Jumat, 30 Desember 2011

Dari Warung Susu ke Gelanggang Mahasiswa (Bagian 2)

Pendeknya, ada yang ribut-ribut karena hawanya waktu itu adalah Pemira, tapi justru ada yang apresiasi positif. Ribut-ribut itu adalah karena Pemira sedang cukup 'panas'.  Memang, pada waktu itu politburo Tarbiyah mengeluarkan instruksi untuk dukung Luthfi di Pemira. Jadi, biarpun nuansanya independen, tapi tetap by control. Jelas hal seperti ini meneguhkan sikap kami di luar aktivisme BEM untuk sementara. Lingkar Studi Bulaksumur menjadi pilihan utama, sembari juga turut aktif di luar.

Mungkin, karena latar belakang kami yang sama-sama dari satu organ tertentu (walau semuanya berbeda langgam dan sikap), membuat kami mendapatkan beberapa stigma. Rata-rata, sinisme ini datang dari mereka yang punya kedudukan di lembaga mahasiswa. Ada yang mempertanyakan maksud pendirian komunitas. Ada yang menganggap ini orang-orang yang melangit. Dan seabrek sinisme lainnya.

Mereka yang berpikiran sinis itu rupa-rupanya menganggap komunitas ini political; merasa sebagai ancaman. Mungkin bisa sedikit 'dimaklumi', mengingat pegiat komunitas ini hampir semuanya pernah mengenyam Daurah Marhalah 1 di KAMMI. Bahkan ada beberapa orang seperti saya yang justru aktif di sana (waktu itu saya menjadi Ketua Departemen  Kajian Strategis). Dan sinisme itu muncul dari kelompok yang merasa kebakaran "jenggot" yang, ironisnya, justru berasal dari tubuh yang sama, yaitu dari internal kawan-kawan Tarbiyah sendiri!

Tapi tetap saja stigma itu tak banyak, hanya kami anggap angin lalu. Suara-suara sinis yang kami dengar terkait LSB tak surutkan langkah kami besarkan komunitas. Sebab gagasan kami sederhana: membongkar kembali intelektualitas bulaksumur dari masing-masing tokoh Universitas Gadjah Mada!

Dengan segala keterbatasan yang kami miliki di komunitas, kami tetap menjalankan komunitas baru ini. Lingkar Studi Bulaksumur langsung menghelat diskusi perdananya di awal Maret. Waktu itu, saya sedang bersiap untuk berangkat ke Malaysia. Diskusinya sederhana, digelar di Fakultas Ekonomi, menghadirkan dua orang pembicara, yaitu pak Heri Santoso (Dosen Fakultas Filsafat UGM) dan Giovanni van Empel alias Sinyo sendiri.

Di forum itulah Giovanni van Empel membuktikan gagasannya yang relevan dengan semangat ke-gadjah-mada-an. Waktu itu, forum membahas pemikiran Prof. Dr. Sardjito, Rektor UGM yang pertama. Pemikiran Sardjito yang notabene adalah seorang dokter dikupas oleh Sinyo dari perspektifnya sebagai mahasiswa Kedokteran. Ini menarik, sebab dari kebiasaan mahasiswa Fakultas Kedokteran, jarang yang mampu berpikir filosofis seperti Sinyo.

Diskusi di Fakultas Ekonomi itu kemudian dilanjutkan dengan "nonton bareng" dua minggu kemudian, di fakultas yang sama. Tentang Einstein. Cukup menarik, dihadiri oleh berbagai peserta. LSB semakin kokoh sebagai komunitas yang berfokus pada intelektualitas mahasiswa.

Kehadiran LSB sebagai komunitas ini juga kemudian membawa sinisme tersendiri. Ada beberapa kawan yang menganggap komunitas ini tidak konkret, terlalu melangit. Tetapi, justru lebih banyak yang mengapresiasi positif. Bulan berikutnya, kami menggelar diskusi serupa bertema Ilmu Sosial Profetik, Kuntowijoyo. Peserta yang hadir sekitar lebih dari 30an, bertempat di Fakultas Ilmu Budaya.

Pembicara yang dihadirkan adalah Dr. Syarifuddin Jurdi (Dosen UIN), Syamsul Ma'arief (Dosen Fakultas Filsafat), dan saya sendiri. Belakangan makalah yang saya tulis untuk diskusi saya jadikan referensi untuk mengikuti Kongres Pancasila di Surabaya.

Terlepas dari serangkaian diskusi yang kami lakukan, harapan kami dari LSB adalah membentuk sebuah wadah baru tempat berkumpul intelektual yang 'gelisah' dengan kondisi kampus. Perlu diketahui, di dalam kami sendiri bukannya tidak ada dinamika. Perdebatan-perdebatan serius tapi santai kerap terjadi antara beberapa eksponen komunitas. Tapi, seiring berjalannya waktu, perdebatan dan konflik itu seperti pemanis dalam perjalanan intelektual kami masing-masing.

Keberadaan LSB bukan menghalangi kami beraktivitas. Sejak awal 2011, saya terlibat di KAMMI sebagai Ketua Departemen Kajian Strategis, diikuti oleh Ivan yang menjadi Ketua Departemen Humas di pertengahan tahun. Riski sibuk membantu penelitian Prof. Mudrajad Kuncoro, Azmy dan Dani KKN, Sinyo ke luar negeri. Dinamika yang cukup membuat aktivitas LSB tertahan di pertengahan 2011. Saya sendiri akhirnya juga ikut terlarut dan sibuk dengan aktivitas sendiri.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar