Pengantar
Bagi setiap nation-state yang memiliki wilayah luas, gerakan separatis pasti menjadi sebuah masalah besar. Setidaknya, gerakan separatis telah membuat beberapa negara harus mengeluarkan biaya besar. Tak hanya itu, gerakan separatis juga menghasilkan kerugian bagi warga sipil yang tidak terlibat secara langsung dalam wilayah dan eskalasi konflik.
Ada dua faktor penting yang mendukung munculnya gerakan separatis, yaitu potensi konflik yang tak terkelola dengan baik dan adanya benturan kepentingan antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing. Kita ambil contoh gerakan separatis sayap kiri Kolombia, di mana potensi konflik karena perbedaan ideologi antara pemerintah dan oposisi tak diselesaikan secara baik. Apalagi dengan adanya intervensi dari negara Barat, kelompok sayap kiri semakin gencar melakukan serangan kepada pemerintah.
Penulis akan menganalisis gerakan separatis yang terjadi di beberapa negara beserta implikasi dan upaya penyelesaian yang dapat dilakukan untuk meredam gejolak tersebut.
Pengalaman Politik : Indonesia, Georgia, Nepal, Turki
ita dapat bercermin pada gerakan separatis di Indonesia, Georgia, Nepal, dan Turki. Seperti diketahui, ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia, Republik Ossetia Selatan di Georgia, gerilyawan Maois di Nepal, serta Republik Kurdistan di Turki. Gerakan separatis di empat negara ini memilik perbedaan dalam ideologi dan strategi gerakan, serta berbeda sikap dalam negosiasi dengan pemerintah yang bersangkutan.
Pada kasus Indonesia, konstelasi politik nasional berpengaruh terhadap keberadaan gerakan separatis. Presiden Soeharto (Orde Baru) mengambil langkah represif dengan menggunakan kekuatan militer untuk menumpas GAM di Aceh. Cara ini justru menimbulkan banyak korban dari warga sipil. Pasca-Soeharto, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan diplomatik dan mengedepankan negosiasi-negosiasi dengan kelompok separatis. Cara ini terbukti efektif dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara wakil GAM dengan pemerintah Indonesia dengan mediasi Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.
Langkah ini berbeda dengan cara pemerintah Georgia dalam menghadapi kelompok separatis Republik Osetia Selatan dan Abkhazia. Georgia lebih menggunakan pendekatan represif dan militeristik dalam merespons pergerakan kelompok ini. Terbukti pada bulan Agustus 2008, pemerintah Georgia melancarkan operasi militer dadakan ke Tskhinvali, ibukota Osetia Selatan. Akan tetapi, serangan ini ternyata salah perhitungan karena memakan korban warga sipil sehingga mempertegang hubungan diplomatik dengan Rusia. Akibatnya bisa ditebak: Rusia menyatakan perang dengan Georgia dan mengarahkan persenjataan berat mereka ke Tbilisi, ibukota Georgia.
Lain halnya dengan Nepal. Kelompok Maois menggunakan taktik medieval warfare dan merongrong kedudukan Raja Gyanendra yang sangat absolut. Mereka tidak melakukan serangan terbuka, namun sesekali melancarkan serangan ke fasilitas pemerintah secara sporadis. Namun, memanasnya suhu politik nasional membuat kelompok ini juga turut berjuang bersama rakyat menentang pembubaran monarki Hindu. Pasca-kejatuhan Raja Gyanendra, kelompok Maois justru mencalonkan seorang capres untuk bersaing di Majelis Konstitusi, kendati akhirnya dikalahkan oleh kandidat Nepal Congress, Ram Baran Yadav.
Terakhir, gerakan Republik Kurdistan di Turki. Masih kuatnya kelompok militer di pemerintahan Turki membuat upaya perdamaian dan negosiasi seringkali terhambat. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Ghul yang berasal dari faksi Islam sebetulnya telah memikirkan upaya negosiasi damai, tetapi sikap keras dari pemberontak dan penentangan dari kekuatan militer membuat upaya mereka tak dapat berjalan. Apalagi konstelasi politik di negara tersebut kian menghangat setelah faksi Islam yang menguasai parlemen dituduh mengkhianati nilai-nilai sekularisme dalam konstitusi.
Meredakan Ketegangan
Bagaimana upaya resolusi konflik yang dapat menghubungkan gerakan separatis dan pemerintah? Penulis memiliki beberapa pendapat mengenai hal tersebut.
Pertama, negosiasi mesti dilakukan. Pada dasarnya, konflik kepentingan dapat dihindari dengan memperlemah idealisme masing-masing pihak dan memikirkan alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perundingan mesti sesegera mungkin dilakukan dengan adanya mediasi dari sebuah lembaga internasional. Penulis berpikir PBB perlu masuk dalam tahap negosiasi ini.
Kedua, penghentian penggunaan kekuatan militer oleh kedua belah pihak dan evakuasi kelompok sipil. Sikap ini mesti didahului oleh pemerintah yang memiliki kekuatan militer. Di samping itu, pemerintah juga mesti menyerukan kepada gerakan separatis untuk tidak menggunakan warga sipil sebagai tameng. Ini penting karena warga sipil harus diutamakan keselamatannya. Jika ini dilanggar, baik pemerintah maupun kelompok separatis telah melanggar HAM.
Ketiga, dukungan internasional memang diperlukan, tetapi intervensi negara lain harus dihindari. Dalam kasus Ossetia, misalnya, keterlibatan Rusia yang mengintervensi penyelesaian militer Georgia justru membuka masalah baru. Sah-sah saja Rusia memprotes operasi militer Georgia, tetapi Rusia juga tidak boleh melanggar batas kedaulatan suatu negara. Hal ini bertentangan dengan principle of non-intervention in the domestic affair (Setiawati, 2004: 41) dan souveregin equality of nations (Budiardjo, 1972: 42).
Keempat, adanya political will dari pemerintah untuk membuka jalan baru dalam peningkatan pembangunan nasional. Di beberapa tempat, seperti Indonesia, Thailand, atau Filipina, gerakan separatis muncul Karena faktor kesejahteraan (welfare) atau keadilan (justice). Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan model kebijakan baru agar semua kepentingan dapat terakomodasi dengan baik. Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan lama dan memperhatikan kesejahteraan rakyat di semua sudut negaranya.
Kelima, perlunya penggunaan media non-perundingan atau militer sebagai alat perekat hubungan antara kelompok separatis dan pemerintah. Upaya yang kini dikenal sebagai diplomasi publik ini dapat memanfaatkan sarana-sarana sipil, seperti olahraga, hiburan, atau agama. Perlu dicatat, penggunaan sarana-sarana tersebut bukan berarti adanya politisasi terhadap sipil, tetapi lebih mengedepankan citra baik dan damai dalam penyelesaian konflik. Cara ini memerlukan pendekatan yang lebih persuasif dalam negosiasi damai yang dilakukan.
Lima cara ini patut dilakukan sebagai langkah untuk resolusi konflik. Ingat, eskalasi konflik yang rawan dan konstelasi politik yang panas dapat mengakibatkan lahirnya konflik dan separatisme. Oleh karena itu, gerakan separatis sudah seharusnya diredam dengan melepaskan ego dan idealisme masing-masing disertai alternatf penyelesaian yang tepat. Jika cara ini dapat dilakukan, perdamaian dan integrasi bukan mustahil dapat diwujudkan.
No Intervention, Save Civil Supremacy!
Bagi setiap nation-state yang memiliki wilayah luas, gerakan separatis pasti menjadi sebuah masalah besar. Setidaknya, gerakan separatis telah membuat beberapa negara harus mengeluarkan biaya besar. Tak hanya itu, gerakan separatis juga menghasilkan kerugian bagi warga sipil yang tidak terlibat secara langsung dalam wilayah dan eskalasi konflik.
Ada dua faktor penting yang mendukung munculnya gerakan separatis, yaitu potensi konflik yang tak terkelola dengan baik dan adanya benturan kepentingan antara kekuatan-kekuatan politik yang bersaing. Kita ambil contoh gerakan separatis sayap kiri Kolombia, di mana potensi konflik karena perbedaan ideologi antara pemerintah dan oposisi tak diselesaikan secara baik. Apalagi dengan adanya intervensi dari negara Barat, kelompok sayap kiri semakin gencar melakukan serangan kepada pemerintah.
Penulis akan menganalisis gerakan separatis yang terjadi di beberapa negara beserta implikasi dan upaya penyelesaian yang dapat dilakukan untuk meredam gejolak tersebut.
Pengalaman Politik : Indonesia, Georgia, Nepal, Turki
ita dapat bercermin pada gerakan separatis di Indonesia, Georgia, Nepal, dan Turki. Seperti diketahui, ada Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Indonesia, Republik Ossetia Selatan di Georgia, gerilyawan Maois di Nepal, serta Republik Kurdistan di Turki. Gerakan separatis di empat negara ini memilik perbedaan dalam ideologi dan strategi gerakan, serta berbeda sikap dalam negosiasi dengan pemerintah yang bersangkutan.
Pada kasus Indonesia, konstelasi politik nasional berpengaruh terhadap keberadaan gerakan separatis. Presiden Soeharto (Orde Baru) mengambil langkah represif dengan menggunakan kekuatan militer untuk menumpas GAM di Aceh. Cara ini justru menimbulkan banyak korban dari warga sipil. Pasca-Soeharto, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan diplomatik dan mengedepankan negosiasi-negosiasi dengan kelompok separatis. Cara ini terbukti efektif dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara wakil GAM dengan pemerintah Indonesia dengan mediasi Presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.
Langkah ini berbeda dengan cara pemerintah Georgia dalam menghadapi kelompok separatis Republik Osetia Selatan dan Abkhazia. Georgia lebih menggunakan pendekatan represif dan militeristik dalam merespons pergerakan kelompok ini. Terbukti pada bulan Agustus 2008, pemerintah Georgia melancarkan operasi militer dadakan ke Tskhinvali, ibukota Osetia Selatan. Akan tetapi, serangan ini ternyata salah perhitungan karena memakan korban warga sipil sehingga mempertegang hubungan diplomatik dengan Rusia. Akibatnya bisa ditebak: Rusia menyatakan perang dengan Georgia dan mengarahkan persenjataan berat mereka ke Tbilisi, ibukota Georgia.
Lain halnya dengan Nepal. Kelompok Maois menggunakan taktik medieval warfare dan merongrong kedudukan Raja Gyanendra yang sangat absolut. Mereka tidak melakukan serangan terbuka, namun sesekali melancarkan serangan ke fasilitas pemerintah secara sporadis. Namun, memanasnya suhu politik nasional membuat kelompok ini juga turut berjuang bersama rakyat menentang pembubaran monarki Hindu. Pasca-kejatuhan Raja Gyanendra, kelompok Maois justru mencalonkan seorang capres untuk bersaing di Majelis Konstitusi, kendati akhirnya dikalahkan oleh kandidat Nepal Congress, Ram Baran Yadav.
Terakhir, gerakan Republik Kurdistan di Turki. Masih kuatnya kelompok militer di pemerintahan Turki membuat upaya perdamaian dan negosiasi seringkali terhambat. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dan Abdullah Ghul yang berasal dari faksi Islam sebetulnya telah memikirkan upaya negosiasi damai, tetapi sikap keras dari pemberontak dan penentangan dari kekuatan militer membuat upaya mereka tak dapat berjalan. Apalagi konstelasi politik di negara tersebut kian menghangat setelah faksi Islam yang menguasai parlemen dituduh mengkhianati nilai-nilai sekularisme dalam konstitusi.
Meredakan Ketegangan
Bagaimana upaya resolusi konflik yang dapat menghubungkan gerakan separatis dan pemerintah? Penulis memiliki beberapa pendapat mengenai hal tersebut.
Pertama, negosiasi mesti dilakukan. Pada dasarnya, konflik kepentingan dapat dihindari dengan memperlemah idealisme masing-masing pihak dan memikirkan alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan kedua belah pihak. Oleh karena itu, perundingan mesti sesegera mungkin dilakukan dengan adanya mediasi dari sebuah lembaga internasional. Penulis berpikir PBB perlu masuk dalam tahap negosiasi ini.
Kedua, penghentian penggunaan kekuatan militer oleh kedua belah pihak dan evakuasi kelompok sipil. Sikap ini mesti didahului oleh pemerintah yang memiliki kekuatan militer. Di samping itu, pemerintah juga mesti menyerukan kepada gerakan separatis untuk tidak menggunakan warga sipil sebagai tameng. Ini penting karena warga sipil harus diutamakan keselamatannya. Jika ini dilanggar, baik pemerintah maupun kelompok separatis telah melanggar HAM.
Ketiga, dukungan internasional memang diperlukan, tetapi intervensi negara lain harus dihindari. Dalam kasus Ossetia, misalnya, keterlibatan Rusia yang mengintervensi penyelesaian militer Georgia justru membuka masalah baru. Sah-sah saja Rusia memprotes operasi militer Georgia, tetapi Rusia juga tidak boleh melanggar batas kedaulatan suatu negara. Hal ini bertentangan dengan principle of non-intervention in the domestic affair (Setiawati, 2004: 41) dan souveregin equality of nations (Budiardjo, 1972: 42).
Keempat, adanya political will dari pemerintah untuk membuka jalan baru dalam peningkatan pembangunan nasional. Di beberapa tempat, seperti Indonesia, Thailand, atau Filipina, gerakan separatis muncul Karena faktor kesejahteraan (welfare) atau keadilan (justice). Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan model kebijakan baru agar semua kepentingan dapat terakomodasi dengan baik. Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan lama dan memperhatikan kesejahteraan rakyat di semua sudut negaranya.
Kelima, perlunya penggunaan media non-perundingan atau militer sebagai alat perekat hubungan antara kelompok separatis dan pemerintah. Upaya yang kini dikenal sebagai diplomasi publik ini dapat memanfaatkan sarana-sarana sipil, seperti olahraga, hiburan, atau agama. Perlu dicatat, penggunaan sarana-sarana tersebut bukan berarti adanya politisasi terhadap sipil, tetapi lebih mengedepankan citra baik dan damai dalam penyelesaian konflik. Cara ini memerlukan pendekatan yang lebih persuasif dalam negosiasi damai yang dilakukan.
Lima cara ini patut dilakukan sebagai langkah untuk resolusi konflik. Ingat, eskalasi konflik yang rawan dan konstelasi politik yang panas dapat mengakibatkan lahirnya konflik dan separatisme. Oleh karena itu, gerakan separatis sudah seharusnya diredam dengan melepaskan ego dan idealisme masing-masing disertai alternatf penyelesaian yang tepat. Jika cara ini dapat dilakukan, perdamaian dan integrasi bukan mustahil dapat diwujudkan.
No Intervention, Save Civil Supremacy!
salah satu hal yang patut menjadi referensi paradigma disini salah satunya adalah bangkitnya identitas sivilisasional sebagai bentuk menifestasi "saya, kami" dan "kamu, mereka". Kembali menguatnya identitas perdaban adalah salah satu fenomena nyata abad 21, alih-alih universalisasi peradaban. Dalam kasus Ossetia pun dapat diketemukan simptom serupa. Kesadaran beretnis yang dimiliki oleh rakyat Ossetia dan Abkhazia telah mendorong perefleksian "siapa kami". Hal ini menjadi preferensi utama dalam menentukan siapa aliansi dan siapa musuh. Ossetia dan Abkhazia yang merasa diri beretnis Slav, yakni mayoritas etnis di russia, cenderung menempatkan dirinya sebagai saudara Russia, dan menganggap dirinya kelompok asing di tanah Georgia. Hal ini sebagai bahan pertimbangan
BalasHapushei... siapa nih, tolong dong kasih link biar kita bisa diskusi....
BalasHapusAnda benar, bahwa "Saya" dan "kamu" menjadi masalah yang cukup serius dalam hubungan Osetia-Georgia. Ini menandakan ada etnosentrisme yang cukup kuat di daerah tsb. Bahwa memang ada keterikatan yang kuat antara Rusia dan Osetia, saya sependapat saja.
BalasHapusTetapi, tindakan Rusia yang menyerang wilayah tsb juga tidak bisa dijustifikasi. Sebelum ada pengakuan kedaulatan atas berdirinya Republik Osetia Selatan, wilayah Abkhazia dan Osetia tetap menjadi wilayah Georgia.
Memang, operasi militer Georgia dadakan ke wilayah Tskhinvali juga sangat gegabah. Alih-alih menumpas gerakan, tindakan mereka justru membuat orang2 sana mengonsolidasi diri. Namun, menurut saya, Langkah yang paling tepat --jika ini konstitusional dalam hukum Georgia-- adalah melakukan referendum kepada rakyat Osetia, apakah memang ingin memerdekakan diri atau tidak. Ini akan memperjelas batasan yang dihadapi pada perundingan.
