(Andrej Tusicisny, International Political Science Review, 2007)
Keamanan selalu menjadi isu penting dalam politik internasional. Konfrontasi antara Indonesia-Malaysia di awal dekade 1960-an, misalnya, dilatarbelakangi oleh persepsi yang berbeda mengenai keamanan nasional di antara dua negara tersebut. Begitu pula kasus perang Teluk I yang disebabkan oleh adanya sikap saling mengancam antara Irak dan Iran. Sehingga, tak salah jika keamanan menjadi sebuah isu penting yang harus dibahas ketika dua negara atau lebih berinteraksi di level internasional.
Untuk menyikapi hal tersebut, beberapa organisasi regional sepakat membentuki komunitas keamanan. Tak terkecuali ASEAN yang kini tengah menapaki langkah baru untuk menyatukan visi dan menyamakan persepsi di antara negara-negara anggotanya. Targetnya jelas, masyarakat ASEAN yang lebih bervisi regional dan mempunyai tingkat solidaritas sosial yang sedikit lebih tinggi, yakni dari nasionalisme berbasis nation-state menuju regionalisme berbasis kawasan.
Komunitas Keamanan ASEAN: Penelitian Tusicisny (2007)
KTT ASEAN IX di Bali pada 7-8 Oktober 2003 telah mendesain ASEAN Security Community (Komunitas Keamanan ASEAN) sebagai salah satu dari tiga pilar dari piagam ASEAN. Dengan adanya Komunitas keamanan ini, sebuah konsep regionalisme baru ditelurkan: ASEAN akan menyamakan visi bersama mengenai keamanan yang selama ini rawan benturan antara sesama anggota sendiri. Sebuah komunitas keamanan diharapkan dapat menanggulangi kerawanan konflik internal dan ancaman eksternal yang vulnerable terhadap eksistensi ASEAN.
Penelitian yang dilakukan oleh Andrej Tusicisny (2007), sebagaimana penulis kutip di atas, cukup menarik untuk diulas lebih mendalam. Menurut Tusicisny, konsep komunitas keamanan (security community) mula-mula diperkenalkan oleh Deutsch et. al. (1957). Dari studi yang mereka lakukan, security community didefinisikan sebagai,
“a group of people” integrated by a “sense of community,” that is, “a belief on the part of individuals in a group that they have come to agreement on at least this one point: that common social problems must and can be resolved by processes of ‘peaceful change’
(Karl Deutsch, et.al., 1957, cf. Tusicisny, 2007)
Definisi Deutsch et.al. tersebut menggambarkan komunitas keamanan tidak lagi sebagai sebuah kewajiban bagi negara, tetapi lebih pada kepedulian orang-orang dalam suatu kelompok untuk menyelesaikan masalah sosial-politik dengan cara yang damai dalam sebuah region. Ketika kita kaitkan dalam konteks ASEAN, Komunitas Keamanan ASEAN menjadi sebuah media bagi negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan cara-cara damai.
Lebih jauh, Tusicisny membandingkan empat komunitas keamanan: ASEAN, MERCOSUR, ESC, dan NAFTA. Salah satu kesimpulan dari penelitian Tusicisny (2007) tersebut menunjukkan bahwa ASEAN memiliki kecenderungan tidak toleran terhadap out-groups. Tusicisny menganggap bahwa tingkat toleransi yang rendah ini dipengaruhi oleh dua variabel: internal violence (konflik internal) dan preponderant arms race (perlombaan senjata) yang sering terjadi antarnegara ASEAN. Tusicisny berkesimpulan,
It is perhaps not a coincidence that ASEAN, whose population is neither exceptionally tolerant nor trustful, faces outbursts of internal violence and a preponderant arms race despite the ongoing development of a security community.
(Andrej Tusicisny, 2007).
Temuan tersebut, disadari atau tidak, mencerminkan tingkat konflik yang cukup tinggi dari negara anggota. Fakta historis memang secara gamblang menjelaskan tingkat kesalahpahaman yang cukup tinggi pada internal ASEAN. Akan tetapi, kita juga patut menganalisis bahwa keberadaaan “pemain asing” seperti kepentingan AS dalam SEATO dan Sovyet di Vietnam juga turut mempengaruhi tensi konflik.
Penelitian Tusicisny juga menghasilkan pertanyaan baru: Apakah respons dari negara anggota ASEAN dalam menyikapi ancaman yang masuk ke wilayahnya begitu strict, ataukah karakteristik negara ASEAN yang sering terlibat dispute dan kesalahpahaman akibat perbatasan menghasilkan karakteristik yang tak jauh berbeda?
“Seteru Tetangga”: Kompetisi Kekuatan Militer?
Ada sebuah fakta yang cukup menarik untuk ditelusuri, yaitu bahwa komunitas keamanan yang coba dibentuk di ASEAN berkaitan erat dengan kompetisi kekuatan militer yang pernah terjadi di dalam ASEAN. Fakta tersebut tentu saja tidak bisa menjadi premis untuk menentukan kesimpulan bahwa terjadi perlombaan senjata atau kekuatan militer antarnegara ASEAN.
Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa dinamika hubungan antarnegara ASEAN sering diwarnai oleh kesalahpahaman dan perselisihan kecil, terutama masalah perbatasan atau perairan. Persoalan garis batas negara dan zona ekonomi eksklusif sering menjadi penyebab perselisihan antara dua negara atau lebih, seperti dalam kasus konflik Thailand-Kamboja atau Indonesia-Malaysia beberapa waktu yang lalu.
Persoalan lain yang juga cukup menarik jika kita ingin menjelaskan fenomena kompetisi kekuatan militer di antara negara-negara Asia Tenggara adalah anggaran pertahanan. Data International Institute for Strategic Studies menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1994-1997, ada kecenderungan dari negara-negara ASEAN untuk terus menaikkan jumlah defense budget mereka. Indonesia, misalnya, dalam kurun waktu tersebut menaikkan jumlah anggaran pertahanannya dari 2,4 US$ Billion hingga 4,8 US$ Billion (kenaikan 100%). Kendati, pascakrisis 1998, anggaran mereka turun drastis hingga mencapai hanya 1%.
Masalah kompetisi kekuatan militer ini memang cukup problematis ketika dihadapkan pada isu konflik akibat perbatasan yang dialami oleh beberapa negara. Klimaks konflik tersebut dapat dilihat pada konflik bersenjata Thailand-Kamboja yang sempat menjadi isu kawasan di tahun 2008. Kondisi ini diperparah oleh agenda war on terrorism atau pengeboman di beberapa negara yang memperkeruh suasana. Maka, keamanan di ASEAN memerlukan langkah antisipasi yang jelas.
Persoalan ini kemudian coba diselesaikan melalui The ASEAN Way yang mencoba untu membuat sebuah visi bersama dalam memandang masalah keamanan. Dari lima prinsip utama The ASEAN Way, salah satu prinsip yang cukup menarik yaitu menabukan penggunaan force yang diidentikan dengan kekerasan dan penggunaan kekuatan militer, serta tidak membolehkan campur tangan dalam masalah domestik negara lain (non-intervention). The ASEAN Way ini kemudian diintegrasikan dalam ASEAN Charter 2007 yang lebih mempertegas batasan-batasan keamanan di ASEAN.
Namun, persoalan kompetisi kekuatan militer ternyata bukan satu-satunya masalah. Persoalan lain yang juga sangat penting dalam lingkungan keamanan ASEAN adalah “pemain asing” yang menjelma dalam wujud Amerika Serikat atau Cina. Seberapa signifikankah pengaruh “pemain asing” tersebut dalam keamanan ASEAN?
“Pemain Asing”: Kepentingan Strategis AS
Keberadaan Amerika Serikat di Asia Tenggara pada dasarnya dimulai sejak sebelum Perang Dunia II. Amerika Serikat pertama kali masuk ke Asia Tenggara dengan menguasai Filipina sejak awal abad ke-20. AS mengambil-alih kepemimpinan di Filipina pasca-penjajahan Spanyol dan mengkooptasi gerakan Katipunan yang ingin menegakkan kedaulatan Filipina.
Sejak itu, AS memiliki saham kekuasaan di Asia Tenggara hingga Perang Asia Timur Raya. Sejarah mencatat pula bahwa Amerika Serikat –bersama sekutunya yang lain—berhasil memukul mundur Jepang dari kepulauan Pasifik, melalui Filipina, hingga akhirnya berhasil mencapai Hiroshima dan Nagasaki. Maka, sejarah keberadaan Amerika Serikat sebenarnya telah ada sejak sebelum menjadi negara hegemon.
Namun, Amerika Serikat benar-benar memiliki kepentingan strategis pada Perang Dingin. Pada saat itu, konstelasi politik internasional diwarnai oleh bipolaritas kekuasaan yang mengerucut pada dua negara super-power: Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Keberadaan SEATO dan Perang Vietnam menjadi bukti konflik dua negara yang eksesnya dapat dirasakan secara lintas benua. Sehingga, ASEAN muncul sebagai upaya untuk bersikap independen dan lepas dari pengaruh dua negara ini.
Pasca-perang dingin, konstelasi politik berubah. ASEAN merevitalisasi diri dengan mengubah haluan geraknya karena tidak ada lagi konflik antara dua negara “super-power”. Di sisi lain, tren keamanan internasional telah bergeser dari isu keamanan konvensional (persenjataan, industri militer, dll.) kepada isu keamanan manusia (narkoba, terorisme, atau penyakit menular) sehingga preferensi ASEAN dalam menyikapi keamanan juga berubah.
Pada tahun 2001, kecenderungan ASEAN dalam menyikapi masalah keamanan kembali berubah. Pengeboman WTC yang disusul oleh pengeboman di Bali dan Jakarta membuat keamanan kawasan kembali memanas. Amerika Serikat, dengan perang terhadap terorisme-nya menekan beberapa negara ASEAN untuk bekerjasama dalam memberantas terorisme. Singapura, sebagai sekutu dekat AS, secara aktif membantu AS sehingga keberadaan AS menjadi cukup sifnifikan.
Hanya saja, ASEAN masih belum terpengaruh untuk membentuk blok atau aliansi dengan AS. ASEAN dalam hal ini masih memegang prinsip The ASEAN Way sehingga secara kelembagaan, ASEAN tentu tidak terkait dengan Amerika Serikat. Persoalan hubungan yang mesra antara Singapura-AS tidak lantas membuat ASEAN tergantung dengan AS. Independensi ASEAN, nyatanya, masih terjaga hingga saat ini.
Kemudian, bagaimana peran “pemain asing” ini dalam keamanan ASEAN pasca-perang dingin? Kita patut membagi fase-fase hubungan mereka ke dalam dua periode: era Clinton dan era Bush. Bill Clinton yang berlatarbelakang Partai Demokrat menggunakan prinsip non-kekerasan dalam menjaga hubungannya dengan negara ASEAN. Akan tetapi, Bush dengan perang terhadap terorisme lebih intervensionis dalam menjalin hubungan dengan negara-negara ASEAN, dan lebih berkarakter realist. Pendekatan mereka pun berbeda, hingga menyebabkan persepsi dan pengaruh yang berbeda terhadap lingkungan keamanan ASEAN.
Quo-Vadis The ASEAN Way?
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi lingkungan keamanan ASEAN: “seteru tetangga” atau faktor internal dan “pemain asing” atau faktor eksternal. Maka, The ASEAN Way dan Komunitas Keamanan ASEAN diharapkan dapat menyikapi dua masalah ini untuk membentuk regionalisme ASEAN yang lebih komprehensif dan utuh.
Lingkungan keamanan ASEAN, di satu sisi, sangat rawan terhadap kepentingan negara lain. Namun di sisi lain, lingkungan keamanan ASEAN juga belum sepenuhnya bebas dari territorial dispute intraregional yang memiliki potensi konflik relatif tinggi. Untuk menyikapi hal tersebut, sikap mental yang lebih terbuka dari masyarakat ASEAN menjadi penting sehingga kesamaan visi mengenai ASEAN dapat terwujud di era yang akan datang.
Saatnya ASEAN berbenah: satukan visi, samakan persepsi!
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar