kondisi umat, yang jumud, kaku, tak siap menghadapi perubahan. Dan dari rahim koreksi itulah, lahir Muhammadiyah.

Itulah koreksi, sebuah perjalanan sejarah yang panjang, tak henti, dan terus mendinamisasi diri. Sebuah identitas Post- . Dan di sinilah identitas itu dipertaruhkan: Siapkah kita jika koreksi itu datang, dunia menghadapi Post- nya masing-masing yang tak sederhana, menghampiri secara tiba-tiba, tanpa kita bisa bersiap atas perubahan yang baru datang itu?

*****

Post- adalah keniscayaan. Ketika teori modernisme sudah berada di titik kritisnya yang akut, ia akan bergeser, sedikit demi sedikit, menjadi postmodernisme. Aras filsafatnya sudah ditentukan. Basis epistemologisnya telah diteguhkan. Kini, pertanyaan yang tak kunjung bisa dijawab: apakah itu sudah cukup kuat untuk menggantikan?

Setiap lembaga, organisasi yang ada di dunia ini, mesti mengalami koreksi, sampai pada titik Post-. Ketika sebuah organisasi besar, kecenderungan terbelah ke dalam faksi-faksi itu semakin besar pula, maka bersiaplah menuju titik Post- itu. Jika kekuasaan yang absolut itu semakin terasa menindas, maka hati-hatilah. Mungkin yang “Post- “ itu kini sudah hadir di antara kita, siap melakukan tugas sejarahnya: mengoreksi.

Koreksi pasti ada dalam setiap lembaga ideologis. Hanya saja, pilihan-pilihan itu masih diambangkan: apakah ingin revisionistik, reformis, ataupun sekalian revolusioner. Ini dibebankan pada anak-anak muda, yang terpinggirkan, yang tak punya beban sejarah untuk ditudingkan. Koreksi itu ada di tangan anak-anak muda. Dan lagi-lagi kita ditanya: apakah cukup kuat untuk menggantikan?

Jika anak mudanya hanya gemar berselingkuh dengan kekuasaan alih-alih menjaga diagram alir intelektualisme agar tak putus di tengah jalan, lebih gemar menghamba pada keran-keran sumber kekayaan dan kekuasaan agar tak kehausan, dan lebih suka berpraksis daripada berpikir, tak salah jika status-quo itu masih tetap tertawa. Sebab, anak mudanya masih bisa diperalat, demi kekuasaan mereka yang tak seberapa itu.

Dan koreksi itu lahir dari pinggiran. Sedikit-demi-sedikit ia membesar, memberi kesempatan masuk ke tengah. Dan di sanalah muncul kemarahan. Yang biasa di-tengah tak akan marah pada penindasan. Ia akan marah jika kekuasaannya diambil. Tapi yang berada di pinggiran, ditindas dan dipinggirkan sekian lama, akan meledak emosinya ketika bersentuhan dengan yang-di-tengah. Dan bersiaplah, mungkin koreksi itu tak akan lama lagi hadir di tengah-tengah kita.

Karena koreksi rakyat selalu datang dari pinggir jalan, bukan dari tengah-tengah kekuasaan, maka ingatlah: hormati kaum pinggiran. Jika itu datang dari pusat kekuasaan, yakinlah, itu bukan suara rakyat, melainkan hanya kompromi politik untuk membagi-bagi kekuasaan. Dan nantinya, rakyat masih akan terus ditindas, tanpa mendapatkan apa-apa.

Post- datang dari pinggiran. Ia merangsek yang mapan, mendekonstruksinya, menjadikannya tak bermakna. Dan Post- adalah sebuah kemestian sejarah. Kapanpun ia siap, ia pasti datang untuk melakukannya. Dan kita bertanya-tanya: Sudahkah kita mempersiapkan diri untuk itu?

******

Di hadapan masyarakat kita terbentang sebuah pilihan: Apakah ingin mengoreksi diri sendiri, melalui transformasi, ataukah ingin dikoreksi orang lain, yang mengubahnya secara cepat, drastis, total, melalui revolusi. Sesungguhnya pilihan-pilihan itu sudah diberikan oleh Allah -Sang Maha Berkehendak;  pada kita. Tanda-tandanya sudah jelas. Persoalannya sederhana: Afalaa tatafakkaruun?  Mengapa kita tidak berpikir

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.
Wa basy-syiril mu’miniin.

Manggung, masih berjuang melawan sakit cacar.

1 komentar:

  1. They don't work! They'll show you how to get an sizegenetics, but that's about all, and also an sizegenetics has never been a problem for me, so the pump was simply a waste of money.But what about penis sizegenetics sizegenetics and lotions? Forget about them! How could any pill or lotion give you a bigger penis? Now, if for example your makers of Viagra brought out a penis sizegenetics pill, I would certainly be tempted to give it a try, but otherwise, no thank you.Founded on this man's experience, and my own opinion as a good researcher and reviewer on this field, if you'd like a bigger penis, quick bail bonds prepared to work for it.
    http://sizegenetics-reviewx.tumblr.com/

    BalasHapus