Senin, 02 Februari 2009

Mengenai Pembaratan dan “Benteng Budaya”

(Review Dennis Lombard Nusa Jawa Silang Budaya, Bab V, “Peralihan Budaya atau Penolakan?”)

Fenomena pembaratan telah menyertai masuknya budaya barat ke Indonesia. Akan tetapi, di sini muncul pertanyaan: Bagaimana respons masyarakat terhadap masuknya budaya tersebut? Apakah muncul peralihan budaya atau penolakan budaya dari masyarakat yang notabene telah hidup dengan tradisi yang mengakar? Lombard menganalisis hal ini dalam bukunya, “Nusa Jawa Silang Budaya”, Bab V.

Lombard mengulas dalam aspek kesusastraan tradisional. Pengaruh Belanda –atau londo dalam bahasa Jawa— sedikit banyaknya disebutkan dalam beberapa karya sastra nusantara dengan analogi “orang putih”. Karya sastra melayu, misalnya, menyebutkan orang Belanda dalam dua perspektif: baik dan jahat. Akan tetapi, mayoritas karya sastra tersebut mengantagoniskan karakter orang Belanda seperti disebutkan oleh Syekh Abdullah dalam karyanya, Hikayat Mareskalek. Oleh karena itu, Lombard mengakui bahwa budaya Barat dianggap asing dan akulturasi Jawa-Belanda merupakan sebuah “perpaduan yang mustahil”.

Hal senada juga diakui oleh Boeke yang mengemukakan “teori dualisme” atau Furnivall dengan konsep “plural economy”. Kedua teori tersebut secara garis besar menyatakan bahwa perpaduan budaya antara Barat dan Timur mustahil dilakukan, sehingga pembangunan hendaknya dirancang untuk masing-masing pihak saja dengan tingkat berbeda. Atau seperti dikutip oleh Lombard, “geen westerse welvaart voor de oosterse massa’s”.

Meski demikian, ternyata ada sekelompok kecil masyarakat yang tetap berusaha meleburkan dua budaya yang berbeda ini. Sebagai contoh, Lombard menyebut “kaum murtad” di lingkar istana Jawa, Topassen di Nusa Tenggara, Mardijkers di Batavia, atau kelompok-kelompok minoritas lain. Mereka mengembangkan budaya yang pada dasarnya adalah perpaduan antara budaya lokal dan barat seperti keroncong atau komedi stambul.

Bahkan pada era pergerakan, dalam bahasa Shiraishi, mereka kemudian membentuk sebuah perkumpulan politik. Salah satunya ialah Indische Partij, yang didirikan oleh dr. Douwes Dekker. Ada juga kelompok moderat seperti kelompok Indo Europeesch Bond (IEV). Namun, pengaruh ini kurang signifikan karena pada perkembangannya, mereka tetap memilih untuk menjadi orang Belanda ketika Jepang mengambil alih nusantara.

Pada akhirnya, upaya peleburan budaya lokal dan barat memang tak berhasil. Seperti kata Soemitro Djojohadikoesoemo, you just remain yourself and I just remain myself. Apalagi, sentimen anti-Belanda pascakemerdekaan menguat karena persoalan politik. Hal ini menyebabkan kaum Indo-Belanda segera meninggalkan Indonesia dan dengan demikian mengubur upaya perpaduan budaya sebagaimana diusahakan kelompok-kelompok di atas.

Akan tetapi, pengaruh budaya Barat rupanya masih meninggalkan jejak pada kepercayaan (agama) dan pemikiran. Agama Kristen –baik Katolik maupun Protestan—masih memiliki akar di negeri ini kendati bangsa Belanda telah pergi. Keberadaan Gereja telah diyakini memberi pengaruh besar bagi eksistensi Kristen di Indonesia. Berdasarkan data yang diambil oleh Lombard, ada 33 wilayah keuskupan yang dibentuk di Indonesia. Kaum Kristen juga memiliki basis sosial yang begitu kuat di beberapa wilayah.

Selain itu, pengaruh Barat ternyata juga muncul pada pemikiran modern di era pergerakan. Banyak cendekiawan baru Indonesia yang cenderung berkiblat ke Eropa sebagai implikasi dari dibukanya pintu pendidikan pada era politik etis. Aliran pemikiran baru ini dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang popular dengan Poedjangga Baru. Lombard menyebut fenomena ini sebagai “godaan dari Barat”.

Namun, tidak semua sastrawan sepakat dengan STA. Kita mengenal beberapa nama seperti Sanusi Pane atau Poerbatjaraka yang mengkritik pemikiran STA.. Namun pada perkembangannya, pertentangan budaya ini juga membawa ideologi, seperti yang terjadi pada dekade 1950-an antara Lekra yang berhaluan komunis dengan Manifesto Kebudayaan yang antikomunis, Proses dialetika ini, menurut Lombard, ternyata berlaku juga di bidang ekonomi dan politik yang ditandai dengan masuknya “Mafia Berkeley” (istilah Revrisond Baswir) ke dalam lingkaran pemutus kebijakan di era Soeharto.

Namun, rupanya budaya Barat tersebut tidak dapat menempati posisi sebagai identitas bangsa. Kesadaran nasional bangsa yang bangkit pada awal abad ke-20 telah jelas menetapkan garis yang terpisah antara dua budaya: Barat dan Indonesia. Kesadaran nasional tersebut telah dirintis oleh para pahlawan bangsa yang begitu gigih menentang penjajahan Barat. Sehingga, Lombard mengakui bahwa perlawanan-perlawanan melahirkan gejala “kembali ke sumber-sumber Timur” dari kalangan nasionalis.

Gejala ini, menurut Lombard, mulai muncul sejak era R.A Kartini. Dr. Radjiman yang pernah sekolah di Belanda juga berpendapat demikian. Pada era selanjutnya, pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana yang dianggap kebarat-baratan dikritik keras oleh beberapa tokoh seperti dr. Sutomo, Prof. Poerbatjaraka, dan Sanusi Pane. Achdiat Kartamihardja menangkap kegalauan intelektual bangsa yang cenderung kebarat-baratan dalam novelnya, Atheis.

Usaha untuk menghalangi pembaratan juga muncul dari Suwardi Suryaningrat –belakangan dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara—yang mengembangkan dasar pendidikan dengan model Jawa yang bersih dari pengaruh kolonial (Ki Hajar Dewantara sendiri sebelumnya adalah tokoh Indische Partij yang dibuang). Gerakan anti-Barat ini kemudian semakin ditegaskan oleh PNI yang jelas mengusung nasionalisme sebagai dasar pergerakan.

Nasionalisme sebagai lawan dari pembaratan, seperti diulas oleh Lombard, terlihat pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Era tersebut memang diwarnai oleh konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat yang kemudian menjadi momentum gerakan anti-Belanda. Instrumen kebangsaan mulai digalakkan, kajian-kajian budaya lebih diprioritaskan untuk “indonesianisasi tradisi Jawa” (istilah Lombard).

Momentum anti-Barat ini juga terlihat dengan pemberian gelar pahlawan kepada tokoh-tokoh perlawanan terhadap Belanda dan tokoh pergerakan. Mulanya gelar ini hanya diberikan pada tiga orang saja: Abdul Muis, Ki Hadjar Dewantara, dan Suryopranoto. Namun pada perkembangannya gelar ini juga diberikan kepada tokoh-tokoh perlawanan lain seperti Pangeran Antasari atau Si Singamaradja. Gelar pahlawan ini pada gilirannya semakin menegaskan garis pembatas antara Barat dan Indonesia, serta semakin meneguhkan nasionalisme di hati rakyat Indonesia.

Gejala “kembali ke sumber-sumber Timur” juga terlihat pada ideologisasi yang dilakukan oleh Soekarno pada era 1959-1966 yang kita kenal sebagai Demokrasi Terpimpin. Secara sistematis, Soekarno mulai memperkenalkan beberapa jargon: Usdek (UUD 1945, Demokrasi, dan Kerakyatan), Manipol (Manifesto Politik RI), atau Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Soekarno menggunakan Pancasila sebagai landasan filosofis dalam propaganda-propaganda tersebut. Soekarno sendiri, menurut Lombard, juga tenggelam dengan budaya Jawa dalam berbagai pidato dan propagandanya.

Upaya Soekarno dalam membentengi bangsa dari budaya Barat juga terlihat dengan politik berdikari yang dicanangkan. Upaya ini berarti tidak menggantungkan diri kepada bangsa Barat secara ekonomi dan dengan demikian menegaskan sikapnya yang anti Barat. Namun, langkah-langkah Soekarno ini justru semakin mendekatkan RI dengan pihak komunis yang mengundang kritik dari pihak Islam. Masyumi sebagai pihak yang begitu keras menentang komunisme kemudian dibubarkan secara sepihak oleh Soekarno.

Pertentangan antara kaum budaya Barat (disebut oleh Lombard sebagai “pemenang 1966”) yang merujuk pada Soeharto dengan budaya Timur yang diwakili oleh Soekarno kemudian mencapai klimaks pada era 1965-1966. Kelompok yang pro dengan Barat—dalam bahasa Lombard disebut sebagai “pemenang 1966”— menjadi pihak yang diuntungkan oleh krisis politik pascakudeta G30S. Mereka kembali melakukan upaya pembaratan yang dalam hal ini tidak lagi mengambil tempat pada ranah budaya, tetapi pada ranah ekonomi dan politik. Lingkaran-lingkaran elit (istilah Jalaludin Rakhmat) mulai mendominasi kehidupan.

Kelompok “mafia Berkeley” yang mendominasi lingkaran kekuasaan mulai mendominasi kehidupan. Teori pembangunan Rostow yang neoliberalistik dan pro-bantuan asing menjadi pedoman dalam pembangunan ekonomi nasional. Di sisi lain, kelompok pembela Soekarno harus tersingkir secara politis dan dibuang ke berbagai pulau terpencil.

Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan baru bagi kita: sejauh manakah upaya pembaratan tersebut dapat dilawan dan dibentengi dari kepribadian bangsa kita? Lihat Bab selanjutnya dari Dennis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Selamat belajar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar