Rabu, 28 Januari 2009

Sujud Pak Tua di Ujung Jalan


Senarai azan Maghrib telah berlalu beberapa waktu yang lalu. Sinar mentari senja telah beranjak dari peraduannya, digantikan oleh keremangan bulan yang membawa suasana hati, syahdu dan tenang. Gaduh suara nyanyian di tempat hiburan seberang tetap tak mengusik ketenangan para pencari Allah yang bertafakur, melantunkan zikir, membatinkan istighfar, memohon ampunan atas dosa-dosa yang diperbuat.

Di sebuah mesjid di ujung jalan itu ia bersimpuh, mengadu pada Allah akan segala kesalahan dan kekeliruannya selama hidup. Ia, pak tua yang tengah mencucurkan air mata di atas seurai sajadah hijau, mengadukan segala kekhilafan yang telah lama ia lakukan, mencoba memasuki pintu taubat yang katanya masih terbuka lebar.

Sungguh keheningan malam membawanya datang untuk kembali, menatap kealpaan dirinya yang berlumur dosa. Terbayang di hatinya, betapa naif ia sebagai hamba yang baru bersimpuh pucat di hadapan Rabbul Izzah ketika bisik Malaikat Izrail yang membawa cemeti kematian terasa di telinganya. Takut, cemas, risau, dan resah menancap di hatinya sementara nuraninya kembali bangkit, mengingatkannya untuk kembali membersihkan jiwa di hadapan Allah yang selalu mengampuni semua dosa manusia.



Ah, rupanya ia masih punya nurani. Padahal sekian tahun yang lalu nuraninya bagai terkunci tanpa dapat menghentikan kelakuan tangan dan kakinya yang terus bermaksiat pada Allah. Sekian tahun yang lalu, kecemasan tak pernah terbayang di pikirannya karena tuntutan materi tengah membutakan mata hatinya.




Memorinya kembali pada sekian tahun yang lalu. Ia, sang guru sukses yang terpilih sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah ternama. Ia masih ingat ratusan suara optimis mengalir padanya, menyatakan dukungan dan kesediaan untuk membantunya. Suara-suara mereka yang optimis akan keberhasilan sekolah itu masih terngiang di telinganya. Dijawab dengan seuntai janji dan program yang optimis pula. Tentunya ditambah sedikit insentif demi keberhasilan dan kemajuan sekolah itu.

Ah, ya. Di sinilah awal mula penderitaan itu. Rupanya biaya untuk menjadi kepala sekolah yang terlampau besar telah menggelapkan matanya. Lobi di sana-sini telah membuatnya lelah. Nafsunya memberontak, ingin uangnya kembali. Pikiran sang Kepala sekolah pun tertuju pada strategi pengembalian. Bagaimana uangnya dapat kembali dengan hanya mengandalkan gaji kepala sekolah yang tidak seberapa? Lama ia berpikir. Satu-satunya jalan yang terpikir olehnya hanyalah dengan mencari “kantong-kantong uang” di sekolahnya dan mengambil isinya.

Kantong uang?

Nafsunya menemukan jawab. Tak lain, uang APBS (Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah) yang diambil dari uang Komite Sekolah dan uang pangkal siswalah yang menjadi “kantong uang” tersebut. Asalkan banyak pihak yang membantu, tentu hal tersebut tidak mustahil. Sang Kepala Sekolah kembali berpikir keras. Tak lain, jalan yang harus ditempuhnya adalah dengan mempengaruhi Wakasek-wakasek yang baru saja diangkat. Tak lupa Kepala Tata Usaha yang memang berpikiran sama dengannya.

Hatinya seakan dibutakan oleh hasrat berkuasa. Mata batinnya seakan tertutup oleh angan semu yang menginginkan harta dan tahta. Jabatan telah didapat, apa lagi yang ditunggu? Sungguh, ambisi yang tak dibarengi dengan kebesaran hati dan kearifan nurani. Semua yang ada di pikirannya hanyalah, uang, uang, dam uang.

Adakah setitik rasa malu di hatinya? Ah, rupanya kini nuraninya tak lagi bicara. Bahkan, titel “H” yang kini telah terukir di depan namanya pun tak mampu membuat sang nurani berbicara.

Sampailah akhir tahun ajaran. Alih-alih mengembalikan uang, ia malah menggunakan sisa dana untuk keperluan lain. “Syukuran”, begitu ia mengistilahkan penggunaan dana tersebut. Sisa APBS pun keluar. Ke mana lagi kalau bukan untuk makan-makan sesama pengelola sekolah. Pertanggungjawaban pun ditulis dengan realisasi 100% tiap item kegiatan. Wow!




Lima belas tahun sudah ia memimpin sekolah bertaraf internasional itu, bukan waktu yang sedikit. Lima belas tahun itu pula ia dengan santainya mengelabui mata para guru, siswa, dan orang tua siswa, menggerogoti uang pendidikan yang diamanahkan padanya. Uang rupanya telah membutakan nuraninya, menggelapkan mata batinnya, memadamkan cahaya hatinya.

Akan tetapi kini wibawanya tak seperti dulu lagi. Popularitasnya telah memudar. Badan audit yang rupanya mencium ketidakberesan pengelolaan keuangan di sekolahnya kemudian turun untuk melakukan inspeksi. Benar saja, ia dicurigai korupsi! Sesal rupanya selalu datang kemudian, ia dicopot dari jabatannya sebagai kepala sekolah. Beruntung ia tak diperkarakan atas kelakuannya yang menyimpang. Ah, sesal memang selalu datang kemudian.

Kini sang Kepala Sekolah telah pensiun. Empat tahun sejak ia dicurigai korupsi dan dipindahkan dari sekolahnya itu, ia berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain. Terakhir, ia mengajar selama satu tahun di sekolah pinggiran yang berada di ujung kota, jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Itu pun tidak lagi sebagai kepala sekolah karena banyak sekolah yang menolaknya.

Predikat koruptor telah disandangnya akibat perbuatannya membuat laporan fiktif, menggunakan uang taktis, dan memotong dana OSIS. Kini, ia telah pensiun dan hidup bersama isterinya, ditinggalkan anak-anaknya yang telah berkeluarga. Kehampaan meliputi dirinya. Ia haus dengan ketenangan jiwa yang tak pernah didapatnya ketika mengajar dulu. Bisikan di batinnya memanggil ia untuk menemukan kedamaian itu di rumah Allah, di mesjid yang dulu hampir tak pernah didatanginya. Bisikan di batinnya berkata, kembalilah!

Azan Isya pun berkumandang, menyeru manusia untuk kembali pada Rabb-Nya. Di pojok mesjid itu, Pak tua yang gemetar meratapi dosanya masih bersimpuh. Ia bertaubat. Sang kepala sekolah yang dulu gila harta, kini kembali pada kesuciannya. Kembali untuk memulai awal baru dengan kesucian. Di luar, langkah kaki jamaah mesjid terdengar, siap untuk menunaikan baktinya pada Sang Rabb. Pak tua itu pun bangkit, siap untuk turut memulai hidup baru dengan semangat baru yang menggebu: Aku harus berubah!

Di kala isya menjelang, seorang pak tua tertunduk lemah. Terbayang di pelupuk matanya gunungan dosa yang mengisi separuh hidupnya....

Seurai sajadah menjadi saksi
Nurani telah kembali!


Banjarmasin, 4 Muharram 1429


Cerpennya jelek sekali ya....

Mungkin, bukan tabiatku untuk menulis sebuah karya fiksi, lebih cocok pada analisis politik atau ekonomi.

1 komentar: