Senin, 22 Juni 2009

Memilih Presiden: Ijtihad, Ittiba', Taqlid, dan Talfiq Politik

Tulisan ini bukan bermaksud mengulas perspektif fiqh dari politik Indonesia, tetapi "mencoba" untuk memberikan sedikit opini dari seorang pemilih pemula untuk memilih presiden RI.


Dalam fiqh, ada empat tingkatan yang kita kenal: ijtihad, ittiba', taqlid, dan talfiq. ijtihad, artinya usaha untuk menyimpulkan hukum atas sesuatu hal, berdasarkan Al-Quran dan Hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang shahih atau qath'iy. Ittiba' berarti mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Taqlid, kurang lebih berarti mengikuti ijtihad satu mazhab dengan disertai sikap konsisten terhadap mazhab yang diikutinya tadi. Talfiq, kurang lebih berarti tidak mengikuti salah satu mazhab, tetapi mengambil dasar hukum atas dasar keuntungan pribadi dan pragmatisme dalam ibadah.


Penulis tidak akan berpanjang-lebar mendiskusikan masalah ini. Akan tetapi, penulis tertarik untuk menggunakan istilah-istilah tadi untuk mengomentari persoalan politik Indonesia kontemporer. Partai politik telah mengeluarkan “ijtihad” masing-masing, atau dalam hal ini keputusan untuk mendukung calon presiden tertentu. Bagi masyarakat awam yang berada pada level akar rumput, dukungan tersebut tak mungkin dengan mudah dipahami argumentasinya, karena partai politik pun memilih berdasarkan kepentingan mereka, bukan atas kepentingan konstituten.


Dalam konteks politik, seorang pengambil keputusan politik (“ijtihad politik”) dari parpol harus memiliki kecerdasan Ia harus bisa menganalisis kondisi yang ada, sehingga keputusan yang ia lahirkan tidak dilandasi oleh pragmatisme semata, tetapi juga memiliki muatan-muatan lain, semisal kesejahteraan atau hal-hal yang akan dibawa nanti. Jika kita spesifikkan lagi, misalnya dalam menentukan presiden, ijtihadnya jangan sampai menyalahi kaidah-kaidah yang telah dibangun dalam memilih presiden tersebut. Karena, sebuah ijtihad akan diikuti oleh para muqallid yang tidak memiliki preferensi jelas mengenai politik.


Ittiba' Taklud, atau Talfiq?


Lantas, di mana posisi kita, orang yang tidak berijtihad? Bagi para mahasiswa dan pelajar, atau mereka yang memahami realitas politik Indonesia, sikap terbaik jelas adalah "ittiba'", menjatuhkan pilihan dengan nalar. Pilihan kita harus disandarkan pada telaah kita terhadap para capres yang ada. Ketika kita ingin menentukan pilihan, kita harus mengetahui siapa calon presiden itu. bagaimana latar belakangnya. berasal dari mana ia. apa visi dan misinya. desain besar apa yang ingin ia bangun. dan akan dibawa ke mana Indonesia ini ketika ia memimpin nanti. Sikap kritis kita, para mahasiswa dan pelajar, dan kita yang paham dengan realitas politik ini harus dikedepankan agar nantinya, pilihan tersebut tidak menjerumuskan.


Perlu dicatat, tidak ada kebenaran mutlak dalam politik. Ketika seorang "mujtahid politik", dalam hal ini elit partai politik, telah memutuskan siapa yang ia bawa ketika pemilihan presiden nanti, sikap seorang mahasiswa yang notabene paham dengan realitas politiknya bukan secara membabi-buta mendukung partai tersebut. Kita kritisi. Tentukan sikap. Ketika sikap partai politik tersebut salah, tidak ada salahnya jika kita nyatakan bahwa sikap itu salah. Sikap itu keliru. Maka ambillah jalan yang benar. Tetapi jelas, akan ada konsekuensi yang akan diambil, dan konsekuensi itu harus kita ambil. Karena, kita adalah mahasiswa yang memiliki kemerdekaan berpikir. Kita memiliki wawasan untuk berpikir. Kita juga punya hak untuk menentukan sesuatu.


Bagaimana pula dengan sikap "taklid" terhadap partai politik? Tidak ada salahnya, memang. Sebuah keputusan tentu diambil berdasarkan hitungan untung-rugi.Akan tetapi, sikap tersebut harus dipertimbangkan lagi bagi seseorang yang paham realitas politik. Bagi para intelektual, kemampuan yang ada harus digunakan untuk memilih. Inilah amal dari ilmu yang telah dimiliki.


Namun, penulis tekankan lagi, jangan terburu-buru menyalahkan mereka yang ber”taklid” secara politik. Bisa jadi, mereka adalah kader partai tersebut. Bisa jadi pula, mereka tidak punya preferensi untuk menentukan pilihan, sehingga pilihannya dijatuhkan atas pertimbanga partai politik yang diyakininya. Sehingga jelas, hal itu tidak salah, dan pilihan tersebut patut kita hargai dan kita hormati.


Yang patut kita hindari adalah sikap terakhir. Jangan sampai kita bersikap talfiq. Ketika ternyata putusan partai itu tidak menyenangkan hati kita, kita menolak untuk mengikuti. Alasan sederhana: tidak sesuai dengan idealisme pribadi. Tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan ketika memilih partai politik. Atau alasan lain: uang Lantas memilih yang lain, atau bahkan golput karena alasan-alasan itu. Golput tidak salah, jikadisandarkan oleh nalar. Ketika tidak disandarkan oleh nalar, maka jelas, sikap itu adalah kepengecutan. Tidak pantas untuk diambil oleh seorang mahasiswa, atau seseorang yang paham politik.


Atau, memilih seorang calon presiden karena terpaksa. Karena telah “menyatakan diri” sebagai seorang pendukung partai tertentu, ia dengan terpaksa mengikuti partainya itu. Bagi penulis, sikap itu juga tidak sehat, karena mengungkung kemampuan berpikir. Seakan-akan, yang benar adalah partai dan kita tidak memiliki otoritas untuk mengklaim kebenaran. Sikap ini bukan sikap seorang intelektual yang berani berpikir untuk melakukan perubahan.


Akan tetapi, sikap ini tentu lebih baik daripada seorang kutu loncat politik yang tidak berani bersikap tegas. Sikap mereka yang diperbudak oleh uang. Atau sikap mereka yang ikut-ikutan, mencari keuntungan. Pragmatis. Tidak memiliki identitas politik. Sikap inilah yang membuat kedewasaan berpikir kita kian terhantui.


Celakanya, banyak orang yang bertalfiq dalam politik kita. banyak yang dengan seenak sendiri menjadi kutu loncat karena alasan dana. Karena alasan pribadi. Tidak memiliki sikap. Inilah kepengecutan. Tidak lantas bertaklid, tapi lari dari masalah. Tinggal Gelanggang, Colong Playu.


Sebuah Refleksi


Sekali lagi, tulisan ini tidak bertujuan untuk memberi jawaban atas sebuah masalah. Tetapi, memberi opini dengan menggunakan istilah-istilah fiqh tersebut. Ijtihad politik kian ramai diperbincangkan, dan sikap kita –sebagai rakyat Indonesia—adalah mengkaji dan mempertimbangkan berbagai ijtihad tersebut dengan pertimbangan nalar dan akal pikir yang sehat. Tentu, Al-Qur’an, Sunnah, dan ulama-ulama telah memberi pertimbangan bagi kita untuk memilih.


Sekarang tinggal pilih, masuk di kategori manakah anda pada Pemilihan Umum ini?


Wallahu a’lam bish shawwab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar