Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Banjarmasin selalu identik dengan sungai dan air. Sungai mengalir dari Mantuil di selatan sampai Sungai Alalak di utara. Tak hanya itu, sungai-sungai tersebut juga mengalir sampai ke daerah Banjarbaru, Martapura, dan sekitarnya. Oleh karena itu, dunia mengenal Banjarmasin sebagai The River City, Kota Seribu Sungai.
Identiknya Banjarmasin dengan sungai ini ternyata telah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu. Bambang Subiyakto dalam makalahnya, ”Infrastruktur Pelayaran Sungai Kota Banjarmasin 1900-1970” menyatakan bahwa jaringan transportasi air di Banjarmasin telah berkembang sejak perempat kedua abad ke-16. Kehidupan sungai berjalan dengan pembangunan kanal (handil, anjir, dan saka) di beberapa tempat (Subiyakto, 2004).
Peran sungai yang dulu begitu sentral kemudian bergeser seiring bergulirnya zaman. Pesatnya pembangunan ternyata membawa berbagai perubahan sosial di Banjarmasin dan mengubah ritme kehidupan sungai dengan pembangunan infrastruktur darat. Pada perkembangannya, hal ini justru melahirkan masalah baru, yaitu tergerusnya ”budaya sungai” dari kehidupan masyarakat.
Sebuah berita Banjarmasin Post tiga tahun yang lalu, 2 Agustus 2005 memperkuat asumsi tersebut. Pada berita tersebut, terungkap sebuah fakta bahwa ternyata kadar Fe yang ditemukan di beberapa sungai yang menjadi sumber air di Kalsel melebihi batas normal, yaitu 0,1 mg/ppm. Kadar keasaman air juga rendah, di bawah 5,6 dengan standard normal 5,6-5,7. Kondisi ini diperparah dengan penggunaan sungai sebagai media MCK (Mandi, Cuci, Kakus) oleh penduduk setempat.
Ternyata kuantitas sungai juga tergerus. Data Dinas Kimprasko Banjarmasin sebagaimana dikutip oleh Banjarmasin Post, 15 Maret 2008 menyebutkan bahwa dalam sembilan tahun terakhir, 57 sungai “menghilang” dari Banjarmasin. Pada tahun 1995, tercatat 117 sungai mengalir di Banjarmasin. Akan tetapi, jumlah tersebut merosot tajam menjadi 70 sungai di tahun 2002 dan semakin menyusut menjadi 60 sungai dua tahun kemudian.
Data di atas memperlihatkan sebuah fenomena ironis, yakni tergerusnya sungai-sungai di Banjarmasin oleh pembangunan. Hal ini jelas memerlukan tanggung jawab pemerintah (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan masyarakat dalam penanganannya. Oleh karena itu, kita perlu merumuskan kembali kebijakan-kebijakan konstruktif untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai trademark Kota Banjarmasin.
Pikada: Kemauan Politik dan Masa Depan Lingkungan
Pilkada Kalsel 2010 telah berada di depan mata. Dengan pelbagai medium kampanye dan sosialisasi, telah muncul nuansa kompetisi untuk memperebutkan kursi Kalsel-1. Hal yang patut kita nantikan, seberapa jauh tawaran kebijakan dan pilar politik lingkungan yang bersahabat itu ditawarkan oleh kampanye dalam visi-misi merka?
Hal paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki paradigma politik lingkungan. Potret politik lokal satu dekade terakhir menunjukkan sebuah fenomena memilukan: Kuasa negara seakan tenggelam oleh dominasi kapitalisme pelaku tambang yang tidak proaktif terhadap pembangunan berkelanjutan. Hal ini semakin dilengkapi oleh oligarki yang ditanamkan, terutama dalam konteks ekonomi-politik lokal, antara pemerintah dan pelaku bisnis.
Nuansa seperti ini jelas tidak menunjukkan kepedulian terhadap eksistensi lingkungan yang akan kita wariskan kepada generasi masa depan. Wajar jika kita bertanya, apa aset lingkungan yang kita miliki 15 atau 20 tahun yang akan datang?
Kemauan politik menjadi urgen untuk mengentaskan ketidakpedulian terhadap lingkungan, terutama dalam konteks Pilkada Kalsel 2010 mendatang. Jika boleh urun saran, ada beberapa pendapat yang ingin penulis sumbangkan untuk memperbaiki paradigma politik lingkungan kita, terutama dalam konteks sungai.
Pertama, haram bagi calon kepala daerah manapun untuk menerima dana dari pebisnis yang mengeksploitasi sungai atau lingkungan secara serampangan. Walaupun legal secara hukum, hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi kekuasaan dan oligarki antara negara dan pasar, yang nantinya akan mereduksi kadar kepedulian terhadap lingkungan. Sumber dana harus jelas, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik serta konstituen.
Kedua, siapapun yang terpilih nantinya, perlu adanya rancangan peraturan daerah spesifik terkait soal konservasi sungai. Desain peraturan daerah ini harus mengatur pembuangan limbah (rumah tangga atau industri) ke sungai, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), akses perhubungan sungai, perbaikan infrastruktur perairan, dan hal lain yang sejenis.. Di sini, koordinasi legislatif-eksekutif mutlak diperlukan.
Ketiga, kebijakan tata kota dan tata ruang tak boleh menggerus budaya sungai yang melekat pada diri masyarakat kota Banjarmasin. Artinya, biarpun ada perbaikan tata kota, keselarasan hidup antara warga masyarakat dengan sungai tak boleh digerus begitu saja. Perlu ada wilayah-wilayah tertentu yang dilestarikan sebagai wujud interaksi positif manusia-lingkungan, dalam bentuk kawasan konservasi aliran sungai.
Keempat, kapitalisme yang tak ramah lingkungan, baik dalam wujud mall, limbah pabrik, atau budaya konsumtif perlu menjadi perhatian khusus. Kawasan sungai mutlak adalah kawasan lingkungan yang perlu dikonservasi untuk kebaikan masa depan. Konsep kearifan kapitalis yang digagas oleh Heidegger dalam konstruksi midta-sein (hidup bersama secara rukun) antara lingkungan-manusia, atau narasi alternatif dalam ekonomi-politik pembangunan perlu dibaca dalam ranah yang lebih implementatif dan praksis, bukan sekadar wacana.
Empat saran tersebut penulis sumbangkan sebagai wujud cinta terhadap banua. Penulis yang dibesarkan bersama sungai hanya dapat berharap, pergantian kepemimpinan dan perubahan politik lokal dalam potret Pilkada Kalsel 2010 ini tidak melupakan kepedulian pemerintah terhadap sungai. Tak ada kata kasip untuk berubah, ujar Eep Saefulloh Fatah. Bukankah masa depan kita, Urang Banjar, tergantung pada eksistensi sungai-sungai yang ada di dalamnya?
*) Mahasiswa UGM
Banjarmasin selalu identik dengan sungai dan air. Sungai mengalir dari Mantuil di selatan sampai Sungai Alalak di utara. Tak hanya itu, sungai-sungai tersebut juga mengalir sampai ke daerah Banjarbaru, Martapura, dan sekitarnya. Oleh karena itu, dunia mengenal Banjarmasin sebagai The River City, Kota Seribu Sungai.
Identiknya Banjarmasin dengan sungai ini ternyata telah berlangsung sejak beberapa abad yang lalu. Bambang Subiyakto dalam makalahnya, ”Infrastruktur Pelayaran Sungai Kota Banjarmasin 1900-1970” menyatakan bahwa jaringan transportasi air di Banjarmasin telah berkembang sejak perempat kedua abad ke-16. Kehidupan sungai berjalan dengan pembangunan kanal (handil, anjir, dan saka) di beberapa tempat (Subiyakto, 2004).
Peran sungai yang dulu begitu sentral kemudian bergeser seiring bergulirnya zaman. Pesatnya pembangunan ternyata membawa berbagai perubahan sosial di Banjarmasin dan mengubah ritme kehidupan sungai dengan pembangunan infrastruktur darat. Pada perkembangannya, hal ini justru melahirkan masalah baru, yaitu tergerusnya ”budaya sungai” dari kehidupan masyarakat.
Sebuah berita Banjarmasin Post tiga tahun yang lalu, 2 Agustus 2005 memperkuat asumsi tersebut. Pada berita tersebut, terungkap sebuah fakta bahwa ternyata kadar Fe yang ditemukan di beberapa sungai yang menjadi sumber air di Kalsel melebihi batas normal, yaitu 0,1 mg/ppm. Kadar keasaman air juga rendah, di bawah 5,6 dengan standard normal 5,6-5,7. Kondisi ini diperparah dengan penggunaan sungai sebagai media MCK (Mandi, Cuci, Kakus) oleh penduduk setempat.
Ternyata kuantitas sungai juga tergerus. Data Dinas Kimprasko Banjarmasin sebagaimana dikutip oleh Banjarmasin Post, 15 Maret 2008 menyebutkan bahwa dalam sembilan tahun terakhir, 57 sungai “menghilang” dari Banjarmasin. Pada tahun 1995, tercatat 117 sungai mengalir di Banjarmasin. Akan tetapi, jumlah tersebut merosot tajam menjadi 70 sungai di tahun 2002 dan semakin menyusut menjadi 60 sungai dua tahun kemudian.
Data di atas memperlihatkan sebuah fenomena ironis, yakni tergerusnya sungai-sungai di Banjarmasin oleh pembangunan. Hal ini jelas memerlukan tanggung jawab pemerintah (legislatif, eksekutif, yudikatif) dan masyarakat dalam penanganannya. Oleh karena itu, kita perlu merumuskan kembali kebijakan-kebijakan konstruktif untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai trademark Kota Banjarmasin.
Pikada: Kemauan Politik dan Masa Depan Lingkungan
Pilkada Kalsel 2010 telah berada di depan mata. Dengan pelbagai medium kampanye dan sosialisasi, telah muncul nuansa kompetisi untuk memperebutkan kursi Kalsel-1. Hal yang patut kita nantikan, seberapa jauh tawaran kebijakan dan pilar politik lingkungan yang bersahabat itu ditawarkan oleh kampanye dalam visi-misi merka?
Hal paling utama yang perlu dilakukan adalah memperbaiki paradigma politik lingkungan. Potret politik lokal satu dekade terakhir menunjukkan sebuah fenomena memilukan: Kuasa negara seakan tenggelam oleh dominasi kapitalisme pelaku tambang yang tidak proaktif terhadap pembangunan berkelanjutan. Hal ini semakin dilengkapi oleh oligarki yang ditanamkan, terutama dalam konteks ekonomi-politik lokal, antara pemerintah dan pelaku bisnis.
Nuansa seperti ini jelas tidak menunjukkan kepedulian terhadap eksistensi lingkungan yang akan kita wariskan kepada generasi masa depan. Wajar jika kita bertanya, apa aset lingkungan yang kita miliki 15 atau 20 tahun yang akan datang?
Kemauan politik menjadi urgen untuk mengentaskan ketidakpedulian terhadap lingkungan, terutama dalam konteks Pilkada Kalsel 2010 mendatang. Jika boleh urun saran, ada beberapa pendapat yang ingin penulis sumbangkan untuk memperbaiki paradigma politik lingkungan kita, terutama dalam konteks sungai.
Pertama, haram bagi calon kepala daerah manapun untuk menerima dana dari pebisnis yang mengeksploitasi sungai atau lingkungan secara serampangan. Walaupun legal secara hukum, hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi kekuasaan dan oligarki antara negara dan pasar, yang nantinya akan mereduksi kadar kepedulian terhadap lingkungan. Sumber dana harus jelas, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik serta konstituen.
Kedua, siapapun yang terpilih nantinya, perlu adanya rancangan peraturan daerah spesifik terkait soal konservasi sungai. Desain peraturan daerah ini harus mengatur pembuangan limbah (rumah tangga atau industri) ke sungai, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), akses perhubungan sungai, perbaikan infrastruktur perairan, dan hal lain yang sejenis.. Di sini, koordinasi legislatif-eksekutif mutlak diperlukan.
Ketiga, kebijakan tata kota dan tata ruang tak boleh menggerus budaya sungai yang melekat pada diri masyarakat kota Banjarmasin. Artinya, biarpun ada perbaikan tata kota, keselarasan hidup antara warga masyarakat dengan sungai tak boleh digerus begitu saja. Perlu ada wilayah-wilayah tertentu yang dilestarikan sebagai wujud interaksi positif manusia-lingkungan, dalam bentuk kawasan konservasi aliran sungai.
Keempat, kapitalisme yang tak ramah lingkungan, baik dalam wujud mall, limbah pabrik, atau budaya konsumtif perlu menjadi perhatian khusus. Kawasan sungai mutlak adalah kawasan lingkungan yang perlu dikonservasi untuk kebaikan masa depan. Konsep kearifan kapitalis yang digagas oleh Heidegger dalam konstruksi midta-sein (hidup bersama secara rukun) antara lingkungan-manusia, atau narasi alternatif dalam ekonomi-politik pembangunan perlu dibaca dalam ranah yang lebih implementatif dan praksis, bukan sekadar wacana.
Empat saran tersebut penulis sumbangkan sebagai wujud cinta terhadap banua. Penulis yang dibesarkan bersama sungai hanya dapat berharap, pergantian kepemimpinan dan perubahan politik lokal dalam potret Pilkada Kalsel 2010 ini tidak melupakan kepedulian pemerintah terhadap sungai. Tak ada kata kasip untuk berubah, ujar Eep Saefulloh Fatah. Bukankah masa depan kita, Urang Banjar, tergantung pada eksistensi sungai-sungai yang ada di dalamnya?
*) Mahasiswa UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar