Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]
Ada hal menarik yang perlu diulas pada fenomena masuknya tiga negara Asia Timur (Jepang, Cina, dan Korea Selatan) ke dalam komunitas ASEAN+3. Bergabungnya tiga “macan Asia” ini menjadi sinyal penguatan kerjasama antara negara-negara Asia dan menyiratkan sebuah indikasi munculnya fenomena regionalisme baru di Asia Timur.
Problem Diplomasi
Selama ini, negara-negara di kawasan Asia Timur dikenal sebagai negara-negara yang mapan secara ekonomi. Cina, misalnya, dengan pangsa pasar yang sangat besar, menjadi salah satu tujuan perdagangan terbesar di dunia. Adapun Jepang dan Korea Selatan, sejak dulu telah mendominasi pasar dengan produksi barang-barang elektronik mereka. Kekuatan ekonomi tersebut menjadikan Jepang, Cina, dan Korea Selatan sebagai “soft-power hegemony” baru di dunia.
Namun, kemapanan ekonomi ternyata tidak diikuti oleh membaiknya hubungan diplomatik. Interaksi keempat negara (plus Korea Utara) sering diwarnai oleh berbagai kesalahpahaman atau rasa saling curiga yang menyebabkan tidak pernah tercapainya ide pembentukan organisasi regional di kawasan ini. Kendati masih ada forum seperti East-Asia Study Group, pembicaraan yang dilakukan tidak sampai menyentuh persoalan politik. Hal ini berbeda dengan konsep regionalisme di kawasan lain yang sampai pada level organisasi regional.
Setidaknya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakharmonisan hubungan mereka.
Pertama, faktor historis. Alasan sejarah seringkali menjadi pemicu ketegangan antara beberapa negara, seperti Cina dan Jepang. Kasus kuil Yasukuni, misalnya, memicu perselisihan yang cukup tajam antara Jepang dengan Cina dan Korea Selatan, karena kunjungan perdana menteri Jepang dianggap “membuka kembali” luka akibat perang dunia II. Meskipun berbagai upaya dialog telah coba dilakukan, perundingan hampir selalu menemui jalan buntu.
Kedua, faktor ideologi politik. Harus diakui, polarisasi ideologi politik pascaperang dingin sangat berpengaruh pada hubungan negara-negara di kawasan Asia Timur. Kendati sekarang permasalahan ideologi tidak lagi relevan dalam perekonomian (Cina tidak lagi menerapkan sistem ekonomi terpusat), bekas-bekas pertentangan antara kedua blok tersebut masih terasa dan sering membuat diplomasi tersendat. Hubungan antar-Korea sampai sekarang masih belum dapat berlanjut pada level yang lebih baik karena persoalan ini.
Memang, tidak adanya kata sepakat untuk mempersatukan negara-negara di kawasan ini ke dalam sebuah ikatan politis tidak akan berdampak pada kekuatan ekonomi masing-masing negara. Namun, ketiadaan model regionalisme tersebut akan menjadi problem ketika negara di Asia Timur harus menghadapi masalah-masalah bersama, seperti krisis finansial global atau keamanan regional. Oleh karena itu, upaya untuk mempertemukan kepentingan ketiga negara masih sangat perlu dilakukan.
Sinyal Regionalisme Baru?
Masuknya Cina, Jepang, dan Korea Selatan dalam ASEAN+3 patut dicermati. ASEAN sebagai sebuah model organisasi regional yang dirintis untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan nonpolitik di Asia Tengggara telah menjadi sebuah media untuk membuat model regionalisme baru di negara-negara Asia Timur. Kendati masih ada beberapa masalah seperti Taiwan, Tibet, atau Korea Utara masih menjadi batu sandungan, semua negara di forum ini telah sepakat untuk mempertemukan masing-masing kepentingan dalam sebuah wadah bersama.
Hasil pertemuan puncak ASEAN+3 di Singapura, tahun 2007 yang lalu merupakan sebuah langkah baru untuk menjalin hubungan yang lebih baik sesama negara Asia. Salah satu poin dari Chairman’s Statement mengisyaratkan bahwa negara-negara ASEAN menyambut baik kontribusi tiga negara “Plus Three” dalam pembentukan ASEAN Community serta mendukung upaya penyelesaian masalah nuklir di Semenanjung Korea. Dengan demikian, telah ada interaksi antara tiga negara di Asia Timur untuk menapak ke level yang lebih jauh.
Keberadaan ASEAN+3, di satu sisi, telah mendekatkan hubungan antara Asia Tenggara dan Asia Timur. Masalah yang dibahas dalam ASEAN +3 tidak hanya berkisar pada persoalan ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan persoalan keamanan, politik, dan kerjasama sosial (Yoshida, 2004)[2]. Sehingga, ketika Jepang, Cina, dan Korea Selatan masuk ke ASEAN+3, akan ada pembicaraan mengenai masalah-masalah yang selama ini dianggap sensitif oleh masing-masing negara, seperti isu nuklir Korea atau kuil Yasukuni.
Peran strategis kini dimainkan oleh ASEAN untuk menghubungkan kepentingan yang berbeda antara Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Dengan adanya ASEAN +3, muncul sebuah harapan terbentuknya model regionalisme baru yang tidak hanya mengakomodasi kepentingan pragmatis, tetapi juga kepentingan bersama kawasan. Kita nantikan saja model regionalisme baru di Asia Timur.
[1] Mahasiswa Semester II Ilmu Hubungan Internasional UGM, Angkatan 2008
[2] Tadashiro Yoshida, 2004. East Asian Regionalism and Japan. Working Papers. Tokyo: IDE APEC Study Center.
Ada hal menarik yang perlu diulas pada fenomena masuknya tiga negara Asia Timur (Jepang, Cina, dan Korea Selatan) ke dalam komunitas ASEAN+3. Bergabungnya tiga “macan Asia” ini menjadi sinyal penguatan kerjasama antara negara-negara Asia dan menyiratkan sebuah indikasi munculnya fenomena regionalisme baru di Asia Timur.
Problem Diplomasi
Selama ini, negara-negara di kawasan Asia Timur dikenal sebagai negara-negara yang mapan secara ekonomi. Cina, misalnya, dengan pangsa pasar yang sangat besar, menjadi salah satu tujuan perdagangan terbesar di dunia. Adapun Jepang dan Korea Selatan, sejak dulu telah mendominasi pasar dengan produksi barang-barang elektronik mereka. Kekuatan ekonomi tersebut menjadikan Jepang, Cina, dan Korea Selatan sebagai “soft-power hegemony” baru di dunia.
Namun, kemapanan ekonomi ternyata tidak diikuti oleh membaiknya hubungan diplomatik. Interaksi keempat negara (plus Korea Utara) sering diwarnai oleh berbagai kesalahpahaman atau rasa saling curiga yang menyebabkan tidak pernah tercapainya ide pembentukan organisasi regional di kawasan ini. Kendati masih ada forum seperti East-Asia Study Group, pembicaraan yang dilakukan tidak sampai menyentuh persoalan politik. Hal ini berbeda dengan konsep regionalisme di kawasan lain yang sampai pada level organisasi regional.
Setidaknya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakharmonisan hubungan mereka.
Pertama, faktor historis. Alasan sejarah seringkali menjadi pemicu ketegangan antara beberapa negara, seperti Cina dan Jepang. Kasus kuil Yasukuni, misalnya, memicu perselisihan yang cukup tajam antara Jepang dengan Cina dan Korea Selatan, karena kunjungan perdana menteri Jepang dianggap “membuka kembali” luka akibat perang dunia II. Meskipun berbagai upaya dialog telah coba dilakukan, perundingan hampir selalu menemui jalan buntu.
Kedua, faktor ideologi politik. Harus diakui, polarisasi ideologi politik pascaperang dingin sangat berpengaruh pada hubungan negara-negara di kawasan Asia Timur. Kendati sekarang permasalahan ideologi tidak lagi relevan dalam perekonomian (Cina tidak lagi menerapkan sistem ekonomi terpusat), bekas-bekas pertentangan antara kedua blok tersebut masih terasa dan sering membuat diplomasi tersendat. Hubungan antar-Korea sampai sekarang masih belum dapat berlanjut pada level yang lebih baik karena persoalan ini.
Memang, tidak adanya kata sepakat untuk mempersatukan negara-negara di kawasan ini ke dalam sebuah ikatan politis tidak akan berdampak pada kekuatan ekonomi masing-masing negara. Namun, ketiadaan model regionalisme tersebut akan menjadi problem ketika negara di Asia Timur harus menghadapi masalah-masalah bersama, seperti krisis finansial global atau keamanan regional. Oleh karena itu, upaya untuk mempertemukan kepentingan ketiga negara masih sangat perlu dilakukan.
Sinyal Regionalisme Baru?
Masuknya Cina, Jepang, dan Korea Selatan dalam ASEAN+3 patut dicermati. ASEAN sebagai sebuah model organisasi regional yang dirintis untuk mempertemukan kepentingan-kepentingan nonpolitik di Asia Tengggara telah menjadi sebuah media untuk membuat model regionalisme baru di negara-negara Asia Timur. Kendati masih ada beberapa masalah seperti Taiwan, Tibet, atau Korea Utara masih menjadi batu sandungan, semua negara di forum ini telah sepakat untuk mempertemukan masing-masing kepentingan dalam sebuah wadah bersama.
Hasil pertemuan puncak ASEAN+3 di Singapura, tahun 2007 yang lalu merupakan sebuah langkah baru untuk menjalin hubungan yang lebih baik sesama negara Asia. Salah satu poin dari Chairman’s Statement mengisyaratkan bahwa negara-negara ASEAN menyambut baik kontribusi tiga negara “Plus Three” dalam pembentukan ASEAN Community serta mendukung upaya penyelesaian masalah nuklir di Semenanjung Korea. Dengan demikian, telah ada interaksi antara tiga negara di Asia Timur untuk menapak ke level yang lebih jauh.
Keberadaan ASEAN+3, di satu sisi, telah mendekatkan hubungan antara Asia Tenggara dan Asia Timur. Masalah yang dibahas dalam ASEAN +3 tidak hanya berkisar pada persoalan ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan persoalan keamanan, politik, dan kerjasama sosial (Yoshida, 2004)[2]. Sehingga, ketika Jepang, Cina, dan Korea Selatan masuk ke ASEAN+3, akan ada pembicaraan mengenai masalah-masalah yang selama ini dianggap sensitif oleh masing-masing negara, seperti isu nuklir Korea atau kuil Yasukuni.
Peran strategis kini dimainkan oleh ASEAN untuk menghubungkan kepentingan yang berbeda antara Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Dengan adanya ASEAN +3, muncul sebuah harapan terbentuknya model regionalisme baru yang tidak hanya mengakomodasi kepentingan pragmatis, tetapi juga kepentingan bersama kawasan. Kita nantikan saja model regionalisme baru di Asia Timur.
[1] Mahasiswa Semester II Ilmu Hubungan Internasional UGM, Angkatan 2008
[2] Tadashiro Yoshida, 2004. East Asian Regionalism and Japan. Working Papers. Tokyo: IDE APEC Study Center.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar