Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
“We have the power to make the world we seek, but only if we have the courage to make a new beginning, keeping in mind what has been written.” (Barrack Obama, 2009)
Rasanya, Presiden Amerika Serikat Barrack Obama telah mengirim sinyal yang begitu jelas dalam pidatonya di Mesir: “Smart Power”, konsep politik luar negeri yang ditawarkan oleh Obama, perlu diwujudkan melalui komunikasi yang lebih baik dengan dunia Islam, setidaknya dengan negara yang moderat seperti Indonesia.
Diplomasi Obama
Ada beberapa hal menarik yang patut kita ulas dari gaya diplomasi Obama.
Pertama, Obama ingin merekonstruksi hubungan luar negerinya dengan negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dari arah kunjungan perdana Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ke sejumlah negara Asia.
Kunjungan tersebut, jika kita tilik dari kebiasaan kunjungan Menteri Luar Negeri AS di periode-periode sebelumnya, merupakan pola yang tidak biasa. Seorang Menlu biasanya akan lebih mendahulukan kunjungan ke mitra strategis mereka, bukan ke negara berkembang.
Kedua, Obama ingin memulai era baru hubungan dengan negara-negara yang selama ini vokal terhadap hegemoni AS. Obama menyatakan diri siap duduk satu meja dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, misalnya, untuk membahas isu-isu penting seputar kawasan dan hubungan kedua negara.
Obama juga terlihat mendorong normalisasi hubungan AS-Iran, antara lain dengan dibukanya komunikasi mengenai optimalisasi konsulat sebagai sarana diplomasi unconventional antara AS dan Iran. Obama juga tak sering berkomentar pedas mengenai Ahmadinejad, sehingga Iran pun membebaskan Roxanne Saberi, wartawati AS yang ditangkap beberapa waktu lalu. Sinyal perbaikan hubungan sudah mulai terdeteksi.
Ketiga, Obama ingin mengubah mindset politik luar negeri yang dibangun oleh pemerintahan Bush menjadi lebih mengedepankan multilateralisme (kerjasama) sebagai ikon, bukan realisme politik yang bernuansa hegemon. Kedekatan dengan negara Asia dibangun. Kerjasama dengan dunia Islam mulai direncanakan.
Kecenderungan ini dapat pula kita lihat pada sikap Obama dalam beberapa masalah yang, walaupun masih bernuansa kepentingan, tetapi lebih soft dalam pendekatannya mengenai beberapa isu strategis internasional.
Gaya diplomasi ini menjadi sebuah cerminan era baru politik luar negeri AS. Dulu, dunia melihat AS sebagai sebuah hegemoni dan kekuatan penekan. Operasi militer bertajuk “war on terrorism” dibuka. Negara yang kritis dibungkam. Pemimpin yang melawan digulingkan. Ringkasnya, kekuatan politik AS sangat cenderung realis dan hegemonik.
Sekarang, akankah era tersebut berubah? Sebuah sinyal muncul: Obama ingin berubah. Tetapi, persoalannya tidak sesederhana itu. Masih ada kekuatan lain yang juga ikut bermain di belakang politik luar negeri AS, yaitu Israel.
Fenomena menarik juga terjadi di Israel. Hasil Pemilihan Umum telah menempatkan sebuah koalisi besar sebagai pemenang: Kadima-Likud-Yisrael Beitenu. Koalisi besar tersebut mengantarkan Benyamin Netanyahu sebagai perdana menteri dan Avigdor Lieberman sebagai Menteri Luar Negeri.
Model formasi tersebut mencerminkan haluan politik luar negeri Israel yang lebih radikal. Netanyahu berasal dari kelompok Yahudi garis keras dan menolak kompromi dengan Palestina, sedangkan Lieberman berkarakter ultranasionalis.
Formasi yang dibangun oleh Pemilu Israel ini jelas berseberangan dengan haluan politik luar negeri AS yang cenderung soft. Akibatnya, wajar jika Israel merasa ditinggalkan oleh Amerika Serikat pasca-kedatangan Obama ke Mesir awal Juni yang lalu. Kendati lobi-lobi AIPAC masih berada di Amerika Serikat, akan ada pergeseran arah politik internasional dalam beberapa waktu ke depan.
Ragam Tantangan
Persoalannya, apakah rezim Obama akan memberi setitik harapan baru di Timur Tengah? Pidato Obama di Mesir beberapa waktu lalu memang telah menunjukkan niat baiknya untuk mereposisi hubungan antara AS dan dunia Islam. Namun perlu diingat, tidak semudah itu mengubah kebijakan sebuah negara besar dengan alur birokrasi dan politik yang telah mapan.
Namun, bukan berarti kita apatis terhadap perbaikan. Negara-negara berkembang mesti merumuskan kembali kepentingan nasional, kedaulatan, dan persepsi ancaman yang ada sebagai alat untuk mengukur hubungan dengan Amerika Serikat.
Seberapapun moderatnya visi seorang Obama, ia tetap harus melewati setting politik yang telah dibangun sebelumnyaa oleh politisi dan lobbyist kawakan. Lobi-lobi AIPAC masih bercokol. Kongres masih harus menghadapi birokrasi lama. Kita juga masih belum mengetahui kepentingan-kepentingan terselubung AS yang tak terbaca oleh media. Obama, dengan langkah barunya, masih belum dapat memberi sebuah perubahan bagi dunia.
Maka, kewaspadaan perlu kita tingkatkan. Sinyal yang dikirim oleh Obama dalam pidatonya di Mesir awal Juni lalu harus kita tangkap sebagai sebuah awal untuk mencermati sepak terjang diplomasi AS di era baru. Langkah yang memerlukan kritik yang konstruktif dari semua pihak.
Di sinilah posisi penulis: Waspada dan kritis. Dunia akan mengalami sebuah masa yang berbeda, dan hal tersebut memerlukan kejelian analisis. Kita, sebagai warga dunia yang semakin borderless, jangan sampai terlena dan larut di dalam arus kepentingan global yang menggurita.
Pertanyaannya, akankah Obama menjadi sosok berbeda dalam panggung politik dunia empat tahun ke depan? Kita lihat saja nanti.
“We have the power to make the world we seek, but only if we have the courage to make a new beginning, keeping in mind what has been written.” (Barrack Obama, 2009)
Rasanya, Presiden Amerika Serikat Barrack Obama telah mengirim sinyal yang begitu jelas dalam pidatonya di Mesir: “Smart Power”, konsep politik luar negeri yang ditawarkan oleh Obama, perlu diwujudkan melalui komunikasi yang lebih baik dengan dunia Islam, setidaknya dengan negara yang moderat seperti Indonesia.
Diplomasi Obama
Ada beberapa hal menarik yang patut kita ulas dari gaya diplomasi Obama.
Pertama, Obama ingin merekonstruksi hubungan luar negerinya dengan negara-negara berkembang. Hal ini terlihat dari arah kunjungan perdana Menteri Luar Negeri Hillary Clinton ke sejumlah negara Asia.
Kunjungan tersebut, jika kita tilik dari kebiasaan kunjungan Menteri Luar Negeri AS di periode-periode sebelumnya, merupakan pola yang tidak biasa. Seorang Menlu biasanya akan lebih mendahulukan kunjungan ke mitra strategis mereka, bukan ke negara berkembang.
Kedua, Obama ingin memulai era baru hubungan dengan negara-negara yang selama ini vokal terhadap hegemoni AS. Obama menyatakan diri siap duduk satu meja dengan Presiden Venezuela Hugo Chavez, misalnya, untuk membahas isu-isu penting seputar kawasan dan hubungan kedua negara.
Obama juga terlihat mendorong normalisasi hubungan AS-Iran, antara lain dengan dibukanya komunikasi mengenai optimalisasi konsulat sebagai sarana diplomasi unconventional antara AS dan Iran. Obama juga tak sering berkomentar pedas mengenai Ahmadinejad, sehingga Iran pun membebaskan Roxanne Saberi, wartawati AS yang ditangkap beberapa waktu lalu. Sinyal perbaikan hubungan sudah mulai terdeteksi.
Ketiga, Obama ingin mengubah mindset politik luar negeri yang dibangun oleh pemerintahan Bush menjadi lebih mengedepankan multilateralisme (kerjasama) sebagai ikon, bukan realisme politik yang bernuansa hegemon. Kedekatan dengan negara Asia dibangun. Kerjasama dengan dunia Islam mulai direncanakan.
Kecenderungan ini dapat pula kita lihat pada sikap Obama dalam beberapa masalah yang, walaupun masih bernuansa kepentingan, tetapi lebih soft dalam pendekatannya mengenai beberapa isu strategis internasional.
Gaya diplomasi ini menjadi sebuah cerminan era baru politik luar negeri AS. Dulu, dunia melihat AS sebagai sebuah hegemoni dan kekuatan penekan. Operasi militer bertajuk “war on terrorism” dibuka. Negara yang kritis dibungkam. Pemimpin yang melawan digulingkan. Ringkasnya, kekuatan politik AS sangat cenderung realis dan hegemonik.
Sekarang, akankah era tersebut berubah? Sebuah sinyal muncul: Obama ingin berubah. Tetapi, persoalannya tidak sesederhana itu. Masih ada kekuatan lain yang juga ikut bermain di belakang politik luar negeri AS, yaitu Israel.
Fenomena menarik juga terjadi di Israel. Hasil Pemilihan Umum telah menempatkan sebuah koalisi besar sebagai pemenang: Kadima-Likud-Yisrael Beitenu. Koalisi besar tersebut mengantarkan Benyamin Netanyahu sebagai perdana menteri dan Avigdor Lieberman sebagai Menteri Luar Negeri.
Model formasi tersebut mencerminkan haluan politik luar negeri Israel yang lebih radikal. Netanyahu berasal dari kelompok Yahudi garis keras dan menolak kompromi dengan Palestina, sedangkan Lieberman berkarakter ultranasionalis.
Formasi yang dibangun oleh Pemilu Israel ini jelas berseberangan dengan haluan politik luar negeri AS yang cenderung soft. Akibatnya, wajar jika Israel merasa ditinggalkan oleh Amerika Serikat pasca-kedatangan Obama ke Mesir awal Juni yang lalu. Kendati lobi-lobi AIPAC masih berada di Amerika Serikat, akan ada pergeseran arah politik internasional dalam beberapa waktu ke depan.
Ragam Tantangan
Persoalannya, apakah rezim Obama akan memberi setitik harapan baru di Timur Tengah? Pidato Obama di Mesir beberapa waktu lalu memang telah menunjukkan niat baiknya untuk mereposisi hubungan antara AS dan dunia Islam. Namun perlu diingat, tidak semudah itu mengubah kebijakan sebuah negara besar dengan alur birokrasi dan politik yang telah mapan.
Namun, bukan berarti kita apatis terhadap perbaikan. Negara-negara berkembang mesti merumuskan kembali kepentingan nasional, kedaulatan, dan persepsi ancaman yang ada sebagai alat untuk mengukur hubungan dengan Amerika Serikat.
Seberapapun moderatnya visi seorang Obama, ia tetap harus melewati setting politik yang telah dibangun sebelumnyaa oleh politisi dan lobbyist kawakan. Lobi-lobi AIPAC masih bercokol. Kongres masih harus menghadapi birokrasi lama. Kita juga masih belum mengetahui kepentingan-kepentingan terselubung AS yang tak terbaca oleh media. Obama, dengan langkah barunya, masih belum dapat memberi sebuah perubahan bagi dunia.
Maka, kewaspadaan perlu kita tingkatkan. Sinyal yang dikirim oleh Obama dalam pidatonya di Mesir awal Juni lalu harus kita tangkap sebagai sebuah awal untuk mencermati sepak terjang diplomasi AS di era baru. Langkah yang memerlukan kritik yang konstruktif dari semua pihak.
Di sinilah posisi penulis: Waspada dan kritis. Dunia akan mengalami sebuah masa yang berbeda, dan hal tersebut memerlukan kejelian analisis. Kita, sebagai warga dunia yang semakin borderless, jangan sampai terlena dan larut di dalam arus kepentingan global yang menggurita.
Pertanyaannya, akankah Obama menjadi sosok berbeda dalam panggung politik dunia empat tahun ke depan? Kita lihat saja nanti.
*) Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar