Senin, 02 Februari 2009

Menelaah Krisis Darfur (2003-2007): Perspektif HAM


Perhatian dunia terpecah ketika insurgency dan internal conflict yang terjadi di Sudan berubah menjadi isu internasional setelah muncul berita bahwa aliran deras pengungsi sebagai akibat konflik berkepanjangan di kawasan Darfur, Sudan Selatan, harus bergerak menuju Chad, negara tetangga Sudan di tengah panasnya iklim Afrika. Isu tersebut sangat ironis dan memprihatinkan, mengingat pada saat yang sama terjadi ekses dari global warming di Afrika Utara dan Tengah. Afrika dilanda kekeringan, memanasnya suhu udara di atas normal, dan lahan yang pada awalnya termasuk semi-dessert (dapat diolah sebagai ladang) berubah menjadi dessert (gurun)[1]. Peperangan terjadi di tengah kondisi mengenaskan tersebut, menewaskan ratusan ribu korban jiwa dan meembuat para pengungsi Darfur dilanda dua kecemasan: terbunuh di medan peperangan atau terjebak di tengah kondisi kekeringan tanpa bantuan.

Konflik bersenjata yang memakan banyak korban dan mengakibatkan berbagai pelanggaran HAM terjadi bukanlah pertama kali di Sudan. Rupanya, sudah sejak ratusan tahun yang lalu konflik horizontal terjadi tanpa adanya penyelesaian yang komprehensif dari otoritas pemerintah, atau pihak yang berwenang. Hal ini semakin parah ketika pada awal abad 19 teknologi senjata api berkembang semakin pesat, sehingga meningkatkan angka kematian sebagai akibat konflik yang terjadi.

Dapatkah kita menempatkan krisis Darfur sebagai isu humaniter (HAM)? Pertanyaan ini mencuat setelah laporan dari beberapa NGO Internasional menyebutkan, krisis politik di Darfur 2003-2006 antara pemerintah Sudan dan pemberontak JEM serta SLM (etnis non-Arab) telah berubah menjadi isu HAM karena adanya penemuan tentang pembunuhan etnis yang konon dilakukan oleh Presiden Sudan, Omar Al-Bashir. Laporan BBC menyebutkan lebih dari 200.000 orang meninggal disertai kerugian lain secara moriil dan materiil[2].

Mengingat banyaknya korban jiwa dalam krisis ini, muncul kontroversi mengenai apakah isu ini merupakan isu genosida atau tidak. Amerika Serikat, Mantan Menteri Luar Negeri AS Colin Powell berpendapat bahwa krisis Sudan adalah isu genosida yang mengharuskan adanya pendekatan , tetapi beberapa NGO Internasional seperti Amnesti Internasional tidak terburu-buru mengatakan bahwa ini adalah isu Genosida[3]. Meski demikian, penuntut dari International Criminal Court telah menerbitkan surat perintah penahanan (warrant) atas Presiden Sudan, Omar Al-Bashir atas beberapa dakwaan kemanusiaan, sehingga secara gamblang kita dapat menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus Darfur[4].

Lebih jauh, Bagaimana permasalahan ini dalam sudut pandang HAM?

Dari data yang didapat oleh beberapa lembaga yang concern dengan hal ini, kesimpulan yang dapat diambil adalah pemerintah Sudan telah melanggar Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights, Article 11[5]. Pelanggaran HAM pertama dalam kasus tersebut adalah penelantaran yang dilakukan atas nasib pengungsi Darfur. Sekitar 2,5 juta pengungsi tersebar dari daerah Darfur sampai memasuki Chad, negara tetangga Sudan. Jika kita tinjau wilayah geografis Sudan, para pengungsi jelas akan menghadapi panasnya daerah gurun yang dikenal kejam. Tidak diperhatikannya pengungsi ini berimplikasi pada korban yang harus meninggal karena kelaparan atau hal lain sejenis.

Tak cukup hanya dengan isu penelantaran, krisis politik di Darfur juga menghasilkan korban genosida (ethnic cleansing), seperti dituduhkan oleh penuntut International Criminal Court (ICC). Pelanggaran HAM tersebut bermula dari konflik antara milisi Janjaweed (ditengarai mendapat dukungan dari pemerintah) dan kelompok pemberontak di Selatan. Muncul dugaan lain yang menyebutkan bahwa krisis Darfur merupakan implikasi dari krisis politik di Khartoum antara Omar Al-Bashir dengan Hassan At-Turabi (oposisi), walau bukti yang mengarah pada asumsi tersebut masih kabur[6].

Laporan Human Rights Watch menyebutkan pihak pemerintah Sudan kurang bersikap kooperatif dengan dunia internasional dalam hal ini[7]. Akan tetapi, hukum internasional pun telah mengatur jika Sudan memang tidak menyelesaikan kasus Darfur secara bijaksana. Statuta Roma Pasal 13.b telah mengatakan bahwa, "A situation in which one or more of such crimes appears to have been committed is referred to the Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter of the United Nations"[8].

Persoalan lanjutan yang muncul berkaitan dengan pihak mana yang harus memegang peranan dalam penyelesaian krisis ini. Penyelesaian hukum memang telah diusahakan oleh ICC dengan menerbitkan surat penahanan (warrants). Akan tetapi, perlindungan hak sipil atas pengungsi Sudan dan penjaga perdamaian juga perlu dipikirkan. Status pengungsi di Chad dan negara tetangga serta pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga sipil Sudan yang menjadi korban harus menjadi prioritas untuk segera diselesaikan. Sehingga, jelas tidak cukup jika persoalan ini hanya merupakan persoalan pemerintah Sudan.

Afrika sendiri telah memiliki African Union (AU) sebagai organisasi regional yang mewadahi Sudan. Ini artinya, otoritas serta negara-negara anggota AU memiliki tanggung jawab untuk turut memfasilitasi penyelesaian masalah Darfur. Namun di sisi lain, tudingan pelanggaran HAM yang ditujukan kepada Sudan melalui ICC juga mengimplikasikan keterlibatan PBB dalam penyelesaian masalah. Lantas, siapa yang seyogianya bertanggungjawab dalam proses perundingan dan penjaga perdamaian? AU (African Union) atau UN (United Nations)? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kami memiliki dua asumsi.

Pertama, AU jelas harus proaktif dalam negosiasi antara pemerintah Sudan dan pemberontak SLM atau JEM. Mereka harus menjalankan fungsi mediasi dengan baik. Keterlibatan UN kurang diperlukan, sebab akan ada kekhawatiran munculnya intervensi oleh pihak tertentu. Mediator harus bebas dari kepentingan, atau seperti kata Berridge (2005:197)[9], mediator harus jelas identitas serta motif mereka dalam memediasi suatu perundingan.

Kedua, UN baru terlibat dalam proses penjaga perdamaian. Kita tentu tidak dapat berharap banyak pada pasukan negara-negara AU yang secara militer tidak terlalu kuat. UN perlu mengirim pasukan penjaga perdamaian untuk menjaga hak-hak sipil serta mengantisipasi kemungkinan konflik lanjutan. Kepentingan UN di sini adalah murni perdamaian dan harus didasarkan atas pengakuan atas kedaulatan negara lain (souvereign equality of nations)[10]. Oleh karena itu, intervensi dari negara tertentu harus dihindari.

Pada kasus Darfur, serangan milisi ke Darfur telah menyebabkan pengungsian besar, pembunuhan, pemerkosaan massal. Artinya, jika mengacu pada Konvensi Jenewa Bab 4 (Perlindungan terhadap penduduk sipil pada saat perang), telah terjadi pelanggaran HAM sehingga langkah ICC menerbitkan warrants untuk mengusut keterlibatan pemerintah Sudan cukup strategis. Hanya saja, PBB patut pula memperhatikan asas pemeliharaan stabilitas politik dalam menjaga keamanan di Sudan, antara lain dengan tidak mengintervensi konstelasi politik di Sudan terlalu jauh.

Pada prinsipnya, keterlibatan negara-negara Afrika serta kooperasi dari pemerintah Sudan mengenai status pengungsi menjadi hal yang penting untuk diselesaikan dalam kasus Darfur ini. Bukankah warga sipil tidak seharusnya dikorbankan dalam konflik bersenjata?

Referensi :

BBC Official Website, http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3496731/. Q&A: Sudan’s Darfur Conflict. 15 Juli 2008.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1972).

G.R. Berridge. Diplomacy: Theory and Practice. (New York: Palgrave MacMillan, 2005).

http://www.ihlresearch.org, “The Instrument of Humanitarian Laws”, diakses pada Selasa, 9 September 2008.

http://www.icrc.org/. “State Parties to the Following International Humanitarian Law and Other Related Treaties as of 5 May 2008”, diakses pada Selasa, 9 September 2008.

http://id.wikipedia.org/war_in_darfur/War in Darfur”. Diakses pada 11 September 2008.

Human Rights Watch. http://hrw.org/backgrounder/ij/sudan0606/sudan0606.pdf, “Lack of Conviction The Special Criminal Court on the Events in Darfur”. Diakses pada 11 September 2008.

http://www.un.org/news/dh/sudan/com_ing_darfur.pdf


Footnotes

[1] Ban Ki-moon (2007-06-16). "A Climate Culprit In Darfur", Washington Post.
[2] Q&A: Sudan’s Darfur Conflict. BBC News, 15 Juli 2008. http://news.bbc.co.uk/1/hi/world/africa/3496731/
[3] Http://id.wikipedia.org/war_in_darfuir/, data dikutip dari laporan PBB tentang Kasus Darfur, dapat dilihat pada http://www.un.org/news/dh/sudan/com_ing_darfur.pdf
[4] http://hrw.org/backgrounder/ij/sudan0606/sudan0606.pdf
[5] Miriam Budiardjo, 1972, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Bab Hak-Hak Azasi Manusia (Jakarta: Gramedia, 1977). h. 133-134.
[6] http://id.wikipedia.org/war_in_darfur/
[7]http://hrw.org/backgrounder/ij/sudan0606/sudan0606.pdf
[8] http://id.wikipedia.org/war_in_darfur/
[9] G.R. Berridge, Diplomacy: Theory and Practice (New York: Palgrave MacMillan, 2005). h. 197.
[10] Budiardjo, op.cit.

4 komentar:

  1. ada apa di Darfur dan apa kepentingan Barat di sana?

    AS memiliki kepentingan minyak di Chad, tetangga Sudan. Kakayaan minyak Darfur tentu saja menjadi pendorong besar bagi negara-negara haus minyak untuk menguasai daerah itu.

    BalasHapus
  2. Eh ini saya yg menulis blog bhs. Inggris tentang SMASA. Alamat blogku berubah jadi
    http://algi94.blogspot.com Salam kenal. Yes Ahmad Rizky you are very popular on Friendster.

    BalasHapus
  3. Senang melihat semangatmu, mas. Ini terlihat dari blogmu ini. Semangat terus, berkarya terus, dan berempati terhadap bangsa kita. Salam hangat.

    BalasHapus
  4. haji-umrah bukan lagi angan-2, keuangan BUKAN lagi rintangan,dgn tekad kuat ,tulus ikhlas ,dan usaha giat dgn METODE kami, . Sebuah program solusi yg efektif kami tawarkan membantu berangkat haji / umroh dgn GRATIS & LEBIH CEPAT. Info Hubungi : Arief Candrawardhana 08155620515

    BalasHapus