Senin, 02 Februari 2009

Sekolah Transparan, Sebuah Keharusan

(Tanggapan Balik untuk Pak Tri Hayat Ariwibowo, S.Pd.)

Terima kasih pada Pak Tri Hayat Ariwibowo, S. Pd. yang berkenan mengapresiasi artikel saya yang pernah dimuat di Radar Banjarmasin (Menggugat Keterbukaan Sekolah, Radar Banjarmasin 24 & 26 November 2007). Pada artikel yang berjudul “Bangga dengan Sekolahku” (Radar Banjarmasin, 2 April 2008) tersebut, Pak Tri Hayat memberi perspektif yang sedikit berbeda mengenai transparansi sekolah. Dalam tulisan di atas, Pak Tri Hayat sedikit mengulas sudut pandang saya yang sangat normatif mengenai konsep interaksi antara sekolah-siswa.

Saya sangat gembira dengan adanya tanggapan tersebut, terlebih tanggapan ini terbit di tengah kesibukan menghadapi Ujian Nasional. Tanggapan tersebut wajar, karena setiap opini yang ditampilkan di media massa harus mendapat sorotan dari pembaca. Hal ini agar kita tidak digiring kepada sebuah opini yang justru akan melegitimasi pandangan-pandangan yang subjektif dari penulis. Memang saya akui, artikel saya pada tahun 2007 di atas terkesan sangat normatif, idealistik, dan penuh dengan ”gaya anak muda” yang bersemangat dan reaktif tanpa disertai analisis yang memadai. Untuk itu, saya berniat menulis apresiasi balik kepada Bapak penanggap, mudah-mudahan dapat menambah khazanah keilmuan kita masing-masing.

Membaca tanggapan yang dibuat oleh Pak Tri Hayat Ariwibowo, ada duapoin yang dianalisis oleh Bapak penanggap. Pertama, transparansi dalam anggaran sekolah dan realisasinya. Kedua, transparansi dalam pelaksanaan tata tertib di sekolah. Dua poin di atas memang menjadi sorotan utama pada artikel saya, berkaca pada kejadian yang memang pernah saya lihat dan saya alami, terutama di sekolah saya.

Sebelumnya, saya tekankan bahwa hal-hal yang saya tulis dalam artikel di atas adalah pandangan-pandangan yang sangat normatif. Hal ini jelas memerlukan ”pelurusan-pelurusan” jika terdapat kesalahan. Akan tetapi, apa yang tersirat secara implisit dalam artikel tersebut juga perlu ditelaah. Benarkah perlu adanya keterlibatan siswa dalam pembuatan APBS? Benarkah harus ada keterbukaan dalam pelaksanaan anggaran dari sekolah kepada semua pihak (Tidak hanya siswa, tetapi juga orang tua dll.)? Atau benarkah harus ada komunikasi antara siswa dan otoritas sekolah dalam pembuatan tata tertib? Tentunya hal-hal tersebut harus dikaji, bukan ditolak mentah-mentah hanya karena yang mengutarakannya adalah seorang siswa yang masih ”hijau”.

Secara paradigmatik, pendidikan kita memang telah berubah. Sejak gaung reformasi dibunyikan pada tanggal 21 Mei 1998, ramailah pembicaraan untuk melancarkan reformasi pendidikan. Muncul kebebasan bagi sekolah untuk mengelola manajemen sendiri dengan konsep MBS. Kemudian dibukanya akses informasi pendidikan ke masyarakat dengan adanya Komite Sekolah dll. yang mengarah pada perbaikan sistem pendidikan di sekolah. Lalu inovasi kurikulum, adanya UU Sisdiknas yang baru, dll. Pendeknya, angin segar pendidikan kita telah dihembuskan, tinggal menunggu kesiapan dari suprastruktur pendidikan untuk mengembangkan infrastrukturnya ke arah yang lebih baik.

Adanya perubahan di atas jelas mengimplikasikan sekolah untuk bersikap transparan kepada semua pihak, tak terkecuali kepada para siswanya. Pak Tri Hayat Ariwibowo sendiri menyatakan ada tiga dua item yang memiliki keterkaitan kuat dengan istilah transparansi ini: Akuntabilitas dan Partisipasi. Akuntabilitas (atau akuntabiliti), berarti sekolah memiliki kapabilitas untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan kepada semua pihak. Adapun partisipasi, berarti melibatkan (minimal memberi akses informasi yang luas pada hal-hal yang memang patut untuk diketahui) para siswa dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan siswa.

Sikap transparan tersebut, dalam pandangan penulis yang sangat normatif ini, dapat dijabarkan dalam beberapa kegiatan. Pertama, dalam penyusunan RAPBS. Sebelum rapat komite sekolah, tentu pihak sekolah mengajukan RAPBS untuk disahkan di rapat. Nah, sekolah sebenarnya dapat meminta masukan dari siswa dalam item kesiswaan. Di sinilah pentingnya OSIS dan MPK sebagai ”penyambung lidah siswa”. Tentunya OSIS dan MPK harus melakukan mekanisme organisasi mereka masing-masing, baik dalam bentuk polling atau rapat internal.

Katakanlah siswa tidak dilibatkan dalam rapat komite. Memang orang tua telah ada dalam rapat, telah mewakili aspirasi siswa. Lagi pula, biaya pendidikan sepenuhnya ditanggung oleh orang tua. Siswa hanya ”menikmati” pendidikan yang ada. Akan tetapi, siswa harus tetap menjalankan peran kontrol. Caranya, dengan menjalankan fungsi civil society yang membawa aspirasi mereka di luar sistem. Fungsi siswa sebagai civil society mewujud dalam organisasi dan komunitas di sekolah. Jika siswa merasa ada kesalahan dari penyelenggaraan pendidikan di sekolah, siswa dapat mengomunikasikannya dengan sekolah. Perlu ada forum diskusi (bukan perdebatan seperti di sekolah saya) antara siswa dan pihak sekolah (kalau perlu langsung dengan kepala sekolah) sehingga masalah menjadi clear.

Di sisi lain, sekolah juga harus terbuka kepada siswanya. Semua fakta harus dikeluarkan dengan menunjukkan kondisi sebenarnya. Kemudian, keinginan siswa perlu didengarkan untuk kemudian diajukan jalan keluar. Jika deadlock pun, sekolah harus arif menyikapinya. Budaya akademik harus dijalankan: Tulisan dibalas tulisan, statement dibalas statement. Jangan sampai terjadi seperti yang pernah saya alami: tulisan dimuat ternyata malah berbuah panggilan tetapi pihak sekolah sampai detik ini tidak pernah menggunakan hak jawabnya di media cetaknya.

Anggapan yang menyatakan bahwa ”siswa tidak perlu tahu”, ”ini bukan urusan siswa”, atau ”tugas siswa hanya belajar, tidak perlu mengurus hal-hal ini” perlu sedikit diluruskan. Bolehlah siswa tidak perlu tahu semuanya, tetapi siswa harus tahu hak dan kewajibannya. Siswa juga harus giat dalam mempersiapkan UN, tetapi siswa harus mendapat akses mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan mereka.

Barangkali ini bukan hanya tugas guru, tetapi juga tanggung jawab siswa. Marilah bersama-sama kita jadikan kegiatan organisasi, ekstrakurikuler, dan hal-hal lain sebagai pembelajaran non-formal dari sekolah. Dengan semangat transparansi yang benar, mudah-mudahan pendidikan di sekolah dapat menjiwai spirit awalnya, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kepada Pak Tri Hayat Ariwibowo, saya ucapkan terima kasih atas apresiasinya. Jika tulisan ini masih perlu diluruskan, silakan ditanggapi kembali. Meminjam istilah Prof. Amien Rais, anggaplah kritik sebagai garam kehidupan. Kerja keraslah yang perlu kita lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar