Senin, 02 Februari 2009

Valentine’s Day dan Kearifan Kita


Tanggal 14 Februari biasanya diperingati oleh para generasi muda sebagai Valentine’s Day; Hari kasih sayang. Pada hari yang dianggap “spesial” ini, mereka biasanya mengungkapkan perasaan cinta –pada pasangan masing-masing tentunya—dengan memberikan hadiah-hadiah tertentu. Kendati hal ini berlawanan dengan nilai agama, fenomena valentine’s day tetap merebak di kalangan remaja

Fenomena Valentine’s Day ini memberikan suatu kekhawatiran tersendiri bagi orang tua yang cemas dengan kondisi anak-anaknya. Para orang tua yang concern dengan anak mereka tentu paham bahwa Valentine’s day merupakan budaya asing yang diterima tanpa saringan budaya (cultural filter) yang memadai. Dalam bahasa sosiologi, sikap ini disebut dengan westernisasi atau sikap meniru budaya Barat tanpa pertimbangan rasional.

Kekhawatiran orang tua atau pemerhati moral dapat dipahami, bahwa memang fenomena valentine’s day telah menjadi “budaya” tersendiri di kalangan generasi muda. Meski demikian, cara penanggulangan dan action agenda yang dilakukan haruslah mengakomodasi semua kepentingan, baik orang tua maupun remaja itu sendiri.

Gejolak Emosi dan Nature Remaja

Fenomena Valentine’s Day memiliki keterkaitan erat dengan gejolak emosional yang dialami oleh remaja pada masa pubertas mereka. Pada masa ini, remaja secara alamiah mulai mengandalkan emosi mereka dalam menghadapi berbagai persoalan, dan cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungan yang negatif. Semua orang, termasuk penulis, pernah mengalami masa-masa ini.

Dalam perspektif psikologi sosial, masa remaja memang merupakan masa yang sensitif dalam perkembangan individu. Pada fase ini, muncul kecenderungan remaja untuk melakukan pencarian jati diri pada lingkungan mereka, dibarengi oleh karakteristik ingin-tahu (curious) dan menolak peraturan (rebellious). Implikasinya, pola perilaku generasi muda menjadi jauh dari kontrol orang tua dan dekat dengan lingkungan sebaya yang berpotensi menjauhkan remaja dari nilai-nilai moral yang telah dicoba untuk ditanamkan oleh guru atau orang tua.

Gejolak emosional remaja ini dianggap oleh para pakar psikologi sebagai sesuatu yang normal. Penulis pun –sebagai bagian dari remaja— pernah mengalami hal ini. Akan tetapi perlu diingat, gejolak emosional remaja pun perlu kontrol. Hal ini perlu dilakukan agar para remaja tidak kebablasan dalam menyalurkan emosi mereka Dalam konteks Valentine’s Day, perlu adanya masukan-masukan arif dari orang yang lebih tua dengan pendekatan yang bijaksana.

Memang, Valentine’s Day telah menjelma menjadi sebuah masalah sosial yang ditimbulkan dari gejolak emosional remaja. Sebagai sebuah realitas sosial yang menyimpang, Valentine’s Day harus disikapi secara arif, agar masalah dapat diselesaikan secara baik dengan pendekatan yang dapat diterima oleh remaja. Selama ini, langkah pencegahan moral dari pihak sekolah atau orang tua bukannya tidak ada. Kampanye untuk tidak “merayakan” Valentine’s Day dari sekolah sudah cukup banyak, baik melalui pendekatan persuasif ataupun disiplin. Namun, mengingat nature remaja yang selalu menginginkan hal baru serta mencari identitas diri, minat untuk merayakan Valentine’s Day tetap tidak berkurang, meski hanya melalui ungkapan-ungkapan romantis atau pemberian hadiah cokelat.

Untuk itu, pada dasarnya generasi muda perlu sebuah alternatif, bukan hanya pelarangan dan penyadaran singkat dari sekolah. Budaya valentine perlu dilawan dengan alternatif budaya lain yang dapat diterima oleh remaja. Langkah penanggulangan berupa pelarangan langsung dari orang tua atau pendidik menurut penulis kurang tepat, karena akan berbenturan dengan sikap para remaja yang sensitif.

Action Agenda

Agar efek domino dari valentine’s day dapat dihentikan, penulis menawarkan beberapa langkah.

Pertama, mengoptimalkan peran peer educator atau pendidik sebaya. Para remaja akan lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan pergaulan mereka. Rekan sebaya yang mengerti akan dampak negatif valentine’s day dapat memberi pemahaman tersebut, dengan tetap memperhatikan kualitas diri. Dakwah fardhiyah (dari individu ke individu) dapat menjadi alternatif yang baik, dan keterlibatan siswa untuk mengkampanyekan bahaya valentine’s day dalam bahasa yang dimengerti oleh siswa lain menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Kedua, memaksimalkan peran lembaga-lembaga dakwah sekolah (atau lembaga-lembaga lain yang sinergis). Di masing-masing sekolah telah terbentuk kelompok studi Islam atau sejenisnya yang melakukan pengkajian serta dakwah kepada para siswa. Kelompok-kelompok tersebut harus mengambil peran dalam penanggulangan valentine’s day, bukan hanya mengkaji persoalan fiqih atau siyasi belaka. Kesan eksklusif KSI atau Rohis harus ditinggalkan; KSI harus mengedepankan pendekatan yang lebih ‘ammiyah (inklusif), simpatik, dan terbuka kepada semua siswa dalam menghadapi masalah valentine’s day ini.

Ketiga, adanya sinergisasi antara sekolah dengan siswa. Peran serta guru sangat diperlukan dalam memberi informasi yang tepat lepada siswa mengenai valentine’s day. Namun, peran guru harus didukung oleh institusi sekolah dengan fasilitasi yang diberikan dalam upaya memberi informasi tersebut. Jangan sampai pihak sekolah justru memberi angin bagi siswa untuk “merayakan” valentine’s day, seperti pernah dilakukan oleh mantan wakil kepala sekolah saya dulu dengan mengadakan kegiatan yang mendukung valentine’s day. Keterlibatan guru sangat penting dalam pemberian informasi secara tepat kepada siswa.

Keempat, penguatan pemahaman moral dan agama kepada remaja. Di sini, perlu ada kajian-kajian dengan menggunakan media yang familiar dengan remaja. Imam Hasan Al-Banna seringkali berdakwah di kafe-kafe dengan pendekatan yang mampu diterima oleh generasi muda Mesir Hasil dari dakwah tersebut mungkin tidak langsung kelihatan, tetapi efeknya akan bertahan jangka panjang. Hal ini memerlukan keterlibatan aktivis dakwah sekolah yang memiliki ghirah dakwah untuk menyadarkan siswa lain, atau alumnus yang memiliki concern terhadap kondisi sekolah. Banjarmasin telah memiliki lembaga semacam Iqro’ Club yang sinergis dalam upaya tersebut.

Jika persoalan valentine’s day ini dapat disikapi secara arif, generasi muda kita akan dapat terselamatkan dan menjadi generasi muda yang diidam-idamkan oleh Hassan Al-Banna: pengibar panji kejayaan. Insya Allah.
Artikel ini kami buka kembali untuk mewaspadai Valentine's Day

Tidak ada komentar:

Posting Komentar