Rabu, 03 September 2008

Membaca Masa Depan Partai Islam

Pengantar


Gaung Pemilu 2009 sepertinya telah ditabuh. Setidaknya ada 38 partai politik yang akan berkompetisi dalam pesta demokrasi nasional tersebut. Mereka mewakili berbagai macam latar belakang ideologi, platform, dan golongan serta menjadi sebuah jalan bagi para calon wakil rakyat untuk menuju gedung DPR atau DPRD.


Tipologi Politik


Pada Pemilu yang akan datang, sedikitnya ada sepuluh partai yang berasas Islam atau berbasis massa kelompok umat Islam. Sebut saja PPP, PKS, atau PBB yang berasas Islam secara legal-formal, PAN dan PKB yang berbasis massa di kelompok umat Islam, atau PMB dan PKNU sebagai partai baru yang juga berhaluan Islam. Di luar partai-partai tersebut, masih begitu banyak partai berasas nasionalis yang, ironisnya, menarik konstituen di kalangan umat Islam. Praktis, suara partai-partai Islam terfragmentasi dan mengecil; jauh dari total penduduk yang beragama Islam di Indonesia yang konon terbanyak di dunia.


Melihat banyaknya jumlah partai politik tersebut, agaknya kita patut bercermin pada tesis Clifford Geertz (1960) mengenai tipologisasi umat Islam di Jawa, yaitu santri, priyayi, dan abangan. Dalam konteks peraturan politik teranyar, tipologisasi tersebut menjadikan kekuatan politik umat Islam terfragmentasi menjadi tiga kekuatan utama: partai Islam atau berbasis massa Islam (santri), partai nasionalis yang didominasi oleh kaum elit (priyayi), dan partai nasionalis yang berhaluan kerakyatan (abangan).


Apa implikasi dari fenomena tersebut? Setidaknya, penulis melihat tiga kemungkinan yang akan dihadapi. Pertama, mengecilnya suara partai Islam sehingga berpotens mengurangi jumlah kursi di parlemen. Kedua, terkonsolidasinya partai-partai non-Islam yang merepresentasikan agama lain. Ketiga, perpecahan politik yang melanda umat Islam akan semakin melebar sehingga mengurangi soliditas umat dan berpeluang menjadi konflik horizontal yang sia-sia.


Kemungkinan tersebut pada dasarnya berbahaya bagi masa depan umat Islam. Agaknya euforia Masyumi yang dulu pernah menjadi kekuatan politik utama umat Islam pada periode 1950-1955 tidak akan terulang kembali dalam waktu dekat. Kita patut mencermati pelemahan-pelemahan partai Islam dari konflik internal hingga ambisi individu yang justru menjadi pemicu perpecahan itu sendiri. Oleh karena itu, kita patut mengkaji kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat menjadi alat pemersatu partai Islam walau hanya pada tataran wacana di lapangan.


Belajar dari Masyumi


Pada dasarnya, partai Islam memiliki kans yang sangat besar untuk menambah konstituten. Hanya saja, pada dasarnya kans tersebut dipersulit oleh partai Islam itu sendiri. Poin paling utama yang menjadi alat pemecah adalah ambisi dan idealisme faksi-faksi yang ada pada partai tersebut.


Kita tentu masih ingat, perpecahan pertama yang melanda partai Islam adalah keluarnya NU dari Masyumi yang disusul oleh PSII pada tahun 1953 hanya karena jabatan menteri agama diserahkan pada kalangan non-NU. Keluarnya NU tersebut melemahkan suara Masyumi pada Pemilu 1955, terutama di pulau Jawa. Data membuktikan bahwa NU mampu meraup 18,4%, Masyumi 20,9% suara, dan PSII 2,9% suara. Terfragmentasinya suara umat Islam tersebut memperkokoh suara PNI yang meraih 22,3% suara (Ricklefs, 1981: 377).


Secara politis, fragmentasi suara tersebut jelas mengurangi posisi tawar politik partai Islam. Dengan masuknya NU ke blok Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang dibangun oleh Soekarno, praktis Masyumi berjalan sendirian sampai akhirnya dibubarkan sepihak pada 1960 terkait aktivitas PRRI.


Tentunya implikasi dari kasus demikian cukup berbahaya. Oleh karena itu, kita perlu memikirkan cara untuk merekonsolidasi kekuatan politik umat. Sebuah common platform perlu dibangun agar persepsi semua partai tentang tujuan politik umat dapat disamakan. Setidaknya, partai-partai Islam mampu menyatukan idealisme masing-masing.


Rekonsolidasi Kekuatan


Pertanyaannya, bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka menyongsong Pemilu 2009 nanti? Penulis mencoba mengelaborasi beberapa ide untuk dijadikan saran bagi partai-partai Islam.


Pertama, menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan cita-cita umat sebagai tujuan utama. Maksud dari cita-cita umat di atas adalah terwujudnya masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, atau dalam bahasa agama disebut dengan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur. Tiga alat pemersatu ini harus dioptimalkan oleh masing-masing partai sebagai ajang untuk mengonsolidasi kekuatan.


Kedua, mengetahui dengan pasti common enemy umat dalam percaturan politik. Common enemy di sini tentunya adalah kekuatan-kekuatan perintang yang dapat menghalangi kedamaian dan ketenteraman umat, atau dengan kata lain menghalangi terwujudnya. Dengan adanya sebuah single enemy, tentunya partai-partai Islam tak akan terkotak-kotak dalam berjuang. Mereka pasti akan berkonsolidasi dan menggalang kekuatan di parlemen untuk melawan common enemy tersebut.


Ketiga, mencari momentum untuk mempersatukan suara umat. Kita mungkin masih ingat dengan koalisi poros tengah yang digagas oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1999 yang berhasil mengantarkan Amien Rais sebagai Ketua MPR, Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR dan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Kendati poros tengah tersebut harus mengalami perpecahan di tengah perjalanan, tetapi kita dapat memetik pelajaran bahwa kekuatan yang terkonsolidasi dapat mengalahkan sebuah hegemoni walau masing-masing partai berbeda haluan dalam bergerak.


Keempat, menemukan titik temu dalam perbedaan faham politik antarpartai Islam. Beberapa tahun terakhir, kita mungkin akan sulit menemukan pandangan antara PAN dan PKB yang merepresentasikan kekuatan dua ormas Islam terbesar di Indonesia: Muhammadiyah dan NU. Apalagi, saat ini muncul dua kekuatan politik tandingan: PMB dan PKNU. Perbedaan di antara mereka mungkin akan sangat terasa dalam pandangan keagamaan, tetapi bukan tidak mungkin untuk dipertemukan dalam isu-isu politik.


Kelima, penulis melihat perlunya kekuatan penghubung yang dapat diwakili oleh partai-partai di luar dua kekuatan yang secara vis-à-vis berbeda pendapat di atas. Kelompok penghubung ini dapat diwakili oleh PKS atau PBB. Keberadaan kekuatan penghubung ini diharapkan dapat meredakan ketegangan kronis yang melanda kedua kekuatan politik di atas. Ini penting, sebab secara kedua ormas di atas memiliki pandangan politik berbeda-beda. Dengan adanya media yang mempertemukan NU dan Muhammadiyah dalam sebuah momentum politik, persatuan partai Islam bukan mustahil dapat terwujud.


Siapkah Partai Islam?


Partai-partai Islam memang bertambah banyak seiring dibukanya kran demokrasi. Akan tetapi, banyaknya kuantitas partai Islam ini jangan sampai membuat posisi tawar politik umat Islam melemah. Kita mesti ingat bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Jangan sampai modal besar ini terbuang percuma hanya karena perbedaan idealisme di masing-masing partai.


Pemilu 2009 telah berada di depan mata. Pertanyaan kontemplatif yang patut kita renungkan, sudah siapkah partai Islam menghadapinya?


Wallahu A’lam bish Shawwab.

4 komentar:

  1. Semua konsep yang anda utarakan dalam opini anda rasa-rasanya hanya sebuah "angan-angan yang tidak mempunyai dasar definitif" ketika anda belum memberikan limitasi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan "Partai Berhaluan Islam" dalam ide anda. Bahkan menurut saya ada beberapa contoh yang tidak relevan ketika ditempatkan dalam konteks partai Islam disini. PAN dan (terutama)PKB, kendatipun dalam hirarki organisasi banyak menjatahkan tempatnya bagi kader-kader muslim, dengan terang-terangan,dan dalam praktiknya menolak keras ketika dijustifikasi sebagai partai eksklusif ummat. Mereka lebih suka ketika diposisikan sebagai partai nasionalis (sok)agamis, yang ketika
    dihadapkan antara "kepentingan umat" dan suara nasional harus memarginalisasi ideologi mereka demi kepentingan dukungan dan kekuatan legitimasi mereka dalam percaturan politik nasional. Ambil contoh ketika Ahmadiyah sedang panas-panasnya menjadi centre of focus pemberitaan. Kedua partai, alih-alih mendukung SKB Ahmadiyah, justru mengambil suara yang entah samar-samar(PAN) atau bahkan dengan lantang(PKB) mendukung Ahmadiyah sebagai institusi mandiri di Indonesia. Oleh karenanya, timbul suatu gerakan pemurnian dari beberapa anggota-yang mungkin konservatif-untuk mengembalikan keaslian ideologi partai secara formal(contoh:PKNU).Hal kedua, yang lebih krusial adalah mempertimbangkan fakta, bahwa walaupun pada basisnya suatu partai
    memang secara formal institusional menganut islam sebagai landasan utama kerangka politik, kekuatan dan kepercayaan ideologis ini harus rontok ketika dihadapkan pada fakta bahwa indonesia bukanlah negara agama, atau teokrasi, sebagai istilah umumnya. Sehingga, perjuangan intraparlementer yang dilakukan oleh berbagai partai islam pada akhirnya harus "tunduk" pada "kepentingan bersama rakyat indonesia" dan "pembelaan terhadap kepentingan umat, secara eksklusif" tidak mendapat tempatnya yang layak.Pada akhirnya, perjuangan intraparlementer partai islam tak lebih sebagai perjuangan mencari kekuasaan

    BalasHapus
  2. wow, serius banget blognya,
    jadi pusing bacanya...
    mampir-mampir ke blogku yak,
    kakak angkatanmu yg paling geblek ini,
    hehehe

    oia, mampir2 jg ke blog hi07, kasih komen

    BalasHapus
  3. Hmmm... saudara R... apa yang saya tulis memang hanya sebuah angan-angan. Tetapi apa yang menjadi angan-angan saya ini bukan tidak mungkin diwujudkan. Meskipun saya akui, ini sangat sulit karena perbedaan haluan gerakan.

    Mengapa PAN dan PKB saya masukkan dalam tulisan di atas? Kita tidak dapat memungkiri bahwa basis massa kedua partai tersebut adalah dua organisasi besar di Indonesia: NU dan Muhammadiyah. Partai tersebut, karena figuritas Amien Rais dan Abdurrahman Wahid yang begitu kental, dipilih oleh mayoritas warga NU dan Muhammadiyah.

    Nah, peta politik 2009 telah berubah. Munculnya PMB dan PKNU, serta memudarnya popularitas kedua tokoh di atas sedikit banyaknya menggeser PAN dan PKB dari kedekatannya dengan golongan Islam ke partai dengan golongan nasionalis-sekuler, meskipun terlihat bahwa simbol-simbol keagamaan masih cukup lekat.

    Tetapi, persoalannya adalah terfragmentasinya umat Islam ke beberapa pilihan politik, dan ini membuat ide persatuan menjadi sulit diwujudkan.

    Susahnya menyatukan partai-partai Islam ini terlihat dari konflik internal dan horizontal yang melanda beberapa golongan. PKS dan Muhammadiyah sekarang terlihat agak tegang karena isu-isu sepele.

    Akan tetapi, sesuai pendapat saya, persatuan bukan tidak mungkin diwujudkan. Saya telah mengatakan dalam artikel di atas, ada kelompok penghubung. Kita perlu momentum, kita perlu isu, kita perlu sebuah penguat, dan kita perlu musuh bersama.

    Walau ini hanya langkah ad-hoc, ini perlu diwujudkan pasca-pemilu untuk memperkuat posisi tawar politik umat. Kita mungkin tidak dapat meniru Masyumi di era 1945-1953 ketika seluruh pemimpin umat bergabung dalam satu wadah politik. Tetapi, setidaknya sudah ada upaya ke arah sana.

    Nah, sekarang, bagaimana kedudukan partai-partai nasionalis? Sekali lagi, basis massa partai-partai tersebut adalah orang Islam. Kita tidak dapat menyalahkan para kader yang beragama Islam, tetapi kita salahkanlah strategi gerakan kita, mengapa konsolidasi ini belum kita lakukan. Sekali lagi, ambisi dan idealisme dari segelintir orang menjadi penghalang.

    Tentang pendapat saudara R bahwa parpol Islam gagal memperjuangkan cita-cita umat, saya kira memang ada benarnya. Tetapi perlu diingat, perjuangan itu baru dimulai 10 tahun, masih terlalu muda. Menurut saya, tugas untuk memperjuangkan politik tidak cukup hanya dengan intraparlementer atau ekstraparlementer belaka. Perlu sinergi dari kedua hal tersebut: Intraparlemen melalui jalur partai politik atau ekstraparlemen melalui jalur civil society. Kita tidak perlu saling menyalahkan, tetapi kita perlu saling bersinergi dan berkomunikasi mengenai isu yang akan diperjuangkan. Parpol Islam dan Lembaga nonparlemen harus menjadi pressure group ketika menghadapi kekuatan yang merintangi usaha kita.

    Sehingga, perjuangan ini harus diteruskan, entah dengan nonparlemen atau dengan parlemen...

    Jazakallah, akhi...

    BalasHapus
  4. saya rasa anda sudah harus beralih dari sekedar argumen normatif menjadi satu gagasan yang benar-benar realistis.Dan andaikanpun para partai-partai tersebut bersatu, apa korelasinya terhadap persatuan umat muslim?Persatuan partai musliim, andaikata terjadi pastilah hanya demi suatu tujuan pragmatis temporal.dan saya rasa terlalu "jahat" dengan menggeneralisir antara persatuan umat, dan persatuan partai muslim.

    BalasHapus