Kita patut juga berkaca dalam konflik Chechnya. Gerilyawan Chechen merasa sangat dirugikan pada kebijakan yang ditelurkan oleh Kremlin. Apalagi, Chechnya mayoritas beragama Islam; Mereka merasa kepentingan etnis dan agama mereka seringkali tidak diperhatikan oleh Kremlin...
Ini juga patut menjadi referensi saya kira...
Patut juga kita melihat konflik Kossovo. yah, mungkin data2 saya kurang lengkap, silakan ditanggapi lagi...
Tolong dong kasih link biar kita bisa diskusi.
Syukran Katsir, Jazakumullah Khair...
Hmmm, referendum??Semua negara sepakat bahwa ini adalah cara yang "paling tidak afdol" dalam menentukan nkehendak kemerdekaan sebuah region. Referendum dianggap sebagai pukulan telak bagi kedua belah pihak ketika hasil yang terjadi tidak sesuai ekspektasi suatu region tertentu. Ketika hasil referendum menunjukkan fakta bahwa, misalnya Ossetia berkehendak untuk bebas, maka otomatis bagi Georgia sudah tidak mempunyai otoritas lagi untuk mendeterminisir masa depan ossetia, yang pasti sengaja dihindari oleh Georgia, begitu pula sebaliknya. Ini pula halnya mengapa mengapa dahulu Belanda sebisa mungkin menghindari referendum atas Irian Barat sebagai metode pemecahan masalah. Saat ini, Rusia secara sepihak sudah mengakui kedaulatan dua provinsi tersebut, dan saya kira, sepanjang masalah ini terhenti sampai disini, maka biarkanlah saja.disini saya tidak menjustifilasi bahwa tindakan Rusia adalah sah. Kenyataan bahwa Rusia merusak konvensi hukum internasional adalah perilaku umum yang dilakukan oleh Amerika Serikat, dan dalam jangka waktu temporal, distribusi kekuasaan di dunia ini saya kira diperlukan untuk lebih menjaga kepentingan-kepentingan regional tertentu, dan sebagai sumber power untuk melawan arbitrase Barat. Tata Dunia Baru yang disponsori oleh AS, nyata-nyata mereka juga yang melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh "ide" tersebut.
BalasHapusKetika anda meginginkan sebuah "fair value" berlaku dalam dunia Internasional, saya rasa PBB sebagai pemegang otoritas penjaga stabilitas dunia-lah yang perlu sebuah "reformasi secara struktural" terutama di dlam lembaga dewan keamanannya. Yang dilakukan oleh rusia saat ini juga dapat ditafsirkan sebagai "demonstration of power" untuk menujukkan bahwa Rusia dan peradabannya siap menantang Barat.
Hmmm... Referendum itu sendiri bukannya tanpa syarat. Paling tidak, saya menawarkan ada beberapa langkah pra-referendum yang mesti dilakukan.
BalasHapusPertama, penarikan tentara Rusia dari seluruh batas wilayah Georgia. Kedua, penempatan pasukan penjaga perdamaian PBB (Bukan NATO) di kawasan Osetia dan Abkhazia. Wilayah tersebut harus dijadikan buffer area, untuk menjaga agar tidak ada tindakan militer yang berlebihan, baik oleh pemberontak, militer Georgia, maupun Rusia. Ketiga, adanya serangkaian perundingan antara pemberontak dan militer Georgia. Keempat, evakuasi warga asing dari daerah konflik, karena akan memantik konflik yang lebih rumit. Kelima,
Pra-referendum tersebut harus terlebih dulu dijalankan. Sebagai catatan, langkah-langkah yang saya tawarkan baik di atas atau komen sebelumnya harus bebas sama sekali dari intervensi asing. Rusia, AS, atau NATO harus menahan diri untuk tidak masuk terlalu jauh dalam eskalasi konflik.
Keterlibatan Dewan Keamanan PBB secara politis saya rasa tidak perlu, mengingat RUsia sebagai negara agresor adalah anggota tetap DK PBB. PBB juga tidak perlu mengajukan resolusi untuk sanksi dalam hal ini, karena toh sia-sia dan pasti akan diveto oleh Rusia. Namun, keberadaan pasukan penjaga perdamaian tetap diperlukan untuk mengantisipasi konflik yang lebih jauh. Namun perlu diingat, pasukan perdamaian harus melepaskan diri dari kekuatan politik negara manapun, entah Rusia, AS, Georgia, atau negara lain yang berkepentingan dalam hal ini...
Mengenai reformasi PBB, nantikan saja posting-an saya selanjutnya, belum ditulis hehehehe.... Yah, perlu sebuah artikel untuk menganalisisnya.
Nasrun Minallah Wa Fathun Qarib.
Wallahu a'lam bish shawwab.
entah kau itu belajar politik darimana...
BalasHapussemua teorimu tag ada yang transparan sama sekali tag ada yang realistis...
dasar pengamat politik yang pertama adalah adanya relevansi pada kenyataan politik yang ada...
contoh:
"Sebelum ada pengakuan kedaulatan atas berdirinya Republik Osetia Selatan, wilayah Abkhazia dan Oseatia tetap menjadi wilayah Georgia."
gila....
orang dari planet mana yang masih pake dasar kaya gini...
tau ga sih kalo rusia itu menyerang daerah georgia atas dasar "CITIZENSHIP" garis bawahin ya kata itu....(kewarganegaraan)...
yang mulai dikembangkan rusia atas dasar etnis yang berada di osseatia
hua hua hua
BalasHapusaku sampe ga tau lg mau mulai dari mana....
teory yang absurd
liat:
"Pasca-Soeharto, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan diplomatik dan mengedepankan negosiasi-negosiasi dengan kelompok separatis."
setahu aku megawati MEGAWATI itu eranya setelah soeharto dan megawati menerapkan DOM(daerah operasi militer)di aceh....
jalan damaikah itu????
ngaco habissss....
pembaca kecewa berat
ehem ehem...
BalasHapusnimbrung dikit yaaaa...
bukan so tau niiiyyyyy...
teory HI pertama...
semua negara mempunyai "national interest" dimana setiap negara mempunyai kepentingan sendiri atau bahasa kasarnya "egois" dalam setiap urusan luar negrinya...
liat:
"penghentian penggunaan kekuatan militer oleh kedua belah pihak dan evakuasi kelompok sipil. Sikap ini mesti didahului oleh pemerintah yang memiliki kekuatan militer"
emang mau negara yang udah hampir menang menghentikan usahanya gara gara kasihan ama warga sipil...
inget bung egois...
ada national interest di dalamnya...
hua hua hua....
kayanya perlu baca buku "multy track diplomacy" nya pak hanafi niiiyy....
hua hua kecewa abiiiisssssttttt
kalo pengen bikin solusi pake dasar dun bos...
BalasHapusso tau dikit ya..
kalo ga salah, AGAMA itu satu hal yang sangat sensitif di int'l pilitics mungkin ga sih jd salah satu kajian dalam "public diplomacy"...
hua hua hampir ga mungkin d..
apalagi di kasus georgia..
nothing bung..
liat:
"Upaya yang kini dikenal sebagai diplomasi publik ini dapat memanfaatkan sarana-sarana sipil, seperti olahraga, hiburan, atau agama"
coba anda bayangkan relevankah itu pada keadaan politik dewasa ini...
hahaha tag mungkin...
sekali lagi tolong dinget setiap negara punya "national interest"
sekali lagi bukan so tahu ya,,,,
BalasHapuskalo nanti bikin artikel lagi tolong banget kalo bikin analsis berdasarkan landasan teori yang tepat dan penggunaan contoh pakar yang tepat...
liat:
"sah-sah saja Rusia memprotes operasi militer Georgia, tetapi Rusia juga tidak boleh melanggar batas kedaulatan suatu negara. Hal ini bertentangan dengan principle of non-intervention in the domestic affair (Setiawati, 2004: 41) dan souveregin equality of nations (Budiardjo, 1972: 42)."
siapa pula setiawati dan miriam budiarjo???
pengamat yang diakui internasional kah???
teorinya diakui secara universalkah???
kalo tag salah bu miriam budiharjo itu hanya sebatas pakar yang melakukan pengamatan secara kualitatif...
dan toery teory nya kurang diakui oleh dunia internasional bahkan ga sama sekali...
jadi relevankah saat kita bilang tindakan rusia itu bertentangan dengan prinsip dari bu miriam....
siapa pula beliau bisa kaya gitu????
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus