Sabtu, 03 April 2010

Radikal vis-a-vis Moderat: Fundamentalise Agama dalam Perspektif Ekonomi-Politik

Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)

ABSTRACT

The problem of terrorism haunted Indonesia since 1998. The fall of Soeharto also followed by the rise of some groups whose ideoligical roots come from Islamic political movement in middle east. Many researchers, like Mujani (2004), Azra (2006), or van Bruinesen (2002) believes that terrorism is caused by the radical movement of Islamist groups, and they promote the empowerment of moderate society to encounter the radical ones. But in another discourse, like Hadiz and Robison (2004), or Hadiz (2009), the problems are not only the radical group, but also its root: poverty, oligarchy, and authoritarianism which has been inherited by New Order authoritarian era. This article tries to analyze the genealogy of radical Islam group in Indonesia using political economy approach.

Keywords: Radical Islam, Political Economy Oligarchy.

Pengantar

Munculnya fenomena terorisme di Indonesia telah mengajak kita untuk mendiskusikan sebuah fenomena yang muncul dari pemberitaan media: Islam “radikal”. Pasca-pengeboman kuningan, banyak pihak yang mencoba untuk mengaitkan pengeboman ini dengan kelompok yang diberi label “radikal” oleh media massa. Padahal, labelisasi “Islam Radikal” ini sebenarnya masih sangat problematis dan perlu diperdebatkan oleh para teoritisi ilmu politik.

Dengan adanya kelompok yang dinilai “radikal” atau “populis”—meminjam istilah Vedi R Hadiz— yang dilabelisasi oleh media dan analis terorisme, apakah diskursus berhenti pada titik ini, dengan menstigmatisasi kelompok Islam ini sebagai pelaku teror, tanpa memperhatikan diskursus historis yang menyebabkan kemunculan ini? Apakah diskursus tidak lagi memperhatikan sebab-sebab lain yang sebenarnya lebih substansial daripada sekadar labelisasi?

Dr. Vedi R Hadiz, pengajar di National University of Singapore yang juga Doktor lulusan Murdoch University, memotret masalah ini pada seminar Dies Natalis FISIPOL UGM beberapa waktu lalu .

Melacak Keterkaitan Islam Radikal dan Terorisme

Menjadi menarik bagi penulis untuk menganalisis keterlibatan fundamentalisme agama ketika Indonesia dihadapkan pada sebuah fenomena munculnya gerakan terorisme transnasional yang beberapa waktu lalu melakukan pengeboman di beberapa tempat. Dari pemberitaan media, penulis menangkap bahwa seakan-akan para pengebom Bali adalah mereka yang terdoktrinasi untuk menghalalkan segala cara dalam memenuhi tuntutan ideologis mereka.

Akhirnya, muncullah stereotipe mengenai gerakan keagamaan yang “fundamentalis”. Stereotipe ini kian meluas tidak hanya pada aksi terorisme, tetapi juga pada aspek-aspek lain yang tidak ada kaitannya dengan aksi teror. Di beberapa tempat, orang-orang yang memiliki identitas keislaman yang kuat justru dicurigai sebagai “teroris” atau “fundamentalis” yang dianggap berbahaya.

Persoalannya, apakah benar terorisme inheren dengan Islam Radikal?

Beberapa penulis yang mengaku “moderat”, seperti Mujani (2004) atau van Bruinesen (2002) melacak akar genealogis dari Islam Radikal. Mujani (2004) yang menganalisis keterkaitan Islam dan demokrasi di Indonesia menilai, keberadaan Islam Radikal bukan fenomena yang genuine lahir di Indonesia; mereka kental dengan pengaruh-pengaruh eksternal dari Timur Tengah. Keberadaan gagasan “Islamisme” yang mereka bawa pun tidak sepenuhnya mencerminkan keindonesiaan .

Sementara menurut van Bruinesen (2002), kelahiran apa yang ia sebut sebagai “radical Islam” dapat dilacak pada munculnya Darul Islam di beberapa kota dan partai politik Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang kerap membangun jaringan transnasional dengan beberapa gerakan di Timur Tengah. Gerakan yang dimaksud beragam: ada Wahabi di Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin di Mesir, dan lain sebagainya. Di kemudian hari muncul Hizbut-Tahrir dari Yordania.

Darul Islam membangun fragmen kelompoknya dengan kekuatan militer: beberapa pemberontakan lahir di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Jawa Barat (Kartosuwiryo), dan Aceh (Daud Beureueh). Dengan kekuatan ini, Darul Islam melancarkan pemberontakan kepada pemerintah RI secara terbuka, kendati kemudian dapat diberangus oleh rejim politik ketika itu. Adapun Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka kenegaraan di parlemen dan berhasil menempati posisi kedua di Pemilu 1955 .

Azra (2006) juga menegaskan hal yang tidak jauh berbeda. Ia menyebutkan dua fenomena yang ia sebut sebagai “mainstream muslims” di satu sisi, dan kelompok radikal di sisi yang lain . Dua hal yang ia pandang bertentangan satu sama lain ini mewarnai Islam di Indonesia pascareformasi dan, seperti logika Huntington yang sudah-sudah, ia juga melihat adanya benturan kepentingan di antara dua kelompok ini. Azra (2006) melihat pentingnya memberdayakan kelompok moderat sebagai salah satu upaya menanggulangi kelompok radikal ini.

Persoalannya, apakah benturan antara kelompok “radikal” dan “moderat” ini yang melahirkan terorisme? Persoalannya, dulu, aktivitas terorisme ini justru dilakukan oleh Orde Baru. Azra, Mujani, atau van Bruinesen boleh-boleh saja mengatakan bahwa radikalisme dibawa oleh gerakan Islam transnasional, tetapi kita tak dapat melupakan bahwa jauh sebelum gerakan Islam masuk, Orde Baru telah terlebih dulu mempraktikkan aksi teror kepada PKI, aktivis Islam, aktivis prodemokrasi dan kelompok lain yang resisten terhadap rejim.

Aktornya bukan paramiliter atau kekuatan bersenjata yang revolusioner. Orde Baru menggunakan tentara sebagai alat politik, atau dalam bahasa Huntington sebagai “penjaga praetorian”, dan meneguhkan eksistensi rejim yang dibangun dari kapitalisme yang rapuh tersebut selama 32 tahun. Feith (1980) menyebut hal ini sebagai rejim “developmentalis represif” .

Pemunculan Terminologi “Radikal” vis-a-vis “Moderat”

Dengan membaca tesis-tesis tersebut, akan muncul pertanyaan baru: apakah benar bahwa Islam Radikal merupakan gagasan eksternal, tanpa adanya intervensi rejim politik yang turut melahirkan kelompok Islam Radikal sebagai alat politik? Kita dapat menggunakan perspektif historis untuk membaca hal tersebut. Sejarah, menurut Dr. Hadiz, membuktikan bahwa kemunculan Islam sebagai sebuah kekuatan politik di Indonesia sarat dengan kepentingan-kepentingan material.

Sehingga, pada perkembangannya justru terjadi fragmentasi pada kelompok muslim: pemilik modal yang ingin meneguhkan kepentingannya, dan mereka termarjinalkan karena tak memiliki modal. Di beberapa partai pun terjadi hal demikian. Di Syarikat Islam, misalnya, Samanhudi (pendiri SI) merupakan pedagang batik. Hal ini menyebabkan ambiguitas ketika umat Islam mentransformasikan kekuatan pada satu gerakan anti-kolonial.

Awal kemunculan gerakan politik Islam di Indonesia, yaitu Sarekat Islam (SI), misalnya, diawali oleh inisiatif pedagang-pedagang muslim untuk melindungi kepentingan dagang mereka dari ekspansi pedagang Cina. Mereka sadar bahwa untuk mengalahkan lawan bisnis harus dengan persatuan. Perkembangan berikutnya, Sarekat Islam pasca-Tjokroaminoto terfragmentasi menjadi SI-Merah yang akhirnya kita kenal sebagai Partai Komunis Indonesia.

Dalam konteks Negara pasca-Kolonial, kekuatan politik umat Islam yang direpresentasikan oleh Masyumi, juga diwarnai oleh kepentingan-kepentingan material yang menjadi sebuah basis dalam perseteruan kelompok Islam dengan kelompok sekuler dalam perdebatan mengenai ideologi negara.

Berpijak pada logika tersebut, maka sejarah umat Islam di Indonesia adalah sejarah pergolakan kepentingan-kepentingan material vis-à-vis mereka yang termarjinalkan. Persoalannya, apa yang terjadi ketika rejim Orde Baru kemudian mengambil alih peran sebagai pemilik sumber daya dan secara represif melakukan subordinasi kepada kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi oposisi terhadap sentralisme peran negara?

Pada titik ini, Dr. Vedi R Hadiz memberikan analisis kunci terhadap kemunculan gerakan-gerakan yang dinilai radikal. Orde Baru, dengan perangkat-perangkat birokrasi, baik dalam jenis militer maupun sipil, mentransformasikan diri menjadi rejim otoritarian dengan cara menindas kekuatan-kekuatan yang berpotensi menjadi oposisi. Komunisme dijadikan ideologi terlarang. Nasionalisme, sebagai kekuatan terkuat pasca-1955, dipersempit ruang geraknya dengan membungkam hak politik tokoh-tokohnya. Sehingga, kekuatan yang tersisa tinggal satu: Islam, yang tak dapat dihabisi oleh rejim karena memiliki basis kultural yang sangat kuat.

Untuk melakukan subordinasi terhadap kekuatan Islam, lahirlah diskursus mengenai “Islam Radikal”. Kasus pertama yang dicuatkan oleh rejim Orde Baru adalah Komando Jihad (pembajakan pesawat Woyla) yang disinyalir sebagai aksi terorisme pertama di Indonesia. Kemudian, lahirlah kasus-kasus lain yang sebenarnya tak bisa dilepaskan dari kepentingan politik Orde Baru.

Di sisi lain, borjuasi yang pada hakikatnya dibangun atas hubungan patrimonial antara negara dan pasar juga melahirkan disparitas dan kekecewaan di akar rumput. Sehingga, basis sosial dari kelompok yang disebut oleh Orde Baru sebagai “Islam Radikal” ini pun lahir dan terkonstruksi oleh realitas politik.

Pada titik ini, Vedi R. Hadiz memberikan sebuah tesis: Terorisme –atau mereka yang distigmakan sebagai “Islam Radikal”—pada hakikatnya dilahirkan oleh Orde Baru. Kelahiran terorisme merupakan sebuah proses panjang dari turbulensi sosial dan politik yang mencuat karena rejim Orde Baru yang begitu represif telah menggunakan peran-perannya untuk menekan Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia.

Di sini, mereka yang termarjinalkan oleh Orde Baru dipetakan oleh Dr. Vedi R. Hadiz ke dalam tiga kelompok: petani atau kelas pekerja yang miskin karena tergerus oleh proses industrialisasi, kelas menengah yang terdidik tetapi tak memiliki pekerjaan, dan pengusaha kecil yang modalnya kalah kompetitif oleh hasil oligarkhi antara negara dan pasar. Mereka yang termarjinalkan ini akhirnya melahirkan kekecewaan yang bersinergi dengan basis sosial mereka sebagai seorang muslim, sehingga melahirkan gagasan untuk merebut peran negara (“populisme”) dengan basis “ketakwaan”.

Genealogi Islam Radikal di Indonesia

Mengapa kemunculan kelompok “radikal” tersebut dimulai dari tiga elemen tersebut? Mari kita analisis. Kelompok kelas pekerja yang miskin merasa termarjinalkan oleh rejim politik Orde Baru, muncul ke depan untuk melakukan perlawanan. Politik korporatisme negara yang dilakukan Orde Baru membuat perlawanan menjadi tidak mungkin dilakukan dengan media serikat buruh. Kelompok ini menjadi marjinal, dan dengan keyakinan agama Islam yang dianutnya, ia para pekerja yang miskin pun menjadi radikal.

Akan tetapi, jumlah ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan kelompok kelas menengah yang terlempar dari lingkaran kekuasaan karena memiliki idealisme berbasis nilai Islam yang kuat. Kelompok ini mengorganisasi diri dalam wujud gerakan sosial, menjalin jaringan strategis dengan kelompok lain, dan membawa Islam sebagai landasan dalam berjuang.

Kelompok lain, pemilik modal kecil yang dikalahkan oleh pemodal raksasa juga memainkan peran. Merekalah yang memobilisasi penggalangan dana untuk aksi yang mereka lakukan. Pada dasarnya, tujuan mereka tak jauh berbeda: Menghancurkan tirani rejim politik yang telah membuat mereka termarjinalkan.

Tiga kelompok ini, menurut Dr. Vedi R. Hadiz dalam ceramahnya di FISIPOL UGM, menjadi kelompok yang menanamkan nilai Islam dengan kuat dan memobilisasi massa untuk melakukan perubahan sosial . Muncullah aksi-aksi yang dianggap oleh sebagian orang yang masuk dalam lingkaran borjuasi sebagai “terorisme”. Hal ini pula yang menjadi sebuah gagasan untuk melahirkan “negara Islam” yang dinilai memiliki tawaran solusi yang lebih konkret terhadap permasalahan bangsa.

Lantas, bagaimana keterkaitan mereka dengan gerakan transnasional? Pada dasarnya, gerakan-gerakan politik Islam di Timur Tengah memiliki latar belakang yang sama: respons terhadap penindasan. Hassan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir, pernah berkata dalam Risalah Pergerakannya menegaskan karakteristik dakwah Ikhwanul Muslimin yang anti-kezaliman dengan peran pemuda yang sentral di dalamnya (|Amin, 2006). Begitu juga dengan Taqiyuddin An-Nabhani yang menyerukan penghentian ketidakadilan dalam bingkai khilafah Islamiyyah dalam karyanya, Asy-Syakhsiyyah Al-Islamiyyah (1948) .

Artinya, keberadaan kelompok yang disebut-sebut oleh tiga penulis di atas sebagai “Islam Radikal” tersebut buka merupakan “perpanjangan tangan” dari gerakan Islam di Timur Tengah. Keterkaitan mereka dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir lebih disebabkan oleh kesamaan visi dan persepsi mengenai perubahan sosial dalam kerangka politik dan hukum Islam. Hal inilah yang belum terjawab oleh analis dan peneliti politik yang terkait erat dengan rejim politik selama lima tahun terakhir.

Selama ini, beberapa penulis yang memiliki karakteristik “liberal epistemik” cenderung memosisikan kelompok “Islam Radikal” sebagai tersangka ketika terjadi konflik yang membawa-bawa label agama. Padahal, sadar atau tidak, takkan ada konflik jika oligarkhi yang menaunginya masih tetap eksis di negeri ini. Para penulis seperti Mujani, Azra, atau van Bruinesen gagal menjelaskan, mengapa “segitiga besi” penguasa-pengusaha-media, yang pada gilirannya ditambah dengan”ulama” yang mendekat ke rejim, justru meneguhkan akar dari Islam Radikal ini. Hal ini perlu dianalisis untuk menemukan titik temu dalam menanggulangi terorisme.

Beranjak dari logika di atas, kemunculan gerakan “Islam Radikal” tidak lagi kita pahami sebagai “talibanisasi”, “wahabi”, atau “Islam Transnasional”, tetapi berakar dari represivisme Orde Baru yang membungkam Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Islam Radikal hanya simbol ketidakpercayaan terhadap sebuah rejim yang otoriter dan membungkam suara rakyat.

Politik Islam Radikal Pasca-Soeharto: Oligarkhi yang Terkonsolidasi?

Lantas, bagaimana kita dapat menjelaskan fenomena gerakan “Islam Radikal” pasca-Soeharto yang dituduh telah melakukan pengeboman di Bali beberapa waktu yang lalu? Kembali, konteks politik Indonesia kontemporer tak dapat dilepaskan begitu saja dari fenomena tersebut.

Hadiz dan Robison (2004) mengemukakan gagasan bahwa pasca-transisi politik, Indonesia mengalami fenomena “kekuasaan yang terorganisasi ulang” (reorganising power) . Menurut Hadiz dan Robison, lokus kekuasaan pascareformasi justru menempatkan kekuatan borjuasi, baik di level lokal, nasional, ataupun internasional, sebagai kekuatan yang cukup diperhitungkan dalam politik Indonesia.

Publik kembali disuguhi penampilan politik para pemilik modal yang menjadikan politik sebagai arena untuk mempertegas hegemoni bisnisnya. Kekuasaan memang terdesentralisasi ke daerah, tetapi elit-elit borjuis lokal yang memegang kendali. Sistem politik memang telah mengarah pada demokratisasi, tetapi ekonomi-politik Indonesia masih tetap bertipe klientelistik, patrimonial, dan neoliberalistik dengan gagasan korporasi (pasar) sebagai aktor utama.

Inilah yang kemudian disebut oleh Hadiz dan Robison (2004) sebagai oligarkhi . Meminjam gagasan Michels (1915), oligarkhi pada awalnya muncul pada sebuah organisasi partai politik yang menempatkan senioritas figur sebagai sentral dan konstituen sebagai alat untuk meneguhkan kekuasaannya di partai tersebut . Dalam pendekatan ekonomi-politik yang digunakan oleh Hadiz dan Robison, kekuatan pemilik modal menjadi bagian terpenting dari oligarkhi yang coba dibangun antara pemerintah, elit pemilik modal, dan media massa.

Lantas, apa hubungan antara persoalan ini dengan terorisme?

Jika menggunakan kacamata material-historis, kita dapat menganalisis bahwa umat Islam yang memiliki basis sosial kuat di Indonesia kembali marjinal. Seharusnya, ketika Orde Baru runtuh, kekuatan yang tampil sebagai hegemoni pasca-rejim adalah umat Islam yang diwakili oleh kelompok modernis, serta adanya akomodasi terhadap kelompok tradisional. Akan tetapi, adanya hegemoni pemilik modal menghindarkan kemungkinan tersebut.

Muncullah fragmentasi. Jika Mujani (2004) berpendapat bahwa hal ini merupakan sebuah perbedaan antara “Islamisme” yang konon dibawa dari timur tengah dengan “Muslim Demokrat” yang khas Indonesia , dalam konteks ini penulis, meminjam wacana Hadiz dan Robison (2004), menarik kesimpulan bahwa oligarkhi menyebabkan fragmentasi antara umat Islam yang memiliki akses ke politik karena memiki modal dengan umat Islam yang tak memiliki kapital, tetapi mempunyai idealisme dan semangat untuk membawa perubahan dan melepaskan diri dari kemiskinan struktural yang dihadapinya.

Persoalan material menjadi sebuah penyebab bagi kemunculan mereka yang menginginkan adanya perubahan politik secara radikal karena oligarkhi yang dibangun hanya melahirkan disparitas. Gagasan negara Islam hanya sebuah alternatif bagi umat Islam yang disebut-sebut “radikal” tersebut, karena model negara yang dianut oleh Indonesia sekarang tidak terbukti mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat pada umumnya.

Dalam konteks yang lebih luas, dorongan untuk melakukan aksi pengeboman, mengubah bentuk negara, dan lain sebagainya, pada intinya muncul karena dua hal.

Pertama, karena negara tidak mampu memberikan hak-hak bagi mereka yang terjerumus oleh kemiskinan struktural. Kedua, karena sebagian umat Islam di Indonesia secara genealogis memiliki akar perjuangan yang kuat dalam melawan penjajah, dan keberadaan korporasi asing serta oligarkhi neoliberal yang dianut oleh rejim politik sekarang dianggap sebagai sebuah “penjajahan semu” atau “state-captured corruption” (Rais, 2008) .

Sehingga, hal ini mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan: “Terorisme” di Indonesia takkan selesai dilakukan jika pemerintah tidak membenahi persoalan-persoalan struktural yang dihadapi oleh Indonesia. Neoliberalisme, dalam berbagai wujud dan wajahnya di Indonesia, perlu diselesaikan agar kelompok yang menggunakan kekerasan sebagai strategi perjuangan dapat diredam dengan disertai kesadaran dari pelaku kekerasan itu sendiri.

Kesimpulan: Perlukah “Memberantas” Islam Radikal?

Disadari atau tidak, Indonesia telah menapak pada era baru yang berbeda dari rejim sebelumnya. Sehingga, dengan keterbukaan dan demokrasi yang semakin terkonsolidasi, kontrol terhadap rejim politik menjadi lebih berjalan.

Untuk itu, jika kita memersepsikan “Islam Radikal” sebagai sebuah ancaman, hal utama yang perlu dilakukan adalah menanggulangi kesenjangan-kesenjangan struktural yang ada di Indonesia. Persoalan Islam Radikal bukan sekadar ideologi yang menghalalkan kekerasan, tetapi juga karena ada ketidakadilan dan ketimpangan struktural. Jika pada era Orde Baru ada campur tangan rejim dalam membentuk wacana “radikal”, maka pasca-Orde Baru radikalisme dibentuk oleh ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang oligarkhis.

Dengan logika tersebut, artinya akar dari masalah “radikalisme” agama bukan persoalan teologis; ini masalah sosial-ekonomi, dan akhirnya masuk ke ranah politik. Pendekatan “Islam Moderat” yang coba ditawarkan oleh beberapa penulis seperti Azra (2006) atau Mujani (2004) pada dasarnya bukan solusi konkret; wacana ini hanya dimunculkan oleh rejim politik dan intelektual di belakangnya untuk memfragmentasi umat Islam agar tidak terkonsolidasi dalam satu kesatuan massa yang besar. Dengan kata lain, “Islam Moderat” adalah wacana yang diberikan oleh rejim politik untuk menghadapi ancaman-ancaman bagi rejim itu.

Untuk menutup artikel ini, penulis perlu memberikan sebuah argumentasi akhir: Kemiskinan adalah sebuah implikasi dari salah pembacaan dan tiruan kebijakan yang tidak disesuaikan dengan konteks dan kondisi objektif dari negara tersebut. Persoalan kelahiran “Islam Radikal” takkan lepas pada bagaimana negara mengentaskan kemiskinan. Tugas pemerintahlah untuk menjawab hal itu.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Shadiq. Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal Pent. Syarif Ridwan. (Jakarta : Al-I’tishom Cahaya Umat, 2006).

Azra, Azyumardi. “Indonesian Islam, Mainstream Muslims And Politics”. Paper Dipresentasikan Pada Taiwanese and Indonesian Islamic Leaders Exchange Project, Taipei, 26-31 Oktober 2006.

Feith, Herbert. “Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru”, Prisma, 11, November 1980, 69-84.

Hadiz, Vedi R. “Islamic Populism and Political Transition in Post-Soeharto Indonesia”, ceramah dalam Seminar internasional, Political Transition in Indonesia: Order and Changes. Yogyakarta, November 2009.

Michels, Robert. Political Parties: A Sociological Study of Oligarchical Tendencies Of Modern Democracy (New York: Collier, 1966)

Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007).

Rais, Mohammad Amien. Agenda-Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta: PPSK Press, 2008).

Robison, Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (London: Routledge, 2004).

van Bruinesen, Martin. “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia”. South East Asia Research, 10, 117–154

*) Tugas Mata Kuliah Kekuatan Politik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar