Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar[1]
Hukum internasional, sebagai salah satu dari tiga bagian penting dalam kajian Hubungan Internasional (Unesco, 1950)[2], memiliki peran yang sangat signifikan dalam pelaksanaan politik luar negeri RI sejak proklamasi kemerdekaan.
Hukum internasional, sebagai salah satu dari tiga bagian penting dalam kajian Hubungan Internasional (Unesco, 1950)[2], memiliki peran yang sangat signifikan dalam pelaksanaan politik luar negeri RI sejak proklamasi kemerdekaan.
Instrumen Politik?
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum UI memotret korelasi hukum internasional dengan politik dalam sebuah makalah ilmiahnya yang berjudul “Hukum Internasional sebagai Instrumen Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai studi kasus”.
Argumentasi dasar yang mengawali makalah ini cukup menarik untuk diulas. Prof. Juwana berpendapat, Indonesia masih belum optimal dalam memanfaatkan hukum internasional sebagai instrumen politik, terutama politik luar negeri.
Argumentasi tersebut setidaknya mengisyaratkan dua hal.
Pertama, diplomasi RI masih belum sepenuhnya berorientasi pada pemahaman terhadap aturan hukum internasional.
Kedua, hukum internasional masih dipahami secara parsial oleh para praktisi hukum dan diplomat kita, tidak secara komprehensif.
Dua hal tersebut kemudian berimplikasi pada seringnya RI mengalami kegagalan diplomasi. Kasus Sipadan-Ligitan seakan menjadi pengingat atas kekalahan RI di pengadilan arbitrase internasional karena kelalaian administratif yang berdampak pada kekalahan diplomatik.
Tiga Bentuk Pemanfaatan
Menurut Prof. Juwana, ada tiga macam pemanfaatan hukum internasional sebagai sebuah instrumen politik.
Pertama, hukum internasional sebagai pengubah konsep. Kita dapat melihat contoh nyata dari pemanfaatan hukum internasional sebagai pengubah konsep ini pada kasus Uni Eropa.
Beberapa perjanjian yang menandai munculnya fenomena integrasi dan regionalisme di kawasan tersebut, seperti perjanjian Schengen, Amsterdam, Lisbon, atau Maastricht Treaty, pada perkembangannya mengubah konsep nation-state yang selama ini dipahami sebagai model negara, berdasarkan Treaty of Westphalia[3].
Hukum internasional yang dihasilkan dari serangkaian perundingan di beberapa tempat tersebut membuat Uni Eropa menjadi sebuah model supranasional yang diawali oleh berbagai perjanjian internasional.
Konsep ini kemudian berbeda dengan konsep negara-bangsa yang dirumuskan dari Treaty of Westphalia, yaitu menyandarkan garis negara atas dasar bangsa dengan konstruksi politik di dalamnya (a nation with political construct)[4].
Indonesia pun tercatat pernah mengubah konsep hukum laut internasional menjadi 12 mil dari tepi pantai terlandai pada UNCLOS, yang merupakan pengejawantahan dari Deklarasi Juanda sebagai penegak kedaulatan laut teritorial Indonesia.
Kedua, hukum internasional sebagai media intervensi atas negara lain. Salah satu pengecualian dari pemberlakuan intervensi atas suatu negara ialah jika negara tersebut telah nyata-nyata melanggar hukum internasional.
Contoh nyata yang dapat kita lihat dalam model pemanfaatan ini adalah intervensi NATO dan negara-negara Eropa terhadap Serbia (pada waktu itu masih bernama federasi Yugoslavia) dengan menggunakan perjanjian Daytona pada tahun 1995.
Dengan perjanjian tersebut, NATO berhasil mengintervensi kasus genosida di Bosnia secara militer dan memaksa Serbia untuk keluar dari negara berdaulat Bosnia.
Contoh lain terlihat pada Japan-USA Security Treaty pada tahun 1951. Perjanjian ini membuat Amerika Serikat berhasil mengintervensi kekuatan militer Jepang sehingga Jepang, sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II, tidak dapat lagi mengembangkan kekuatan offensive force.
Contoh lain yang juga relevan dalam kasus ini adalah intervensi Amerika Serikat atas Afghanistan pasca-2001, dengan alasan telah melindungi dan men-support pihak yang melanggar konvensi Tokyo 1963 mengenai tindak pidana dan tindakan lain yang dilakukan di atas pesawat udara (Tokyo Convention on Offences and Other Acts Committed on board Aircraft)[5].
Ketiga, pemanfaatan hukum internasional untuk menekan negara lain. Kasus nuklir Iran dapat menjadi sebuah contoh kasus tekanan diplomatik AS dan sekutunya kepada Iran hanya karena penggunaan uranium sebagai energi di Iran.
Dengan menggunakan perjanjian proliferasi nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons 1968), Amerika Serikat menggulirkan sebuah rancangan resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk menekan Iran agar menghentikan pembuatan nuklir yang pada dasarnya dirancang untuk energi.
Selain kasus Iran tersebut, kasus Darfur, Sudan juga dapat beberapa negara lain mendesak ICC untuk segera menahan Presiden Sudan Omar Al-Bashir dan menekan Sudan agar mempertanggungjawabkan kasus genosida di Sudan Selatan tersebut.
Indonesia sendiri juga memiliki pengalaman dalam hal ini. Ketika kasus Timor-Timur bergulir pada 1998, dengan kematian pengawas dari PBB di Atambua, serta korban jiwa dan kerusuhan ketika jajak pendapat PBB, Dewan Keamanan mengancam untuk membawa perwira TNI yang terkait dalam kasus ini ke sebuah pengadilan tribunal internasional, berdasarkan Konvensi HAM PBB.
Memang, Indonesia berdasarkan UU No 26 tahun 2000 akhrinya membentuk sebuah pengadilan HAM, sehingga pengajuan perwira TNI ke tribunal internasional berhasil dihindari.
Jepang pun, sebelum restorasi Meiji, juga ditekan oleh Amerika Serikat untuk dapat membuka pelabuhan-pelabuhannya bagi kapal-kapal bangsa Eropa atau Amerika. Persetujuan Kanagawa kemudian memperbolehkan kapal-kapal bangsa lain untuk masuk ke Jepang melalui beberapa pelabuhan, sehingga mengakhiri politik isolasi rezim Tokugawa di era Shogun.
Refleksi bagi Indonesia
Dengan tiga pemanfaatan tersebut, terlihat bahwa Indonesia sebenarnya agak jarang menggunakan hukum internasional sebagai instrumen politik luar negeri.
Padahal, mengingat tiga fungsi hukum internasional tersebut, Indonesia dapat memanfaatkan political capital yang dimiliki dalam diplomasi untuk memperkuat posisi tawar dan argumentasi yang ada. Sehingga, diharapkan tragedi Sipadan-Ligitan atau Timor-Timur tidak akan terjadi lagi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas diplomasi Indonesia ke depan.
Dengan demikian, jika mengacu pada Prof. Juwana, hukum internasional memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan kedaulatan Indonesia di mata negara lain. Diplomasi RI harus dapat membawa national interest yang ada, dan hukum internasional dapat menjadi instrumen yang strategis untuk merealisasikan hal tersebut.
Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum UI memotret korelasi hukum internasional dengan politik dalam sebuah makalah ilmiahnya yang berjudul “Hukum Internasional sebagai Instrumen Politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai studi kasus”.
Argumentasi dasar yang mengawali makalah ini cukup menarik untuk diulas. Prof. Juwana berpendapat, Indonesia masih belum optimal dalam memanfaatkan hukum internasional sebagai instrumen politik, terutama politik luar negeri.
Argumentasi tersebut setidaknya mengisyaratkan dua hal.
Pertama, diplomasi RI masih belum sepenuhnya berorientasi pada pemahaman terhadap aturan hukum internasional.
Kedua, hukum internasional masih dipahami secara parsial oleh para praktisi hukum dan diplomat kita, tidak secara komprehensif.
Dua hal tersebut kemudian berimplikasi pada seringnya RI mengalami kegagalan diplomasi. Kasus Sipadan-Ligitan seakan menjadi pengingat atas kekalahan RI di pengadilan arbitrase internasional karena kelalaian administratif yang berdampak pada kekalahan diplomatik.
Tiga Bentuk Pemanfaatan
Menurut Prof. Juwana, ada tiga macam pemanfaatan hukum internasional sebagai sebuah instrumen politik.
Pertama, hukum internasional sebagai pengubah konsep. Kita dapat melihat contoh nyata dari pemanfaatan hukum internasional sebagai pengubah konsep ini pada kasus Uni Eropa.
Beberapa perjanjian yang menandai munculnya fenomena integrasi dan regionalisme di kawasan tersebut, seperti perjanjian Schengen, Amsterdam, Lisbon, atau Maastricht Treaty, pada perkembangannya mengubah konsep nation-state yang selama ini dipahami sebagai model negara, berdasarkan Treaty of Westphalia[3].
Hukum internasional yang dihasilkan dari serangkaian perundingan di beberapa tempat tersebut membuat Uni Eropa menjadi sebuah model supranasional yang diawali oleh berbagai perjanjian internasional.
Konsep ini kemudian berbeda dengan konsep negara-bangsa yang dirumuskan dari Treaty of Westphalia, yaitu menyandarkan garis negara atas dasar bangsa dengan konstruksi politik di dalamnya (a nation with political construct)[4].
Indonesia pun tercatat pernah mengubah konsep hukum laut internasional menjadi 12 mil dari tepi pantai terlandai pada UNCLOS, yang merupakan pengejawantahan dari Deklarasi Juanda sebagai penegak kedaulatan laut teritorial Indonesia.
Kedua, hukum internasional sebagai media intervensi atas negara lain. Salah satu pengecualian dari pemberlakuan intervensi atas suatu negara ialah jika negara tersebut telah nyata-nyata melanggar hukum internasional.
Contoh nyata yang dapat kita lihat dalam model pemanfaatan ini adalah intervensi NATO dan negara-negara Eropa terhadap Serbia (pada waktu itu masih bernama federasi Yugoslavia) dengan menggunakan perjanjian Daytona pada tahun 1995.
Dengan perjanjian tersebut, NATO berhasil mengintervensi kasus genosida di Bosnia secara militer dan memaksa Serbia untuk keluar dari negara berdaulat Bosnia.
Contoh lain terlihat pada Japan-USA Security Treaty pada tahun 1951. Perjanjian ini membuat Amerika Serikat berhasil mengintervensi kekuatan militer Jepang sehingga Jepang, sebagai negara yang kalah dalam Perang Dunia II, tidak dapat lagi mengembangkan kekuatan offensive force.
Contoh lain yang juga relevan dalam kasus ini adalah intervensi Amerika Serikat atas Afghanistan pasca-2001, dengan alasan telah melindungi dan men-support pihak yang melanggar konvensi Tokyo 1963 mengenai tindak pidana dan tindakan lain yang dilakukan di atas pesawat udara (Tokyo Convention on Offences and Other Acts Committed on board Aircraft)[5].
Ketiga, pemanfaatan hukum internasional untuk menekan negara lain. Kasus nuklir Iran dapat menjadi sebuah contoh kasus tekanan diplomatik AS dan sekutunya kepada Iran hanya karena penggunaan uranium sebagai energi di Iran.
Dengan menggunakan perjanjian proliferasi nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons 1968), Amerika Serikat menggulirkan sebuah rancangan resolusi di Dewan Keamanan PBB untuk menekan Iran agar menghentikan pembuatan nuklir yang pada dasarnya dirancang untuk energi.
Selain kasus Iran tersebut, kasus Darfur, Sudan juga dapat beberapa negara lain mendesak ICC untuk segera menahan Presiden Sudan Omar Al-Bashir dan menekan Sudan agar mempertanggungjawabkan kasus genosida di Sudan Selatan tersebut.
Indonesia sendiri juga memiliki pengalaman dalam hal ini. Ketika kasus Timor-Timur bergulir pada 1998, dengan kematian pengawas dari PBB di Atambua, serta korban jiwa dan kerusuhan ketika jajak pendapat PBB, Dewan Keamanan mengancam untuk membawa perwira TNI yang terkait dalam kasus ini ke sebuah pengadilan tribunal internasional, berdasarkan Konvensi HAM PBB.
Memang, Indonesia berdasarkan UU No 26 tahun 2000 akhrinya membentuk sebuah pengadilan HAM, sehingga pengajuan perwira TNI ke tribunal internasional berhasil dihindari.
Jepang pun, sebelum restorasi Meiji, juga ditekan oleh Amerika Serikat untuk dapat membuka pelabuhan-pelabuhannya bagi kapal-kapal bangsa Eropa atau Amerika. Persetujuan Kanagawa kemudian memperbolehkan kapal-kapal bangsa lain untuk masuk ke Jepang melalui beberapa pelabuhan, sehingga mengakhiri politik isolasi rezim Tokugawa di era Shogun.
Refleksi bagi Indonesia
Dengan tiga pemanfaatan tersebut, terlihat bahwa Indonesia sebenarnya agak jarang menggunakan hukum internasional sebagai instrumen politik luar negeri.
Padahal, mengingat tiga fungsi hukum internasional tersebut, Indonesia dapat memanfaatkan political capital yang dimiliki dalam diplomasi untuk memperkuat posisi tawar dan argumentasi yang ada. Sehingga, diharapkan tragedi Sipadan-Ligitan atau Timor-Timur tidak akan terjadi lagi. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas diplomasi Indonesia ke depan.
Dengan demikian, jika mengacu pada Prof. Juwana, hukum internasional memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan kedaulatan Indonesia di mata negara lain. Diplomasi RI harus dapat membawa national interest yang ada, dan hukum internasional dapat menjadi instrumen yang strategis untuk merealisasikan hal tersebut.
Footnotes
[1] Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, Semester II, Angkatan 2008. Artikel diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional yang diampu oleh Drs. Usmar Salam, MIS.
[2] Miriam Budiardjo, 1972. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
[3] Masalah ini sempat dibahas dalam Konvensi Studi Eropa, Yogyakarta, 16-18 Maret 2009. Dr. Purwo Santoso menyebut fenomena ini sebagai “dua paradoks Uni Eropa”.
[4] Dean Minix and Sandra Hawley. 1998. Global Politics. New York: Wadsworth. Materi serupa juga disampaikan oleh Dr. Siti Muti’ah Setiawati, MA dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, 2008.
[5] J. G. Starke. 1989. Introduction to International Law (penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH.) Edisis Kesepuluh. Jakata: Sinar Grafika.
[1] Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM, Semester II, Angkatan 2008. Artikel diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Internasional yang diampu oleh Drs. Usmar Salam, MIS.
[2] Miriam Budiardjo, 1972. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
[3] Masalah ini sempat dibahas dalam Konvensi Studi Eropa, Yogyakarta, 16-18 Maret 2009. Dr. Purwo Santoso menyebut fenomena ini sebagai “dua paradoks Uni Eropa”.
[4] Dean Minix and Sandra Hawley. 1998. Global Politics. New York: Wadsworth. Materi serupa juga disampaikan oleh Dr. Siti Muti’ah Setiawati, MA dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, 2008.
[5] J. G. Starke. 1989. Introduction to International Law (penerjemah: Bambang Iriana Djajaatmadja, SH.) Edisis Kesepuluh. Jakata: Sinar Grafika.
PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
BalasHapusPutusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku
Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk
menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku
Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi
dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar
terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini
sudah terlampau sesat dan bejat.
Masyarakat konsumen tentunya akan sangat dirugikan. Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. "Perlawanan Pihak Ketiga" mungkin salah satu solusinya.
Permasalahannya, masihkah Anda mau perduli??
David
HP. (0274)9345675